Mimpi Masa Lalu

29 7 9
                                    

"Ruk pengen atuh lanjut sekolah, tapi Abah enggak kasih ijin, Kang," adunya pada Sueb yang tengah memukul pelan paha belakang Lembu—sapi Haji Jumrih—dengan dua tangkai sapu lidi agar cepat masuk kandang.

"Yah kan emang sekolahan jauh, Neng."

Rukmini yang berjongkok agak jauh dari kandang mendengkus. "Kang Jepri aja boleh. Kalau Abah enggak pelit mah tinggal beli aja motor satu lagi buat Ruk. Sawah luas, sapi banyak. Jual si Lembu juga enggak bakal rugi. Abahnya aja itu mah yang pelit."

Rukmini mengulurkan tangan saat Sueb menghampiri. Dia tersenyum kala tangan Sueb menarik tubuhnya; membantu berdiri. Ini yang selalu dia nanti setiap Senin sore. Sueb yang sehabis menggembalakan sapi abahnya akan mencuci kaki atau malah berenang di kali terlebih dahulu. Dan seperti ekor, dengan senang hati dia membuntuti.

"Enggak ke kali, Kang?" Rukmini berhenti di pertigaan jalan saat langkah Sueb berbelok ke kanan, bukan menuju salah satu sumber air di kampung mereka.

"Mendung. Akang pulang dulu, yah. Neng juga pulang, nanti dicari Abah lagi."

Rukmini membuang napas dengan kasar dan membalikkan tubuh. Namun, baru beberapa langkah dia berhenti, menghadap lagi tubuhnya ke Sueb yang semakin jauh.

Jauh ....

Padahal dulu di cuaca yang redup seperti ini mereka akan tetap diam, menanti hujan. Sekarang, seperti ada dinding yang membatasi gerak keduanya. Sejak Sueb bukan lagi si bocah ingusan. Sejak mereka lulus SMP. Sejak Kardi sering datang ke rumah. Dan sejak pembicaraan mengenai mahar, abahnya seolah membuat kandang dengan dia yang berada di dalam.

Rukmini tersentak kala guntur menggelegar. Pijakannya pun terasa bergetar. Setetes air yang jatuh membuat kontak matanya pada sosok Sueb yang tampak kecil terputus. Dia menengadah, ada setitik lagi yang jatuh dan mengenai hidungnya. Kembali, dia menatap Sueb sebelum berlari. Bukan hanya menghindari hujan, tetapi juga ocehan panjang abahnya.

Rukmini sudah akan masuk kamar ketika abahnya mengajak berbicara. Mereka duduk di sofa yang sudah kempis busanya. Ada jeda yang cukup lama. Dan Rukmini mulai menduga ini ada sangkut paut dengan niat Kardi. Sudah dia tegaskan bahkan pada Kardi kalau rencana pernikahan itu dia tolak. Dalam mimpi saja dia tidak mau menjadi kuantitas terakhir dalam poligami, apalagi benar-benar dipinang.

"Ruk ...."

Suara abahnya yang berat, sarat akan maksud di telinga Rukmini. Gadis itu hanya diam dengan mata yang menantang sorot si abah.

"Habis puasa nanti, kamu nikah sama Kardi."

Singkat. Padat. Menyakitkan. Rukmini langsung berdiri. "Ruk enggak mau, Abah."

"Dia itu orang baik, Ruk—"

"Ruk enggak suka dia!" teriak Rukmini. Dia tidak peduli saat abahnya berdiri dan menatap tajam.

"Berani kamu bentak Abah?"

"Abah teh yang salah! Abah enggak pernah ngerti! Abah udah mutusin sekolah Ruk! Abah juga udah buat Ruk enggak punya temen karena harus selalu di rumah! Ruk udah capek, Bah. Ruk enggak mau sama Kardi!"

Napas Rukmini memburu. Ada sesak yang merambat dan membuat air di matanya keluar. Dia membiarkan satu lelehan menuruni lekuk pipinya, tetapi langsung mengusap kasar lelehan yang lain.

"Kardi itu orang baik, Ruk. Dia kaya, bertanggung jawab, cocok buat jadi mantu Abah."

"Suruh aja Teh Ici yang nikah!" Rukmini sebenarnya anti menyebut nama saudara tirinya itu. Jika ingat bagaimana kelakuan emaknya Ici, sakit itu kembali mencubit. Benar-benar menawarkan rasa pahit saat tidak ada yang berada di sisinya. Abah sibuk membanggakan Jefri, sementara emaknya Ici hanya memberi perhatian pada Ici.

Abah mengembuskan napas keras. "Ici udah Abah jodohkan dengan Sueb."

Kalimat yang terlontar dalam suara pelan itu, mengacak semua yang berada dalam hati Rukmini. Bagaimana bisa si abah melalukan hal itu? Bagaimana bisa Sueb harus sama Ici? Kepalanya menggeleng pelan. Menolak rencana gila si abah.

"Ruk yang harus nikah sama Kang Sueb, Abah."

"Sueb enggak bisa ngasih kamu apa-apa. Biar Ici aja yang jadi istri dia."

"Enggak, Abah! Ruk enggak mau nikah sama Kardi!"

"Harus mau!" bentak si abah. "Kardi akan lamar kamu abis puasa nanti. Pas Syawal."

Kedua tangan Rukmini mengepal kuat. Dari dulu, lelaki tinggi dan gemuk itu tidak pernah mau mengalah. Kalau sudah punya kemauan harus terlaksana. Beruntunglah Jefri dan juga ... Ici.

Rukmini tidak lagi menyahut. Namun, dia menggunakan semua kekuatan saat menutup pintu kamar. Tubuhnya dibawa untuk duduk, menghadap meja kecil yang digunakan untuk menumpuk buku Jefri yang nyaris tanpa catatan. Di tumpukan paling atas ada buku yang dipinjam Sueb, tetapi karena Sueb putus sekolah buku itu ada di kamarnya. Tersimpan. Seharusnya sudah dikembalikan ke perpustakaan sekolah waktu pengambilan ijazahnya. Namun, dia tertarik. Berkali-kali membaca tidak bosan.

Tangan Rukmini mengambil buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebuah buku yang berisi surat-surat Kartini yang diterjemahkan dalam bahasa melayu. Teh Ranti--tetangga Sueb yang merantau di Jakarta--pernah menjelaskan secara singkat salah satu surat Kartini, yang langsung membuat hatinya seperti ada yang menekan. Kali ini perasaan di sana begitu padat, menuntut pelampiasan.

Rukmini meletakkan kembali buku itu dan mengambil buku tulis bersampul cokelat. Buku milik Jefri. Cepat, tangannya merangkai kata. Dan dia merasa seperti diajak bermain hujan. Bebas. Plong dadanya. Dibacanya sekali lagi dan keputusan itu terbentuk begitu saja.

Sudah cukup abahnya mengendalikan semua.
Sudah cukup dia mengalah.

Dan semoga Teh Ranti masih mau membawa dirinya merantau ke Jakarta; kota impian di mana tidak ada paksaan dari abah.

Asam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang