Fakta yang Menohok

23 6 12
                                    

Kulitnya masih merasakan bagaimana telapak tangan Ici yang dingin mencekal lengannya. Kemudian suara gemetar Ici yang memberi tahu si abah jatuh, juga masih terngiang walaupun samar. Dia sudah terbiasa untuk tidak memikirkan bagaimana rupa dan kabar si abah, tetapi berita yang dibawa Sueb tetap meremukkan hatinya. Membuat dia berusaha keras menahan air mata, berusaha menahan isak di tenggorokan, juga menahan tubuhnya yang mulai menggigil. Terlebih, menahan kenangan untuk tidak keluar.


Sekeras apa pun dia berusaha mengenyahkan segala kejadian dengan si abah di masa lalu, dayanya tidak cukup untuk berhenti merasakan bagaimana dulu si abah pernah menggendongnya. Pernah mengepang rambut panjangnya. Pernah menyuapinya. Pernah menggandengnya. Dan pernah menemaninya tidur bersama Jefri saat si emak kabur dengan lelaki lain. Semua itu, terpampang jelas silih berganti di pikirannya.


Dia sedikit menengadah, berharap air mata yang membuat semua terlihat buram menghilang. Namun, perasaan yang menekan dadanya sungguh kuat. Dan ketika kenangan itu memperjelas wajah si abah, air matanya meluncur; menuruni lekuk wajahnya. Abahnya sudah tidak ada. Orang yang selama ini dia cap sebagai pawang otoriter sudah tidak ada.


"Kamu mau pulang? Nanti aku bilangin ke Papi."


Dia tersentak dan tangannya cepat menyapu pipi. Tatapannya terpaku sebentar ke wajah Nath, lalu beralih menatap isi kamar mereka. Mini baru saja membuka pintu dan masuk dengan menenteng kantong plastik hitam. Ada tiga botol air mineral yang kini diletakkan di tengah ruangan. Botol air mineral itu jelas untuk Sueb, Ici, dan Jaka. Tadi Nath mempersilakan mereka untuk masuk. Menurut Nath, lebih baik kabar duka ini dibahas di kamar. Namun menurutnya, tidak ada yang perlu dibahas lagi.


"Kita kejar bus malam ini, Ruk. InsyaAllah masih keburu sebelum Abah dimakamkan."


Perkataan Sueb membuat dia termenung. Ada sebagian sisi dari hatinya yang meminta untuk pulang. Untuk melihat wajah abahnya yang sudah dua belas tahun tidak dipandang. Untuk mencium tangan abahnya seperti kebiasaan yang diterapkan semasa kecil. Meskipun abahnya sudah tidak bisa membalas tatapan atau mengelus kepalanya saat mencium tangan, tetapi rindu untuk menginjakkan kaki di kampung halaman begitu membuncah di antara kemarahan, kekecewaan, dan rasa takut. Hingga membuatnya tidak dapat lagi menahan semua. Isak tangis itu lolos. Diiringi air mata yang terus keluar. Dia sampai tersengguk-sengguk. Ingin berucap memanggil si abah, tetapi lidahnya kelu.


"Udah, Bell ...." Nath yang masih merangkulnya, membantu mengusap air mata.


"Sabar, Teh ...." Mini ikut merangkulnya.


"Min, siapin bajunya Bell."


Dia menggeleng dan menahan tangan Mini.


"Kalau kamu enggak punya ongkos, bisa pakai punyaku, kok."


"Biar ongkos, saya aja yang bayar," sahut Sueb. "Yang penting sekarang kita pulang."


Kepalanya tetap menggeleng. "Per-gi ... kalian."


"Bell ...."


"Ruk ...."


Panggilan itu terdengar nyaris bersamaan. Namun, dia tidak mau merespons. Hanya bergerak pelan untuk melepaskan diri dari rangkulan Nath dan Mini, kemudian beranjak mendekati kasur, dan merebahkan diri menghadap tembok. Hanya tembok yang melihat bagaimana dia menggigit ujung bantal agar isak tangisnya teredam.


"Udah saya bilang Kang, jangan nemuin dia lagi! Hatinya udah berubah jadi batu!"


"Ruk ... ayo atuh pulang. Kasian Abah, Ruk."


"Per-gi."


"Udahlah, Kang. Jangan maksa dia lagi! Hatinya udah keras kayak batu! Percuma! Kata-kata kita enggak akan didenger. Biarin aja! Anak durhaka kayak dia enggak bakal tenang! Liat aja entar. Kalau kamu mati, jangan harap kami mau urus! Ayo, Kang!"


Matanya terpejam. Suara-suara di balik tubuhnya masih terus berseteru. Ici yang paling keras menyerukan sumpah serapah, diikuti Sueb yang menyuruh Ici agar tenang, lalu suara tangis Jaka, dan Nath yang menjelaskan kondisinya yang mungkin menjadi penyebab utama dia tidak bisa ikut mereka.


Namun, ini bukan tentang fisiknya. Ini lebih pada eksistensinya di sana. Dua belas tahun. Bagaimana dia harus memosisikan diri di sana meskipun datang hanya untuk melihat jasad si abah? Bagaimana dia bisa membangun kisah tentang kepergiannya selama ini? Bagaimana bisa dia bertatap muka dengan teman-teman masa kecilnya? Dan bagaimana jika dia bertemu Mang Ujang?


Lalu, sudah berapa lama Mang Ujang mengetahui pekerjaannya? Jika sudah lama, ada kemungkinan si abah sudah tahu, mengingat Mang Ujang adalah sopir yang mengantar hasil panen si abah. Itu berarti dia memang sengaja dibuang. Sengaja tidak diakui. Seperti ibunya yang dihapus begitu saja. Kalau memang seperti itu, untuk apa dia pulang? Toh si abah tidak menganggap dia lagi. Si abah tidak mau bertemu dia lagi.


Tubuhnya perlahan berbalik karena Nath menarik pelan bahunya. Sudah tidak ada siapa pun selain mereka. Kamar ini menjadi lebih hening.


"Jangan ditahan."


Dan dia mengeluarkan semua yang menumpuk di hati. Terisak hebat di sana dengan Nath yang menjadi saksi.


"Abah ...."


***


Matanya tidak dapat terpejam barang sejam. Kosong. Hampa. Dia sudah menangis selama yang dia mampu, tetapi dua kata itu tetap berada dalam hatinya. Dalam pikirannya. Kosong. Hampa.


Tidak pernah sekalipun dia menyangka akan seperti ini. Minggatnya dari rumah adalah bentuk pemberontakan. Dia sudah tidak dapat menoleransi keputusan si abah lagi. Persetan dengan iming-iming masa depan yang cerah. Masa depannya akan sangat gelap kalau menuruti perintah si abah untuk menjadi istri keempat si Kardi. Dia hanya ingin merdeka. Bebas menentukan apa yang dia suka dan membuang yang merusak mata. Namun, berakhir menjadi seperti sekarang siapa yang mau?


Dia memang terlepas dari titah si abah, tetapi masuk kandang Papi. Tidak. Papi dan si abah berbeda. Papi tidak akan melarang selama dia menurut. Bersama Papi dia bisa bebas dengan tetap memakai rantai. Itu lebih baik karena ini takdirnya.


Dia mulai mencoba untuk terlelap ketika ponsel yang diletakkan di lantai dekat bantalnya berbunyi. Hanya tanda bahwa ada pesan yang diterima. Namun berkali-kali, hingga dia memutuskan untuk mengecek siapa yang mengirim pesan di sepertiga malam seperti ini.


Pesan-pesan itu dari rangkaian nomor tanpa nama, tetapi dia tahu identitas si pengirim. Sempat ragu untuk membaca. Namun, dia teringat sumpah Ici beberapa jam lalu bahwa mereka tidak akan datang menemui dia lagi. Kini jempolnya mulai menyentuh layar ponsel dan matanya membaca cepat isi pesan yang tertera.


Ruk, maaf ganggu kamu. Seharusnya, saya bilang ini tadi. Tapi tadi bukan waktu yang tepat. Saya tahu kamu pasti sangat terpukul dengan kepergian Abah. Ruk, ada beberapa hal yang harus kamu tahu tentang Abah. Ini sebenernya rahasia, tapi saya mau untuk kamu tahu, Ruk. Pertama, Abah enggak pernah lupain kamu. Pas kamu ilang, Abah langsung bertanya ke saya dan Abah meminta untuk merahasiakan semua. Ici, saya, dan Jefri tutup mulut. Abah bilang ke kami kalau ada yang tanya soal kamu, bilangnya dibawa pergi si emak ikut ke Kalimantan.


Abah juga tidak tinggal diam. Saya ingat kamu sempet ngobrol bareng Teh Ranti. Dari sana Abah tahu keberadaan kamu. Abah sempet memaksa Teh Ranti untuk bicara karena Teh Ranti enggak mau kasih tahu. Tapi akhirnya kamu ketemu. Abah memang keras, Ruk. Kamu pasti lebih tahu. Tapi Abah tetaplah Abah, Ruk. Seorang Abah enggak akan lupa sama anaknya.


Abah kecewa sama kamu. Abah mengatakan ini hanya pada saya. Hanya saya juga yang tahu kamu kerja apa di Jakarta. Abah ingin ajak kamu pulang, tapi Abah takut kamu menolak. Abah bercerita tentang emak kamu dan Jefri. Abah bilang, persis kayak kamu yang minggat. Abah pernah coba nyusul emak kamu, tapi enggak berhasil dan malah emak kamu hilang gitu aja di Kalimantan. Abah enggak mau kehilangan kamu.


Abah enggak bisa terus-terusan awasin kamu di Jakarta. Akhirnya Abah membayar Mang Ujang untuk terus awasin kamu. Untuk mengecek apa kamu masih ada di Jakarta atau enggak. Ruk, saya tahu kamu kecewa sama Abah. Abah juga kecewa sama kamu. Tapi Abah adalah orang tua kamu, Ruk. Yang akan terus  sayang sama kamu. Pulang, Ruk. Jika enggak bisa dateng tepat waktu, antarlah Abah dengan doa kamu, Ruk. Doakan Abah.


Di sepertiga malam ini, hatinya benar-benar hancur.



Asam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang