B_PI 1

16.7K 444 12
                                    


"Aku terima nikah dan kawinnya Kalila binti Abdul Aziz dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Sah?"

"Sah," jawab para saksi.

"Alhamdulillah," sambut para tamu serentak.

Itulah suasana ijab qobulku. Harusnya menjadi momen terindah sepanjang hidup. Namun tidak demikian adanya.

***

Aku menatap wajah di cermin dengan pandangan kosong. Beberapa jam yang lalu aku telah resmi menjadi istri orang. Ya istri orang. Seorang pemuda tampan, kaya raya baru saja mengucapkan janji suci pernikahan. Mendengar bagaimana ia menjawab ijab qobul seharusnya aku yakin bahwa ia sungguh-sungguh.

Tapi mana mungkin? Seorang pria flamboyan sepertinya tidak akan pernah menghargai sebuah ikatan. Aku tahu pasti itu. Terlebih aku bukanlah tipenya. Dengan wajah seadanya, tubuh yang hanya lurus-lurus saja seperti papan penggilasan, mana mungkin lelaki sepertinya akan tertarik padaku. Apalagi untuk jatuh cinta. Berkhayal dia akan melirik pun, aku tak berani.

Karena memang pada kenyataannya ia hanya menikahiku karena terpaksa, tuntutan pihak keluarga. Mereka geram melihat pria yang hampir memasuki usia kepala tiga itu tak pernah serius dalam menjalin suatu hubungan dengan seorang wanita. Baginya wanita itu ibarat makanan, kenyang lalu tinggalkan. Anehnya wanita-wanita itu tak keberatan. Termasuk aku, dalam ikatan halal tentunya.

"Jika sampai bulan depan kamu belum membawa gadis untuk kamu jadikan istri maka hak warismu akan Papa cabut," ucap Pak Edward saat mereka makan malam.

Pria itu melengos malas.

"Bisa gak sih gak usah membicarakan jodoh di meja makan ini? Bikin nafsu makan hilang aja," sahutnya kesal.

"Lalu kapan? Memangnya kamu punya waktu untuk berbincang dengan kami?" Mamanya nyelatuk tajam.

"Maaf, Ma. Belakangan ini aku sibuk, makanya jarang di rumah," sahutnya pelan.

Mungkin inilah satu-satunya sifat baik yang kusuka darinya. Sekesal apa pun, ia takkan pernah membantah sang bunda. Dua tahun aku bekerja sebagai pengasuh omanya belum pernah sekalipun aku melihat ia membantah.

"Pikirkan apa yang baru dikatakan ayahmu. Usiamu sudah lebih dari cukup untuk berumahtangga. Tetapkan hati pada satu wanita agar hidupmu juga teratur," ujar mamanya lagi.

Pria itu manut.

Sejujurnya aku tak betah berada di antara mereka, apalagi mereka tengah membahas hal yang bersifat pribadi. Namun bagaimana lagi? Sudah menjadi kebiasaan keluarga ini harus berkumpul setiap Jum'at malam walau hanya sekedar makan malam bersama. Termasuk juga sang nenek yang makannya harus disuapin. Mau tak mau aku sebagai pengasuhnya harus mendampingi. Tentu saja tak ikut makan bersama mereka.

Dadaku berdebar kencang, saat tiba-tiba ia menatapku intens, tak bisa digambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Harus kuakui pesonanya mematikan. Untuk pertama kalinya ia menatapku begitu lekat. Tulang di seluruh tubuhku terasa tak berfungsi. Biar salah tingkahku tidak kentara, aku meraih selembar tissue meja dan membersihkan mulut si oma yang sedikit belepotan.

"Lagi, Oma?" tanyaku lembut. Wanita tua itu menggeleng.

"Antarkan Oma ke kamar!" perintahnya.

"Baik, Oma." Aku mengangguk. Lalu bangkit dan perlahan mendorong kursi rodanya.

"Nikahkan aku dengan Kalila."

Tubuhku membeku. Untuk sesaat hanya tertegun. Kedua tanganku mencengkram kursi roda kuat. Reflek aku menoleh padanya, sekedar memastikan pendengaran. Ternyata aku tidak lagi berhalusinasi. Memang aku yang ia maksud. Saat netra kami bertemu dapat dipastikan tubuhku terasa lunglai.

Wajahku mungkin telah pias. Membayangkan hidup dengan pria yang sama sekali tak pernah menganggap aku ada bukanlah suatu kebanggaan. Meski harus diakui pesonanya tidak terbantahkan.

"Kamu tidak lagi bercanda, 'kan?" tanya mamanya tak percaya.

Ya iyalah. Siapa pun pasti akan mempertanyakan kesungguhannya. Meski terasa menyakitkan, aku cukup tahu diri. Siapa aku di tengah keluarga itu?

"I'am so serious, Mom," sahutnya tegas.

Di luar dugaan kedua orang tuanya menyambut baik ide gila itu. Keduanya tersenyum semringah dengan wajah berbinar.

"Kamu mau, 'kan, Sayang? Jadi bagian dari keluarga ini?" tanya Bu Ranti penuh harap dan itu membuatku gugup.

"Tapi, Bu ...."

"Kalau lo gak mau gak papa kok," potongnya cepat.

"Nah, kalian lihat sendiri 'kan, bukan aku lho yang gak mau terikat pada satu perempuan," lanjutnya sambil tersenyum licik.

Sial! Dia manfaatin gue, batinku. Oke, kalau dia berbuat begitu sengaja untuk memojokkan orang tuanya, aku pun bisa melakukan hal yang di luar dugaannya. Selama ini bapak dan ibu Edward adalah orang yang baik. Kehadiranku di rumah ini tidak hanya sekedar menjadi pengasuh ibunya yang sudah sepuh. Tapi mereka memperlakukanku layaknya kerabat sendiri. Kecuali Alfin. Laki-laki itu begitu dingin dan jutek. Sekarang tiba-tiba ia ingin melibatkan aku dalam masalahnya?

"Saya mau," sahutku membalas tatapan Alfin tajam. Terlihat jelas keterkejutan di wajahnya, namun hanya sekilas. Kapan lagi coba. Mungkin ini satu-satunya kesempatanku memenangkan hatinya.

"Baiklah, kalian atur saja kapan tanggal yang tepat. Lebih cepat lebih baik." Ia lantas bangkit dari kursinya, "... dan lo, persiapkan diri. Gue gak suka cewek yang terlalu kurus," bisiknya di telingaku sambil lalu.

Wajahku menghangat. Antara malu dan sakit hati dengan sikapnya. Aku mengatupkan rahang rapat dengan mata mendelik.

Bersambung...

20 Juli 2018

Bukan Pernikahan Impian (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang