Bongkar.
Dia masih mengingat ekspresi wajah Nath saat mengatakan itu. Menurut Nath, dia harus berani melangkah. Bukan untuk terjun lalu tiada. Bukan juga untuk berbalik dan kembali ke jalan terjal berbatu tajam. Namun, mencari alternatif jalan yang mudah. Meskipun memang tidak ada yang gampang, tetapi setidaknya ada harapan untuk memperbaiki.
Dia sudah menceritakan semua pada Nath serta Mini, dan sisa malamnya masih dihabiskan dengan merenung sambil menangis. Jalan yang ditawarkan Nath adalah pulang. Tidak perlu lama menetap. Sehari saja, asal bisa ziarah lalu kembali ke Jakarta. Sebuah solusi yang tidak pernah terlintas. Namun, di hatinya masih ada yang mengganjal. Perasaan bersalahnya masih pekat dan membuat sesak tiap kali memikirkan kampung halaman.
Sejak dia tahu si abah mengirim Mang Ujang untuk mengawasi, sejak saat itu juga dayanya terkikis untuk menyalahkan si abah. Semua yang terjadi saat ini, jelas dia juga yang salah. Sekarang, seharusnya tidak ada lagi rasa bimbang. Meskipun hatinya takut dan kalut, tetapi yang salah harus meminta maaf. Abahnya sudah melakukan hal itu dengan cara sendiri. Kini giliran dia untuk berani mengambil tindakan yang merupakan saran dari Nath.
Dia menatap Nath dan Mini bergantian. Memeluk mereka bergiliran. Ada sesuatu yang berat di dadanya. Melihat bagaimana indekos yang sudah ditempati bertahun-tahun, membuat dia merasa enggan untuk melangkah. Namun, dia juga tidak bisa terus-terusan menahan gejolak yang bersarang di hati dan pikiran. Apalagi setelah mengatakan niatnya pada Nath dan Mini, dorongan untuk pulang semakin kuat.
"Jangan pikirin omongan si Ici itu kemaren. Inget, kamu pulang buat abah kamu. Bukan buat Sueb apalagi si Ici itu. Enggak usah takut. Enggak ada yang salah sama silaturahmi."
Dia mengangguk dan Nath langsung menariknya dalam pelukan lagi.
"Dari kemaren, aku udah kayak Mamah Dede, yah?"
Sambil mengusap mata yang basah, dia tertawa. "Makasih buat semuanya." Perlahan, dia melepaskan diri dari pelukan Nath, bertepatan dengan klakson motor. Kepalanya menoleh sebentar. Ojek langganan mereka sudah siap di jalan gang. "Aku pergi, yah." Dia melambaikan tangan.
"Hati-hati."
Dia hanya mengangguk dan mulai menjauh. Seperti ada yang meremas perut dan dadanya saat mulai menjauh dari indekos. Keringat pun mulai merembes keluar dari pori-pori. Padahal pagi ini langit diselimuti mendung dan angin yang berembus tidak bisa dikatakan pelan.
"Tumben, Neng. Biasa malem."
Dia memakai helm yang disodorkan dan mulai mencari posisi duduk yang pas di jok motor. "Ke Terminal Kalideres, Pak."
"Tumben ke sono. Mau mudik?"
"Iya. Saya mau pulang."
Pulang ....
Jantungnya berdetak cepat. Masih was-was dengan keputusan ini. Bagaimana kalau dia diusir? Mengingat dia menolak pulang saat diajak. Bagaimana jika tidak ada yang mau menolongnya di sana? Mengingat dia yang dulu tidak peduli pada si abah. Kepalanya menggeleng. Mengingat kembali niatnya, sedikit demi sedikit keberanian terbit.
***
Dua belas tahun. Dia tidak pernah kembali setelah menginjak tanah Jakarta. Namun, dia masih ingat bagaimana harus mencapai tempat kelahirannya. Kata Teh Ranti dulu, setelah sampai di Terminal Rangkasbitung naik angkot jurusan Pasar Kopi, lalu dilanjutkan naik ojek atau angkot lagi yang langsung ke kampung mereka.
Banyak yang berubah. Dulu, ketika memasuki perkebunan karet—di mana Kardi bekerja sebagai mandor—jalan besar yang tersedia dipenuhi batu. Melonjak-lonjak badan jika berkendara di sana. Namun sekarang, sudah seperti jalan raya di Jakarta. Hutan-hutan yang dulu ada di sekitar perkebunan karet pun sudah terganti dengan lahan kosong. Entah ingin ditanami apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asam Asa
RomanceDia berada di sudut. Terdiam. Tersembunyi. Tapi dia menunggu. Mengawasi. Berharap kau mau, barang sekali, menariknya keluar. Membiarkan dia bercengkerama dengan angan dan khayal. Dia tidak seringan sehelai kapas. Juga tidak seramah senyuman...