enjoy (^_-)-☆
Hening. Justin terdiam. Begitu juga Cane. Suara tawa yang tadinya menggema memenuhi ruangan lenyap. Merasa aneh dan canggung, Cane kembali merosot dan menarik selimutnya sampai kepala. Ia memunggungi Justin. Apa dia menggatakan hal yang salah?
Justin masih terdiam. Pandangannya tidak berubah semenjak Cane mengucapakan kata terakhirnya. Ekspresi wajahnya lah yang berubah. Pikirannya menjadi kalut. Justin tidak mengerti apa yang salah dari perkataan Cane. Mengapa respon yang ia berikan seperti ini. Mengapa tubuhnya menjadi kaku dan ia sedikit marah?
"Apa katamu? Teman?"
Bukannya Justin tidak mau, namun ada sesuatu yang salah dan tidak sesuai kehendaknya saja saat kata itu terucap.
Tidak mendapat tanggapan, Justin menarik paksa selimut dihadapannya. Ia juga memaksa Cane untuk menghadap ke arahnya. Memaksa mereka melakukan kontak mata. Satu tanggan di sandaran ranjang. Cukup untuk membuat lawan bicaranya terpojok dan terintimidasi atau setidaknya merasa tidak aman.
"H-hey, apaan sih."
Hanya itu. Cane tidak sempat mencerna apa yang terjadi padanya. Satu kalimat terucap spontan. Itupun ia usahakan agar tidak terdengar bergetar atau melirih. Walaupun pada kenyataannya tidak bisa. Suaranya tetap bergetar dan melirih.
"Beneran mau jadi temenku?"
Cane tidak menyangka. Justin menjadi mengerikan ketika mengintimidasinya saat ini. Tatapan langsung ke matanya yang dingin dan menusuk. Cane bahkan sadar jika Justin tidak berkedip saat menatapnya. Bibirnya tidak membentuk lengkungan. Hanya garis datar.
Ia pikir Justin adalah sosok pendiam dan pandai menyembunyikan perasaannya. Selalu berfikir sebelum bertindak dan selalu berusaha membangun image baik didepan orang lain.
Tapi Justin dihadapannya kali ini berbeda.
Dia sekarang lebih seperti orang lain.
Atau inilah Justin. Dirinya yang sebenarnya. Yang telah lama mati, dan sekarang ia kembali.
"Kurasa iya. Apa itu salah?"
Cane sadar ia semakin melorot turun dari posisi awalnya. Dan sialnya Justin juga memangkas jarak keduanya. Ia berusaha sebisa mungkin tenang. Panik di saat seperti ini adalah sebuah kesalahan. Apalagi dihadapan Justin. Satu tindakan ceroboh dapat memperburuk keadaan.
"Apa sekarang kau merasa udah jadi temenku?" jujur, Cane saat ini dapat merasakan hembusan nafas Justin di wajahnya. Dan ini buruk. Seorang klien tidak seharusnya berprilaku seperti ini. Dan Cane tidak seharusnya kalah dari Justin. Ia harus bisa memegang kendali. Membalikkan keadaan.
Cane memutar otaknya keras. Jemarinya meremas erat sprei hingga kusut. Solusi ia dapatkan. Untuk kali ini saja ia akan mengikuti alur permainan Justin hingga dia tenang. Ya, hanya sampai Justin tenang.
"Kurasa iya."
"Kurasa! Kamu bahkan enggak yakin kan!"
Cane sedikit tersentak. Justin mulai meninggikan suaranya dan sedikit membentak. Gawat. Suasana malah berubah menjadi lebih buruk.
Cane mengalihkan pandanganya. Ia membuang muka ke samping kiri, menjauhi Justin. Saat ini ia benar-benar membutuhkan jalan keluar. Dan pikirannya mendadak beku ketika Justin menatapnya.
"Jawab!"
Justin mencengkram rahangnya dan menautkan kembali kontak pandangan mereka dengan kasar. Cane bahkan merasa kedua pipinya berdenyut sakit saat ini. Pandangan yang ia terima juga semakin tajam. Ditambah nafas memburu keduanya.
Pikiran Cane menjadi semakin kusut. Bahkan tidak terpikir olehnya cara melarikan diri. Dia adalah sebuah kegagalan. Cane gagal dalam membantu orang lain. Dia gagal.
Menahan tangis. Cane benar-benar tidak ingin terlihat menangis didepan seseorang. Dan untuk mengelak saja sudah tidak bisa karena tangan Justin masih ada di rahangnya. Satu-satunya cara adalah menutup mata. Cane memejamkan matanya. Berharap saat membukanya nanti ia akan berada di kamarnya sendiri dan mengahkiri mimpi buruknya. Berharap sosok Justin adalah bayangan yang tidak akan pernah menjadi nyata.
Berangsur-angsur, Cane merasa beban tubuhnya berkurang. Hawa disekitarnya menjadi semakin dingin menusuk kulit. Apa mimpi buruknya berakhir? Apa dia sekarang sudah bebas?
Cane memberanikan diri membuka mata.
"Justin?"
Kali ini untuk yang pertama, Cane menyesali dirinya menangis. Ia melihat Justin meringkuk di sudut ruangan di bagian tergelap di ruangan.
Justin menangis.
Cane bisa saja menggunakan waktu ini untuk kabur keluar dan pulang. Namun, ia akan menjadi lebih gagal lagi jika meninggalkan Justin dalam keadaan yang lebih parah sebelum ia muncul. Dan pastinya itu akan mempengaruhi kehidupan Justin setelahnya.
"Hey Justin," Cane berusaha menarik atensi Justin dengan suara selembut dan setenang mungkin. Tapi sia-sia. Justin bahkan tidak menoleh atau menjawab.
'Oke Cane, talk less do more.'
Satu tepukan di pundak. Justin tidak memberi respon. Cane mengusap pelan punggung yang masih bergetar itu. Berusaha memberi kenyamanan pada Justin. Setidaknya jangan sampai dia perfikir jika dia sendiri di saat-saat seperti ini. Cane harus meyakinkan Justin jika masih ada seseorang yang peduli padanya.
Tiga puluh menit terlewat dan masih tidak ada perubahan. Namun tangisannya mereda. Cane harus sangat bersyukur. Saat ia sudah tenang seperti inilah Cane harus bisa memperbaiki suasana.
"Justin, kau merasa lebih baik?" Cane mendapat anggukan kecil. Justin merespon. Ia sangat bersyukur karena itu.
"Aku minta maaf Justin, aku salah," di saat seperti ini, Cane memang harus minta maaf saja. Ia pernah mengalami berada di posisi Justin. Menangis karena kesalahan orang lain. Dan ketika orang lain itu meminta maaf sambil menyertakan kesalahannya seperti 'Maaf Cane, aku salah karena menusukmu dari belakang', Cane menjadi teringat akan peristiwa terkait. Dan alhasil dia menangis semakin kencang saat itu. Jadi inilah yang dia lakukan sekarang. Hanya meminta maaf.
"Kau benar mau jadi temenku?" Justin akhirnya bersuara. Lirih dan frustasi. Cane mendengarnya merasa sangat bersalah. Ternyata Cane sama sekali belum mengenal Justin. Dia belum bisa menebak siapa sosok Justin sebenarnya, memancing Justin untuk menceritakan masalahnya dan malah mengucapkan hal sensitif yang tidak seharusnya ia ucapkan.
"Iya."
"Walaupun sebenernya aku gay?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST SELF
Romance"Saya pernah mencoba mengasingkan diri saya sendiri." "Menghapus semua akun sosial media saya, email, nomor telepon dan juga pindah ke daerah baru." Justin terus bercerita sambil menatap langit-langit ruangan. "Apa ada penyebab khusus yang mendasari...