Pertemuan Kembali

71 7 18
                                    

Belle masih termenung di posisi yang sama: merebahkan tubuh menghadap tembok dengan sorot yang menancap pada cover buku yang dia pegang. Buku itu sudah seperti kitab suci yang enggan dibuang, meskipun sudah lecek dan warna kertas di setiap halaman berubah menjadi kuning; walaupun banyak bagian yang belum bisa dia pahami; biarpun hanya dipegang tanpa dibaca. Bahkan, Nath sering protes karena buku itu mengeluarkan bau apak. Namun, baginya, buku yang diterjemahkan oleh Armijn Pane ini memiliki aroma yang khas. Kalau dihirup dalam-dalam yang tercium bukan hanya wangi buku, tetapi juga rasa rindu pun ikut tercumbu.


Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam.


Belle bahkan bisa mengingat di halaman berapa rentetan kata itu tercetak. Sudah lama, mungkin sudah dua belas tahun, matanya tidak menyelami lagi setiap kata yang pernah ditulis Kartini. Kesenangan itu menguap seiring dengan kesadaran pada apa yang dituju. Pada jalan yang sampai sekarang ditempuh.


Kartini tidak salah. Beliau hanya menuangkan apa yang diinginkan dan sangat menunjukkan jalan positif. Sementara Belle?


Belle mengembuskan napas dan mengubah posisi menjadi telentang. Buku bersampul gambar Kartini itu dia letakkan di samping kepala. Matanya kini menatap langit-langit kamar. Menerawang langit.


Dia sudah menyadari bahkan saat pertama kali bertemu Papi. Namun, desakan untuk bebas sangat kuat. Dilandasi perasaan sudah dicurangi, dia mengangguk dan menurut saja saat disuruh ini-itu. Tidak protes ketika warna rambutnya diubah menjadi cokelat tua. Tidak juga menolak ketika diperintahkan memakai pakaian minim bahan. Semua amarah dan kekesalan ketika tangan pria asing menjamah setiap jengkal kulitnya, dia telan bulat-bulat hanya untuk satu kata: emansipasi.


Dia ingin bebas. Keluar dari kungkungan perintah ayahnya yang wajib dipatuhi. Ingin melakukan apa yang dia mau. Membeli apa yang dia suka. Dan Jakarta menjanjikan semua itu. Kata Teh Ranti, emansipasi itu hanya bisa dikecap di ibu kota. Otak desanya pun setuju. Kenyataan yang disuguhkan memang benar, tetapi kini di lehernya ada rantai yang dipegang Papi.


Belle mendengkus keras. Kenapa setiap kali sedang merenung ada saja yang mengganggu. Padahal, dia pikir dengan tidak ikut Nath dan Mini ke salon bisa membuat penyesalan dalam hati lenyap, meskipun dengan melamun. Dan semakin dongkol saat membaca nama si penelepon yang terpampang di layar ponsel.


"Iya, Pi." Papi tidak suka dengan suara yang terkesan malas atau marah, jadi sebisa mungkin Belle menjawab dengan nada yang ceria. Bibirnya bahkan tersenyum.


"Nanti Papi jemput kalian jam delapan, yah."


Belle menahan diri agar tidak mendengkus keras. "Lho, kok sore banget, Pi?"


"Biar Mini beradaptasi dulu. Oke, yah. Jangan lupa jam delapan."


Dan sebelum Belle menyahut, telepon sudah terputus.


***


Nath bilang, Belle yang akan menjadi pembimbing Mini. Namun, pasca perkenalan sore itu, Nath yang lebih banyak mengambil peran. Bahkan, Nath bersedia merepotkan diri membantu Mini mencari pakaian yang cocok. Meskipun ada gerutuan karena Belle hanya bergeming memperhatikan, tetapi wajah Nath jelas menunjukkan rasa bangga.


"Papi pasti muji aku," ujar Nath sambil memegang kedua bahu Mini dan membuat gadis belia itu berputar. "Nanti kamu kalau ditanya siapa yang dandanin, bilang Kak Nath. Jangan ngomong Kak Bell yang bisanya cuma liatin doang."


Belle mendengkus dan keluar kamar sambil menenteng payung Mang Karda. Jika saja sosok Mini tidak seperti cermin yang memantulkan dirinya, mungkin dia akan senang hati menjalankan kewajiban sebagai pembimbing. Mini memang memiliki bibir tebal yang sedikit berwarna hitam dan hidung yang pesek, tetapi sorot mata gadis itu mampu menyedot masa lalu Belle untuk dikeluarkan.

Asam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang