Didedikasikan untuk PseuCom
***
Bibirnya terus menyedot meski tahu yang masuk ke kerongkongan hanya gula pasir yang kurang larut bercampur sedikit air dari es yang mencair. Sudah hampir satu jam dia duduk di sana; sendirian merapat ke tembok di bangku pojok belakang. Mengamati bagaimana Mang Karda dan Mas Joko bahu membahu menurunkan terpal di depan gerobak, agar tidak terkena air yang mengalir deras dari asbes genting. Hidungnya pun mulai menghela sebanyak mungkin udara. Meskipun ada bau air selokan yang menyelip di antara aroma air bercampur tanah yang khas, tetapi kenangan itu tetap menyeruak; memaksa untuk diungkit.
Sudah lama dia tidak menjejakkan kaki di tanah merah yang lembek sambil menghadapkan wajah ke langit. Menutup mata saat ribuan rintik menusuk kulit. Tersentak heboh kala geledek keras turut meramaikan dentuman air di atas genting-genting tanah liat. Dan yang membuat khayalnya semakin terlena adalah ketika genggaman itu kembali terasa. Dari seorang bocah lelaki kurus yang suka menyedot ingus alih-alih menyeka. Jorok, memang. Apalagi saat cairan kental yang sering berwarna hijau itu dibiarkan mengalir hingga masuk mulut melalui celah bibir.
"Asin."
Dia segera menunduk, mengambil ponsel yang sedari tadi tergeletak di sebelah mangkok. Menghindari tatapan curiga—sekalipun Mang Karda dan Mas Joko duduk membelakanginya—dia menyalakan ponsel dan pura-pura sibuk. Namun, detik itu juga dia menyesal. Tanpa sengaja, pesan yang dia tidak acuhkan dari tadi terbuka; memberi tahu si pengirim bahwa dia sudah aktif di dunia chat. Tidak lama berselang, dering yang melantunkan lagu Toxic milik Britney Spears terdengar lemah.
Dia mengembuskan napas, setengah ikhlas menggeser gambar gagang telepon ke atas.
"Dari tadi dikirimin pesen gak dibaca-baca! Ditelepon enggak diangkat-angkat!"
Lagi, dia membuang napas. "Hujan. Takut kesamber geledek," sahutnya sambil memainkan ujung sedotan yang sudah keriput. Dan dengusan dari seberang terdengar jelas.
"Emangnya warung Mang Karda sawah! Buruan balik! Enggak pake lama!"
Dan telepon terputus. Pundaknya langsung turun. Padahal, dia baru saja bernostalgia dan ingin menyendiri sebelum malam mengambil alih kebebasannya. Kalau sudah begini, kalau si Nath—orang yang tadi menelepon—sudah menggunakan intonasi jenderal seperti itu, maka dia yang hanya sebagai tentara kudu manut pada kalimat yang terlontar.Dia menghela napas lagi dan perlahan berdiri. Walaupun dikenal sebagai orang berkulit badak karena tahan pada suhu dingin Jakarta, tetapi dia ingin langsung berselonjor di kasur begitu sampai di indekos. Jadi, dia menghampiri Mang Karda dan Mas Joko, berdeham agak keras hingga kedua kepala itu menoleh, lalu menarik kedua ujung bibir hingga membentuk senyum yang membuat matanya menyipit.
"Mang Karda ada payung? Boleh pinjam?" tanyanya pelan.
"Neng mau pulang? Masih deres, Neng."
"Disuruh pulang sama Nathali. Biasa ... dia kan suka masuk angin." Dia mengikik mendengar alasan yang dibuat.
"Oh ...." Mang Karda mengangguk. "Di belakang ada. Sebentar, yah." Mang Karda bergerak cepat ke arah belakang warung, meninggalkan dua orang yang membuat suasana canggung.
Sebenarnya, dia mudah akrab dengan siapa saja. Bahkan dengan seseorang yang baru dikenal semalam, dia sudah bisa memosisikan diri sebagai kawan lama. Namun, dengan pemuda satu itu—yang merupakan keponakan jauh Mang Karda—dia merasa perlu membatasi interaksi. Bukan karena lelaki itu sering mencuri pandang ke arahnya, juga bukan karena intonasi yang masih menunjukkan bahwa Mas Joko adalah orang Jawa tulen. Ini lebih ke arah tatapan yang tidak sengaja bertubrukan.
Ada getar aneh yang menggigit hatinya saat tatapan mereka bertemu. Mata Mas Joko jelas lebih besar dan memiliki bulu mata yang jauh lebih lentik. Namun, apa yang terpancar mampu menggugah rasa yang telah lama dikubur. Sosok itu seolah hadir dalam tatapan Mas Joko, seolah menawarkan perlindungan yang sama, seolah menyuguhkan suasana yang dirindu. Masuk ke tatapan itu membuatnya ingin seperti dulu. Namun, dia tidak akan mampu untuk kembali. Dia sudah berbeda. Sekarang dia adalah gadis kota yang bisa membeli apa yang diinginkan.
"Neng, payungnya."
Dia sedikit tersentak dan langsung mengambil payung panjang yang disodorkan Mang Karda. "Makasih, Mang. Nanti kalau hujannya berhenti saya balikin."
"Enggak usah buru-buru, Neng. Besok juga enggak apa-apa. Di sini kebetulan ada tiga."
Dia mengangguk dan tersenyum. "Saya pinjam yah, Mang. Mari Mang-Mas."
Tanpa melihat bagaimana kepala Mas Joko mengangguk, dia membuka payung dan mulai menjauhi warung. Beberapa langkah kemudian merutuk karena tidak menggulung celana terlebih dahulu. Sekarang, di antara serangan air dari langit dan cipratan di aspal, dia tidak berdaya hingga membiarkan ujung celananya basah. Dan semakin meringis saat menghadapi jalanan menuju tempat dia tinggal yang mulai digenangi air berwarna keruh.
Indekos yang disewa Papi bukan berada di kawasan elite yang memiliki sistem drainase bagus. Untungnya, bangunan berlantai dua itu dibuat tanjakan di pintu gerbang, hingga posisi lantai dasar lebih tinggi dari jalanan gang. Halaman yang ada juga cukup untuk digunakan sebagai lahan parkir penghuni.
Dia mendengkus keras tepat saat petir menggelegar. Langkahnya berhenti dan tangannya mengepal dan terulur hingga tidak terlindungi payung.
Dingin.
Sayangnya, air yang menusuk kulit tidak kecil-kecil. Mereka jatuh dalam titik-titik besar.
Enggak sama.
Kembali, dia membawa kepalan basah itu dalam genggaman di pegangan payung. Langkahnya kembali membelah jalan gang yang hanya bisa dilalui dua motor ini, sambil bertanya-tanya apa yang sudah membuat Nath memburunya.
"Astaga ... ke mana aja, sih?"
Dia baru menutup pintu kamar sewa mereka yang berada di lantai dua saat Nath berteriak lantang. Tidak mau kulit kakinya gatal-gatal, dia segera membawa celana pendek dari lemari dan payung Mang Karda ke kamar mandi. Mengabaikan suara Nath yang entah berkata apa.
Ada beberapa hal yang selalu dia syukuri sejak tinggal bersama Nath dalam indekos ini: Papi menyewakan mereka kamar dengan kamar mandi dalam, lengkap dengan televisi, AC, dan sebuah spring bed yang mampu menampung tiga tubuh seukuran mereka. AC memang tidak termasuk dalam pelayanan yang diberikan pemilik. AC itu ada karena Nath berhasil membujuk Mami untuk minta ke Papi.
Mami dan Papi.
Memikirkan mereka membuat dia ingin membenci, tetapi tidak sanggup.
Selesai berganti celana dan mencuci kaki, dia langsung merebahkan diri di atas kasur, dan siap memejamkan mata andai saja Nath tidak berdecak keras.
"Jangan sombong dong sama anak baru."
Protes dari Nath membuat dia duduk dan mengernyit. Beberapa hari lalu memang mereka diberi tahu bahwa ada seorang gadis yang akan bekerja dengan mereka. Namun, dia tidak menyangka secepat ini.
"Bell ...."
Dia menyahut dengan gumaman dan seketika menyadari ada orang lain di antara mereka. Perlahan dia mendekat ke arah Nath yang berdiri di samping televisi. Di sebelah Nath ada seorang gadis yang baru dia lihat. Rambut panjang si gadis yang hitam dibuat mengikal gantung. Wajah oval itu sudah dirias dan semakin menawan saat tersenyum karena lesung pipi langsung tercetak di ujung bibir. Namun, yang membuatnya membeku adalah tatapan itu. Tatapan yang menghisapnya untuk kembali menyesap masa lalu, yang sampai kapan pun, akan dia sesali.
"Nah ... Bell, ini Mini." Nath menyentuh bahu gadis itu. "Dan Mini ... ini Bell, pembimbing kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asam Asa
RomanceDia berada di sudut. Terdiam. Tersembunyi. Tapi dia menunggu. Mengawasi. Berharap kau mau, barang sekali, menariknya keluar. Membiarkan dia bercengkerama dengan angan dan khayal. Dia tidak seringan sehelai kapas. Juga tidak seramah senyuman...