Aku hampir tidak percaya saat nama Kyla terpampang di display handphoneku. Aku duduk di tempat tidurku. Buru-buru membuka dan membaca SMS itu.
"Hey Michelle...maaf aku tidak pernah menghubungimu selama ini. Tadinya aku benar-benar tidak mau menghubungimu lagi. Tapi kurasa ini tidak adil untukmu...Michelle, maaf. Sebenarnya sejak dulu, sejak kita bersahabat di Mullingar...Mum selalu tidak suka denganmu. Sejak dulu ia selalu melarangku berteman denganmu. Ia selalu mengomentari apapun tentangmu. Caramu berpakaian, rambutmu, caramu bicara, caramu berjalan, dan semuanya. Kau sudah tau kan bagaimana keluargaku?Mum menginginkanku berteman dengan orang yang dianggapnya baik. Bahkan mungkin keterlaluan sopan. Tapi aku tidak peduli karena kupikir kau asyik."
"Tapi kemudian kau meninggalkanku Michelle...kau pindah ke Baldoyle. Jadi kupikir untuk apa mempertahankan persahabatan kita?aku bosan dengan omelan Mum tentangmu. Ia bahkan mengancamku tidak akan mengizinkanku masuk universitas pilihanku kalau aku masih berteman denganmu. Mum selalu serius dengan omongannya Michelle...kau tahu itu. Aku merasa memang kita tidak ditakdirkan untuk berteman lagi. aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatanku untuk masuk universitas bagus hanya karena orang yang sudah meninggalkanku. Aku yakin kau punya banyak teman baru yang baik disana. Yang jauh lebih baik daripada aku. Maafkan aku Michelle.terima kasih selama ini.selamat tinggal..."
Aku terdiam menatap display handphoneku. Aku mematung, terpaku. Rasanya aku tidak bisa bernafas. Rasanya aku ingin mati saja. Detik itu juga. Darahku seakan tidak mengalir lagi. jantungku terasa melambat, dan saat itu kurasakan ada air bening yang hangat mengalir menuruni pipiku.
Hatiku terasa sakit. Lebih sakit dari kesakitan yang pernah kuderita selama ini. Airmataku terus mengalir. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Berusaha melepas sakit yang mengurung hatiku. Aku berlari keluar rumah. Tidak peduli walaupun Mum memanggilku berkali-kali. Diluar langit benar-benar gelap. Awan hitam berkumpul, menurunkan hujan yang lama-kelamaan semakin deras.
Berlari, aku berlari. Entah berlari kemana. Aku berlari tanpa tujuan. Ditengah hujan. Sendirian. Aku terpeleset aspal yang licin. Aku terjatuh keras keatas aspal. Aku merasa seluruh tubuhku nyeri. Tapi aku berdiri kembali dan melanjutkan lariku.
"Menurutku, pakai blazer yang tidak dikancingkan itu keren!"
Kata-kata itu terngiang. Kata-kata Kyla yang membuatku makin semangat untuk tampil berantakan. Cowok-cowok dikelasku selalu menyebutku siluman cewek. Tapi kemudian Kyla berdiri didepanku dan melepas kancing blazernya.
"Kalau kalian mau menjelek-jelekkan Michelle, jelek-jelekkan aku juga!"
Aku terengah-engah. Terus menangis sepanjang jalan. Kakiku luar biasa sakit dan aku menggigil kedinginan. Tapi aku tidak mau berhenti. Aku terus berlari sampai akhirnya aku terjatuh lagi.
"Michelle?" terdengar sebuah suara ditengah suara hujan yang bergemuruh
Aku kenal suara itu.
Suara yang kubenci.
Aku mengangkat kepalaku. Nicky berdiri didepanku, menggenggam payung hitam yang melindunginya dari hujan.
Ia menatapku panik.
"Astaga! Kenapa kau hujan-hujanan?!kau luka-luka!" ia membantuku berdiri. Aku tidak bisa berbuat apapun. Aku sudah mati rasa. Ia memegangiku sambil memayungiku. Kami berjalan beberapa lama hingga kami sampai disebuah rumah. Ini pasti rumahnya, aku duduk diteras rumahnya yang luas. Ia masuk kedalam rumahnya dan memberiku handuk. Kemudian menatapku.
"What happen to you?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"You...you don't have to know. you don't have to bring me here. You don't have to care about me. I hate you! You know that I hate you!!" jeritku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blue Eyes of The Lighthouse ✔
Fiksi RemajaMatanya, mata itu...mata yang bahkan sempat kumimpikan tadi malam "Tuh kan...kau anak baru disini" katanya tiba-tiba. "I'm Nicky Byrne. So sorry for yesterday, Michelle" Kurasa Mum sudah mengutukku! Aku benar-benar jatuh cinta sekarang. Terlalu kony...