Asam Asa

22 7 9
                                    

Lagi, Belle tidak terlelap. Masih awas menatap langit-langit kamar. Remang-remang, tetapi matanya mampu merepresentasikan dengan jelas wajah si abah. Dia tersenyum untuk mengejek diri, membenarkan ucapan Ici tempo hari soal anak durhaka. Tidak pernah sekalipun dia menadahkan tangan kepada Tuhan sejak terjerat dalam bisnis Papi. Baginya, menghadap Tuhan setelah bersuci pun percuma. Seperti bejana bolong yang tidak akan bisa menampung air. Lagi pula, abahnya pasti sudah mendapat kiriman doa dari mereka yang menyayangi si abah.


Dia ... juga sayang abahnya.


Belle perlahan duduk dan bersandar di tembok. Menghela napas sedalam mungkin agar sesak di dadanya berkurang. Namun, rasa itu menyergap di setiap senti kedamaiannya. Bahkan posisi tidur Nath yang seperti sedang mencium ketiak Mini tidak mampu membuatnya tersenyum. Semua terasa pahit dan mengimpit. Dan semakin menjadi saat ucapan Sueb kembali teringat.


Abah hanya mengingatnya. Mengingat dia yang memilih kabur untuk bebas.


Belle menekuk kedua kakinya. Menyandarkan kepala di lutut dan membiarkan diri menangis lagi. Selama dua belas tahun dia sudah berjuang untuk berdiri sendiri, untuk  menjalani hal yang dianggap sebagai takdir, untuk kebebasan yang diidamkan. Namun, baru dia sadari bahwa kepuasan yang selama ini didapat bersifat semu. Tidak permanen. Sekarang, batinnya seolah berada di tepi jurang. Mundur segan, terjun tidak mau. Dia terjebak dalam kehidupan yang dia buat sendiri.


Nath pernah menawarkan diri menjadi pendengar. Nath juga berpendapat bahwa tidak masalah untuk berbagi walaupun tidak ada solusi yang diberi, tetapi itu mungkin bisa meringankan hatinya. Namun, dia menolak. Dia meyakinkan kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan malam ini, di tengah suara air yang mulai turun mengetuk genting, dia menggigit lengan sekuat tenaga. Menyalurkan sakit yang bersarang di hati. Berharap dengan begitu, besok dia bisa kembali melangkah meski dengan beban yang sama.


***


"Bell, itu enggak salah cabenya?"


Belle mengaduk semangkuk bakso yang terus dipelototi Nath. Itu memang terlihat seperti sambal pakai bakso alih-alih bakso pakai sambal. Dibandingkan kuah bakso Nath atau Mini yang kemerahan, warna merah di kuah miliknya jauh lebih pekat. Dan turut dipenuhi dengan biji serta kulit cabe yang tidak halus diulek.


"Perut kamu bisa panas, lho."


Belle tidak menanggapi. Tanpa meniup dia langsung menyeruput kuah menggunakan sendok. Panas, pedas, dan pahit yang dikecap lidah menjalar cepat di tenggorokan hingga naik ke telinganya. Ini sudah cukup. Cukup untuk menutupi segala beban. Terlebih, ketika matanya menangkap sosok Mang Karda yang entah kenapa menjadi seperti si abah saat terakhir kali dia lihat.


Terakhir kali.


Saat terakhir kali dia berhadapan dengan si abah itu bukan kenangan yang bagus. Dia pergi tanpa pamit, tanpa mencium tangan abahnya. Dan sekarang, si abah yang pergi tanpa bisa dia lihat lagi wajah itu.


"Ada yang lagi kebakaran, Min. Kalau sampe sakit lagi, jangan diurus!"


Belle mendelik ke Nath. Keringat memang sudah keluar banyak dari pori-porinya. Bahkan sampai menetes dan bercampur di kuah bakso. Namun, tangannya bergerak bukan untuk menyeka, melainkan menuang kembali sambal bahkan sampai habis. Air matanya akan keluar sebentar lagi dan dia bisa bebas bersembunyi di balik panas yang mulai bersarang di tenggorokan, telinga, dan perut.


"Enggak usah kayak gitu juga kali, Bell. Nyiksa diri cuma buat nutupin air mata."


Belle tersedak kuah baksonya. Terbatuk-batuk dia merasakan tenggorokan yang sakit. Kupingnya juga langsung berdengung dan nyeri. Hidungnya pun seperti kemasukan kuah, membuat dia meringis karena perih dan aroma bakso yang tercium menjadi lebih kuat. Mini yang duduk di sebelahnya langsung menyodorkan es teh manis. Tanpa menggunakan sedotan, es teh manis itu meluncur ke dalam mulutnya. Ingin protes, tetapi tidak bisa berkata-kata. Selain karena efek tersedak yang masih ada, air muka yang ditunjukkan Nath membuat perasaannya tidak karuan. Seolah ingin menangis.


"Bell, kamu mungkin udah lupa, tapi aku masih inget. Waktu aku jatoh karena kena ganja, kamu selalu ada di samping aku. Ingetin aku. Aku emang belum bisa lepas sepenuhnya dari ganja, tapi paling enggak, aku jadi punya alasan kenapa harus bisa berhenti.


"Kamu yang bantu aku, Bell. Kamu yang kasih tau kalau ada adek aku di kampung yang masih butuh biaya. Kamu selalu ada, meski cuma nontonin aku nangis. Tapi setelah itu, kamu kasih semangat lagi buat aku. Sampe aku bisa tenang kayak sekarang.


"Ada aku sama Mini di sini. Kamu enggak perlu nuang semua sambel cuma buat nutupin apa yang kamu rasa. Karena itu bukan hal memalukan." Tangan Nath menggenggam jemari Belle. "Aku enggak tau kamu ada masalah apa sama keluarga kamu. Tapi ... kata orang kampung, kuburan bapak kamu masih basah. Masih tujuh hari. Kalau emang kamu mau pulang, nanti aku kasih tau Papi." Genggaman tangan Nath semakin kuat. "Bell, semarah apa pun orang tua ke kita, kita tetep anak mereka. Enggak ada yang namanya mantan anak. Sampai jasad mereka jadi tulang, mereka tetep orang tua kita, Bell."


Belle menunduk. Dengan sebelah tangan dia menutup mata. Menangis dia di sana. Menuangkan apa yang mengimpit di dadanya hingga tersengguk-sengguk. Keinginan pulang itu ada. Selalu hadir saat ingin terlelap. Berbisik di antara dengkuran halus Nath dan Mini. Namun, dia tidak tahu harus bagaimana. Dia sudah tidak memiliki tempat di sana, di kampungnya. Meskipun Sueb kemarin baru mengirim pesan, tetapi kata-kata Ici yang lebih kuat teringat. Dia sudah menjadi anak durhaka. Membangkang demi asa yang dia punya. Asanya pun benar-benar asam karena rantai dan pekerjaan yang diberikan Papi. Dia ... sudah hancur.


"Kok si Eneng nangis, kenapa?"


Suara Mang Karda membuat kepala Belle menengadah sebentar. Tangannya mulai sibuk mengelap air mata bercampur keringat di wajah. Dia menatap sekeliling, di luar mulai gelap, padahal baru lewat azan zuhur. Juga tidak ada pelanggan selain mereka. Dan tidak sengaja, saat mengalihkan pandang, dia bertatapan dengan Mas Joko yang tengah menurunkan terpal.


Rasa rindu itu membuncah begitu saja. Di antara penjelasan Nath ke Mang Karda bahwa mereka tengah melakukan adu tahan pedas, suara Sueb datang mengajaknya pulang.


Dia ingin pulang.

Asam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang