Asa Tak Digapai

37 6 22
                                    

Belle terbangun dan pekat membuat matanya kembali tertutup. Beberapa detik kemudian kelopak matanya terangkat, masih pekat. Dia menghela napas dalam dan memiringkan  tubuh. Sudah seminggu ini wilayah tempatnya tinggal mengalami pemadaman bergilir. Ada gardu yang rusak, begitu yang dia dengar dari pemilik indekos. Tidak masalah untuknya. Suasana inilah yang dia nantikan. Gelap. Sendiri. Hening, hingga telinga berdenging. Namun, mimpi itu menghancurkan setiap sudut ketenangan.


Belle meringis saat kepalanya terasa sakit. Seperti ada paku yang ditusuk di sana lalu dicabut dengan kasar, membuat tangannya menjambak; hanya untuk mengalihkan rasa nyeri ke akar rambut. Menurut Mami, dia sakit karena banyak pikiran. Penting baginya untuk rileks dan mengosongkan otak dari segala yang menekan. Tanpa dinasihati pun pasti dia lakukan. Namun, mimpi masa lalu terus menyambangi alam tidurnya pasca pertemuan dengan Sueb.


Sudah seminggu. Sudah tujuh kali juga Belle terbangun dengan sentakan. Hal itu tidak hanya menyebabkan jam tidurnya berkurang drastis, tetapi juga memberi efek besar pada kesehatannya. Dan Mami memutuskan untuk memberi libur sementara waktu demi kepuasan pelanggan.


Belle mengubah posisi tidurnya, tidak berharap dapat terlelap lagi. Dia hanya berharap bisa mencuci sendiri otaknya. Membuang kerak ingatan yang susah hilang meski sudah dua belas tahun berlalu. Atau paling tidak mencegah gambaran nyata saat dia berdebat dengan si abah, dan saat memohon pada Teh Ranti untuk ke Jakarta tanpa izin si abah, juga saat terakhir kali dia menatap mata Sueb, untuk tidak mengganggu lelapnya. Untuk terus terkunci di alam bawah sadarnya.


Belle berusaha bernapas dengan normal ketika sesak mulai melingkupi, membawa suara Sueb untuk kembali memantul di telinga. Sudah sejauh ini dan mereka baru berniat mencari keberadaannya saat si abah sakit. Kalau si abah sehat, apa dia akan dicari? Kenyataan yang berlangsung bertahun-tahun adalah dia sebatang kara. Tanpa keluarga. Teh Ranti yang membawanya hanya sekadar penghubung ke Papi. Setelah serah terima dan pernyataan kesanggupan selesai, putus sudah komunikasinya dengan Teh Ranti.


Belle hanya ingin bebas dari si abah. Sekalipun itu harus bekerja sebagai waitress di klub malam. Iya saja ketika posisinya diangkat menjadi pendamping lelaki hidung belang di tempat karaoke. Dan semakin terjerat saat harus bermain di ranjang.


Sekarang, bagaimana mungkin dia bisa pulang? Semudah itu mereka meminta? Ke mana saja mereka selama ini? Mereka hidup tenang tanpa dirinya. Dan dia juga bisa hidup tenang tanpa mereka. Sudah cukup perasaan bersalah itu mengendap. Jalannya sudah benar dari awal. Memang ini yang dia inginkan, jauh dari mereka.


***


"Kamu yakin?"


Belle hanya melirik Nath. Dia sudah katakan berulang kali, tetapi Nath seolah tuli. Dia hanya sakit demam, bukan stroke yang membutuhkan waktu lama untuk pulih.


"Tapi mukanya Teh Bell masih pucat."


Belle tidak menggubris. Tangannya lihai menyapukan blash on di tulang pipi dan rona merah mulai terbentuk di atas kulit wajahnya yang putih.


"Ini bule, lho. Kamu bakal main sama bule."


Belle sudah tahu hal itu. Sejak dia menelepon Papi kalau sudah sehat, sejam kemudian Papi memberi order. Orang Amerika yang sudah lama menetap di Jakarta, kata Papi. Tidak akan terjadi masalah, meskipun tubuhnya masih terasa lemas. Dia akan kembali menjadi Belle yang memuaskan. Lebih dari itu, dia bisa rehat sejenak dari kenangan yang ngotot bermukim di pikiran. Dia butuh pengalihan dan bekerja adalah pilihan yang tepat.


Belle memperhatikan pantulan seluruh tubuhnya di cermin yang menempel di pintu lemari. Tubuhnya berputar setengah ke kiri dan ke kanan, mencari kekurangan yang mungkin luput saat dia berdandan tadi. Lekuk tubuhnya yang ramping terlihat bagus dengan model pakaian yang dia pilih. Make up pun semakin membuat wajahnya terlihat segar. Sempurna. Segera, dia sambar tas tangannya.


"Duluan, yah."


"Oke," sahut Nath.


"Hati-hati, Teh," timpal Mini.


Belle memakai sepatu hak tingginya di dekat pintu. Dia melambaikan tangan singkat, lalu membuka pintu, dan terperanjat hingga nyaris jatuh. Tidak bisa dia percaya! Apa dia sedang bermimpi sekarang? Kalau bukan, dari mana orang yang berdiri beberapa langkah darinya ini tahu tempat tinggal yang disewa Papi?


"Ruk, bisa kita bicara sekarang?"


Dan suara itu terdengar sangat nyata.

Asam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang