Pulang dan Kembali

24 6 18
                                    

Ici benar tentang beberapa hal. Pertama, soal anak durhaka. Kedua, soal doa. Ketiga, soal pelacur. Dia ingin menyalahkan Ici, tetapi keadaan seolah menjadi algojo yang mengeksekusinya. Membuat dia kembali di titik awal, malah jauh lebih buruk. Tidak ada jurang, jalan kembali, atau jalan alternatif. Semua akses tertutup. Hanya ada dia di sana. Sendiri dan menunggu mati.


"Bell ...."


Belle tersenyum. Dia menghampiri Nath sambil menenteng tas yang baru dibeli. "Bagus, 'kan?" Dia memaksa Nath agar menatap tas, bukan matanya.


"Kamu belum cerita soal di kampung. Gimana? Udah ziarah?"


Ada yang menyengat di hatinya, tetapi Belle tetap tersenyum. Dia selalu menghindar tiap kali Nath mengungkit soal itu. Selalu punya alasan. Namun, pengalihan yang sudah dipakai tentu tidak akan mempan dua kali ke Nath. Dan dia tidak ingin terlihat menyedihkan seperti hari itu. Dia tidak ingin Nath atau Mini mendengar kisahnya lagi. Dia bisa mengatasi semua tanpa saran yang salah. Cukup dirinya yang bertindak.


"Nanti aja. Kalau udah siap," jawab Belle sambil menjauh dari Nath.


"Lho ... kok--" 


"Enggak apa-apa." Belle membuka lemari dan memasukkan tas itu di sana; bersama barang-barang yang juga baru dibeli. "Abah udah punya anak-anak yang bersih." Dia menggigit keras bibir bagian bawah sebelum menghadap ke arah Nath.


"Anak-anak yang bersih gimana maksud kamu?"


Belle mengangkat bahu. "Enggak apa-apa, kok. Nanti juga bisa liat langsung." Lagi, dia tersenyum. "Siap-siap, yuk. Mami jemput jam tujuh, katanya tadi." Dan napasnya berembus lega saat Nath mengangguk dan bilang ingin mandi dulu.


Belle langsung terduduk ketika tubuh Nath tertutup pintu kamar mandi. Saat sedang sendiri seperti ini, dia merasa sangat sakit tiap kali bernapas. Namun, dia tidak mau menangis sekarang. Tidak selagi Nath mandi dan Mini yang sedang telepon di luar kamar mereka.


Perlahan, Belle merangkak mendekati meja televisi. Mengambil bungkus rokok yang tergeletak di kaki meja; rokok milik Nath. Dia tidak suka dengan aroma mentol yang terhirup bersama embusan asap. Seperti menelan air bercampur minyak angin, protesnya saat Nath menantang menghisap sebatang rokok mentol. Namun, sekarang terasa sama dengan dua bungkus rokok yang sudah dia habiskan tadi. Malah lebih enak yang ini. Ketika menahan asap di tenggorokan, terasa plong dan segar.


Dia tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Hanya perlu rokok, uang, dan pelanggan. Hanya butuh tiga hal itu untuk mengurangi rasa sakit di hati.


***


Belle tentu menyadari tidak bisa selalu bergantung pada uang, karena Papi hanya mengirimkan uang kalau dia bekerja. Atau pada rokok, karena begitu rokok habis, hampanya datang kembali. Juga pada pelanggan, karena yang terjadi justru semakin menumpuk sesak di dada. Apalagi saat Ici kembali bersuara di telinga. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk beristirahat barang sejenak. Bebas dari semua rasa yang bercampur di hati. Terlebih, merdeka dari rasa bersalahnya pada si abah.


Belle kembali membuka mata dengan jantung yang berdetak kuat. Air matanya jadi lebih cepat keluar jika hening seperti sekarang. Dia menoleh dan tidak mendapati seorang pun. Mini baru saja pergi karena ada panggilan dari Papi. Begitu juga Nath. Hanya dia yang sudah dua hari tidak bekerja. Kata Papi, sekarang banyak yang cari perempuan berisi, sedangkan dia sudah seperti tulang dilapisi kulit. Jadi, Papi memutuskan untuk memberi libur sampai dia dipakai lagi.


Dan dinding yang mengelilingi seolah bergeser, membuat tempatnya berpijak semakin sempit dan sesak. Dia tidak bisa lagi berkutik terutama ketika rasa tidak diperlukan turut hadir. Sampai berapa lama dia tidak pakai? Sampai berapa lama Nath dan Mini mau membantunya bahkan untuk sebungkus rokok? Dan kalau dia harus pergi, ke mana dia akan pulang?


"Abah ...."


Isak tangisnya semakin menjadi. Namun, sesak di dadanya tidak kunjung mereda. Justru semakin bertambah. Bagaimana dia harus hidup sekarang? Dengan perasaan bersalah yang terus merongrong minta dibebaskan.


Dulu, dia bisa bertahan karena memikirkan apa yang akan dimiliki. Sekarang dia ingin bebas, ingin minta maaf kepada abahnya. Mencium tangan abahnya. Namun, kenyataan yang terlintas membuat dia semakin terpuruk. Sekeras apa pun dia meminta, abahnya tidak akan kembali. Sebesar apa pun rasa bersalahnya, Tuhan tidak akan mengampuninya. Benar kata Ici, tempatnya berpulang adalah neraka.


Dia merasa begitu kotor dan busuk. Mungkin akan lebih baik kalau dia berhenti bernapas. Setidaknya, orang-orang tidak akan terkontaminasi dengan embus udara yang dia keluarkan. Dia juga tidak harus dikejar-kejar lagi dengan perasaan bersalah. Dan yang paling penting, beban si abah di alam sana bisa berkurang.


Ini keinginannya.


Saat dia beranjak membuka lemari dan mengambil sebotol obat tidur yang disembunyikan di antara tumpukan pakaian dalam, hatinya berseru bahwa ini adalah keputusannya. Entah Tuhan dengar atau tidak saat hatinya berkata, "Ini bukan salah Abah. Saya yang ingin seperti ini. Ini kehidupan saya. Saya yang mau. Jadi saya tidak akan memberatkan Abah nanti. Biar saya yang kena."


Dia menuang air yang banyak di gelas, lalu duduk di pinggir kasur. Mencoba menghela napas dengan baik, meski tersengguk-sengguk. Tangannya yang gemetar membuka tutup botol. Satu per satu pil kecil itu ditelan hingga tandas. Entah seperti apa yang akan dia rasakan nanti, tetapi membayangkan malam ini bisa nyenyak cukup membuatnya bisa mendapat posisi nyaman di kasur.


Dia masih menerawang. Berusaha tidak peduli pada khayalan yang terlihat. Biar urusan nanti, menjadi permasalahan dia dengan Tuhan di sana. Bukan di sini. Dia hanya ingin terlepas; merdeka dari semua rasa yang menjajah di hati.


Dia ingin bebas.


Biarkan dia bebas saat ini ....











Selesai.   


Asam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang