B_PI 9

9.7K 374 29
                                    

Aku membolak-balik album pernikahan yang baru saja dikirim fotografer ke rumah. Alfin 💗 Kalila. Indah bukan? Ditambah lagi warna sampul yang kuning keemasan, terlihat makin berkelas dan elegant.

Penasaran aku mulai melihat isinya. Di lembar pertama terpampang fotoku dan Alfin setelah akad. Dimana suami tercinta itu memakaikan cincin berlian di jari manisku.

Si fotografer kurang ajar, 'ups ... mereka hanya menjalankan tugas Kalila', memaksa kami saling menatap dengan senyum yang senantiasa tersungging di bibir. Terasa aneh memang, tapi malah tidak saat dalam foto. Semua terlihat natural.

Jika mereka yang tidak mengetahui kenyataan sebenarnya, pasti akan melihat Alfin menatapku penuh cinta. Senyum mesra terukir di bibirnya. Sungguh akting yang bagus. Harusnya ia mendapat penghargaan untuk aksinya yang satu ini. Dan aku? Binar itu begitu nyata, walau terlihat sedikit galak malah membuat foto-foto itu makin terlihat menarik.

Luarrr biasa.

Tak sia-sia memang keluarga Alfin membayar mahal untuk itu. Bahkan perasaan pun bisa disamarkan.

Yang lebih luar biasa lagi, saat Alfin diminta mencium keningku lama. Mendadak detak jantungku serasa berhenti berdenyut, setelah itu tidak ingat apa-apa. Pingsan.

'Lo memalukan Kalila'.

Dreeeeettt.

Tengah asyik mengamati foto itu satu persatu, gawai di meja rias bergetar. Dahiku mengernyit ketika menatap layar ponsel.

KESAYANGAN calling ...

Perasaan aku tak pernah memberi nama itu di daftar kontak. Mana alay gitu, 'bukan gue banget'. Ponsel itu kembali bergetar, membuatku memutuskan menerima panggilan.

"Sayang ...,"

Aku tersedak ludah sendiri. Lalu  menjauhkan ponsel dari daun telinga dan menatap layarnya dengan jidat berlipat.

Sepertinya aku mengenal suara itu, tapi dimana?

"Key ..., hallo."

What? Aku tidak lagi bermimpi kan?

" ... bersiaplah, kita ada undangan makan malam bersama kolega dan pemilik saham perusahaan. Habis maghrib gue jemput."

Sambungan terputus sepihak.

Hmmm, aku mencebik. Ternyata lelaki dimana-mana sama. Modus. Aku baru ingat ia sempat merampas gawaiku saat pembatalan taksi online tempo hari. Kesayangan? Ah ... Alfin, andai saja ini sungguhan.

Tunggu ...

Ia tadi bilang apa? Sayang? Apa kata itu muncul benar-benar dari hati atau hanya karena ia telah mendapatkan jatahnya tadi malam. Hahh, memikirkannya saja membuat hatiku jadi miris. Betapa tidak enaknya dimanfaatkan.

Wajahku yang memerah terpampang di depan cermin mengingat kejadian itu. Alfin luar biasa. Tak perlu ada segudang gombalan kata cinta untuk mendapatkan apa yang ia mau. Dengan pesona yang ia miliki mampu membuat siapa saja bertekuk lutut. Termasuk aku. Walau sesungguhnya tak sudi untuk mengakui.

Pantas saja banyak wanita yang mengejarnya tak tahu malu. Ada yang bahkan berkali-kali dicampakkan oleh Alfin, tetap saja datang lagi. Mengemis cinta pada si flamboyan itu.

Kalian pernah dengar apa yang disebut karma? Sekarang aku mengalaminya. Barang bekas yang aku suruh kiloin justru membuatku klepek-klepek. Sialan. Dan makin berasa sial saat menatap senyum puas di wajah Alfin.

"Key ... masih belum rapi juga?" Tahu-tahu pria yang tengah mengacaukan otakku muncul di kamar.

"Hah, udah pulang? Kok cepat amat?" Aku melirik jam kecil yang ada di nakas. Syukurlah! Baru jam 16.00. Aku menarik napas, lega.

Bukan Pernikahan Impian (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang