Dari sekian banyak tempat untuk bertemu kenalan masa lalu, kenapa harus di tempat kerja? Dan dari sekian besar kemungkinan orang yang dikenal di masa lalu, kenapa harus Sueb yang menegur? Dia sudah tidak bergairah untuk melakukan apa pun akhir-akhir ini, apalagi setelah malam itu. Makan saja harus dipaksa Nath, itu pun hanya mampu menelan paling banyak lima suap. Dia juga mendapat teguran berturut-turut dari Mami karena komplain pelanggan atas servisnya yang buruk. Tidak seperti biasa yang penuh hasrat, dia lebih seperti maneken pemuas nafsu.
"Kamu kenapa, sih? Sakit?"
Dia mengubah posisi menjadi menghadap tembok, membelakangi Nath. Sebelah tangannya dia tekuk dan selipkan di antara bantal dan kepala. Dia ingin sendiri. Tanpa siapa pun di sekelilingnya. Tanpa lampu kamar yang dibiarkan menyala. Bahkan tanpa suara air yang menghujani atap di atasnya. Tanpa apa pun. Hanya sendiri, gelap, dan hening.
"HP-nya Teh Bell nyala, tuh."
Dia diam. Jangankan beranjak, menoleh saja tidak.
"Nomornya sama kayak yang kemarin-kemarin. Cowok yang waktu itu, yah? Dia siapa, sih? Ngebet banget telepon kamu. Atau jangan-jangan dia pelanggan ilegal? Duh, Bell ... Bell ... jangan kayak Ika, deh. Tahu sendiri kalau Papi murka kayak gimana. Hancur kamu."
Dia masih bergeming, tidak mau menyahut.
"Halo ...."
Tubuhnya otomatis bangkit dan langsung menyambar ponsel yang sudah menempel di telinga Nath. Penuh napas memburu dia memutus sambungan telepon. Tidak peduli pada wajah kaget Nath dan Mini, dia berjalan cepat ke kamar mandi. Menutup pintu dengan keras dan menatap refleksi wajah pada cermin yang menempel di pintu.
Nyatanya, dua belas tahun bukanlah waktu yang cukup untuk melepaskan semua tali yang mengikat hingga ke ulu hati. Tali berduri itu masih menancap dan semakin mengikat tiap kali mengingat. Kali ini, tidak hanya membuat oksigen menipis di sekitarnya, tetapi juga mampu membuat setitik air turun dari matanya. Kakinya menjadi lemas dan gemetar. Tubuhnya perlahan merosot di lantai kamar mandi. Dingin. Namun, dia merebahkan diri. Memeluk ponsel dan menahan isak agar tersamar suara hujan di luar.
Kalau tahu akan seperti ini, tidak mungkin dia berikan nomor ponselnya. Malam itu dia hanya menduga kalau sudah bisa memperbaiki hubungan yang sempat terputus, meski dengan status yang berbeda. Namun, luka itu jelas masih ada. Dan sekarang, dia ingin menghindar. Mungkin meminta izin Papi untuk mengganti nomor ponsel adalah pilihan yang tepat.
Ponsel dalam dekapannya kembali bergetar, sebentar. Ada dorongan kuat untuk menatap layar ponsel yang masih menyala. Nomor itu kembali tertera membawa sebuah pesan. Tangannya terangkat dengan jari-jari yang gemetar, mengambang ragu mendekati layar.
Pesan itu singkat, tanpa basa-basi tentang kabar atau apa yang sedang dilakukan. Pesan itu pendek, tetapi mampu mengubah pikirannya.
***
Ruk, Abah skit. Bs ketemu?
Dia mengembuskan napas pelan. Setelah hampir satu jam berdebat dengan Nath-meyakinkan kalau dia keluar bukan untuk bekerja-kini dia duduk di samping jendela sebuah restoran ayam cepat saji. Aroma ayam goreng langsung menyeruak ke hidungnya begitu mereka membuka pintu restoran. Lambungnya perlahan bergetar, minta jatah untuk diisi. Apalagi pakaiannya sedikit basah dan dingin benar-benar membungkus tubuhnya. Namun, keinginan mengunyah barang sesuap tidak muncul. Jadi, dia hanya memainkan sedotan di gelas kertas berisi cola dan memperhatikan tiga orang yang duduk di hadapannya.
Dan nyeri itu kembali merambat di hatinya. Bergerak perlahan menyumbat saluran pernapasan. Sesak dan matanya mulai berair.
Dia mengalihkan pandang; menatap jendela yang berembun. Gerimis di luar sepertinya semakin deras. Seharusnya, bukan sekarang mereka bertemu. Atau memang lebih baik tidak perlu bertatap muka. Toh selama ini mereka memang terpisah tanpa komunikasi. Namun, dia juga masih tahu diri. Dorongan atas nama abahlah yang membuat dia membalas pesan, mengambil jaket, dan mengendarai motor di tengah rintik kecil yang masih membasahi Jakarta.
"Dimakan atuh, Ruk."
"Bell," sahutnya ketus tanpa menoleh. "Nama saya sekarang Bell. Dari bahasa Prancis, belle yang artinya cantik." Dia mendengkus. Merasa bodoh juga karena sudah menjelaskan persis seperti ucapan Papi. "Buat anak kamu aja." Dia menatap sebentar wajah Sueb sebelum mendorong piringnya ke anak kecil yang duduk di antara Sueb dan Ici.
"Abah ... udah enam bulan ini sakit, Ruk."
Dia kembali menatap jendela. Bayangan setengah wajah Sueb tampak buram. "Sakit apa?"
"Biasa ... orang tua. Belakangan malah enggak inget kami. Tapi dia terus nanyain kamu." Kali ini Ici yang menyahut. "Saya tahu kamu masih marah sama Abah karena saya menikah dengan Kang Sueb--"
"Enggak." Kepalanya menggeleng cepat. "Jangan gede kepala kalian!" sahutnya sambil menatap Sueb dan Ici bergantian. "Saya kabur karena memang ingin bebas. Abah juga enggak pernah nyariin saya. Itu bukti kalau dia emang lebih sayang ke Jefri. Dan juga kamu, Ci."
Brengsek!
Nyeri yang sedari tadi ditahan, mulai meruntuhkan segalanya. Pandangannya mulai buram tertutup air mata. Dadanya naik turun dengan cepat. Semua yang dia simpan berkeliaran bebas, seolah menempel pada layar di depan sana, dengan jelas menampilkan gambar masa lalu. Membuat tubuh kurusnya gemetar dan isak tangis keluar.
"Ruk ...."
Dia mengangkat satu tangannya, tidak ingin disentuh. Sebisa mungkin dia mengembalikan irama napas untuk teratur.
"Bibi kenapa, Mak?"
Dia menatap keponakannya. Tersenyum meski bibirnya bergetar.
"Kami sebenarnya datang ke sini mau jemput kamu pulang. Kata Mang Ujang, kamu kerja di diskotik itu. Jadi malam itu saya coba ke sana dan ketemu kamu."
"Kenapa sekarang? Apa karena Abah sakit? Kalau Abah enggak sakit, kalian tetap diam di sana, gitu?" Tangannya mengepal kuat. Jawaban atas pertanyaan tentang mengapa ada Sueb di sana terjawab sudah. Dan Mang Ujang ... sejak kapan Mang Ujang tahu dia bekerja di sana? Dia belum pernah bertemu tetangga satu kampung, tetapi Jakarta memang kecil. Namun, yang paling menonjok hati memang alasan Sueb. Sueb menghampiri dia hanya karena butuh. Mereka datang karena mereka butuh. Bukan karena dia sudah menghilang sekitar dua belas tahun.
"Ruk, saya harap kamu paham-"
"Soal apa saya harus paham!" teriaknya, mengundang tatapan dari pengunjung lain. "Saya begini karena Abah! Karena Abah pilih kasih!"
"Abah sangat menyayangi kita, Ruk."
"Abah cuma perhatian sama Jefri! Dan dia hanya ngerti kamu, Ci!"
"Apa kamu pikir Abah jahat? Kalau Abah emang jahat, udah dari dulu kamu dikerangkeng!" Ici ikut berteriak.
Dan tangis anak kecil di antara mereka pecah, bersahutan dengan isak si ibu dan si bibi.
"Ruk ...." Sueb berujar lembut setelah tangis Jaka reda. "Kami enggak akan maksa kamu pulang. Tapi kami hanya ingin kamu telepon Abah. Abah cuma inget sama kamu. Abah sering ngira Dewi adalah kamu. Dan bicara ke Dewi seolah bicara ke kamu. Telepon Abah dan bicara padanya. Hanya itu, Ruk."
Dia berdiri dan menyambar jaket, serta kunci motor di atas meja.
"Saya akan kirim nomor Jefri ke kamu. Telepon Abah, Ruk."
Tanpa membalas ucapan Sueb, langkah kakinya cepat mendekati pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asam Asa
RomanceDia berada di sudut. Terdiam. Tersembunyi. Tapi dia menunggu. Mengawasi. Berharap kau mau, barang sekali, menariknya keluar. Membiarkan dia bercengkerama dengan angan dan khayal. Dia tidak seringan sehelai kapas. Juga tidak seramah senyuman...