B_PI 10

1.9K 158 7
                                    


Melangkah memasuki ruangan, Alfin meraih tanganku dan mengaitkan di lengannya. Senyum merekah menghias wajah tampan itu, saat semua mata terarah pada kami berdua. Pantas saja ia ingin semua terlihat sempurna. Kehadirannya hal yang paling dinantikan.

Acara ini khusus didedikasikan untuk menyambut kehadiran Alfin yang baru bergabung di perusahaan. Berlebihan memang. Tapi tak ada salahnya bukan? Sebagai bentuk apresiasi.

Sikapnya teramat manis. Aku jadi curiga, jangan-jangan nih orang punya kepribadian ganda. Bagaimana tidak? Alfin yang di sampingku sekarang adalah seorang yang terlihat humble, ramah dan berwibawa.

Ia mengedipkan sebelah mata ketika menyadari tengah dikagumi. Aku melengos dengan wajah menghangat. Bukan malu padanya tapi pada semua mata yang tertuju pada kami. Menatap dengan senyum dikulum.

Dasar somplak! Sempat-sempatnya ia menggodaku disaat seperti itu. Tapi entah kenapa, aku suka. Berasa istimewa menjadi seorang yang bisa mendampingnya. Boleh dong sedikit ge-er?

Ternyata makan malamnya tidak sekaku yang aku bayangkan. Acara yang diadakan di salah satu ballroom hotel berbintang itu diupayakan sesantai mungkin.

Yang datang pun bukan saja para dedengkot perusahaan, tapi juga orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sangat kekeluargaan.

Ada beberapa meja bundar dalam ruangan itu. Satu meja dilengkapi empat kursi. Semua telah terisi penuh. Di tengah ruangan ada satu meja yang ukurannya lebih besar, terdapat delapan kursi. Dua diantaranya masih kosong. Masih bergandengan, kami melangkah ke sana.

"Maaf, sedikit telat," ujarnya menyesal setelah duduk di tempat yang disediakan. Yang disambut anggukan oleh mereka.

"Selamat datang, Sayang, kamu cantik sekali," puji mama Ranti yang membuatku tersipu.

"Terima kasih, Ma." Lalu cipika-cipiki.

Aku duduk persis di sebelah wanita anggun itu. Lalu tersenyum menyapa pada mereka yang satu meja dengan kami. Ada sepasang suami istri, satu pria paruh baya dan ...

Aku tertegun. Pemuda itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Dari penampilan, rasanya tak mungkin kalau ia ada di sana sebagai driver online. Apalagi berada satu meja dengan para pemilik perusahaan.

"Apa kabar, Mbak Kalila?"

Duh!

"Kalian kenal?" Mama menyipitkan matanya. Sementara papa ikutan melirik menunggu jawaban.

"Dia ...,"

"Lo?" Alfin sama terkejutnya denganku.

"Ternyata Bapak masih ingat saya." Ia menyahut santai. Lalu mengulurkan tangan, tersenyum dengan sudut bibir sedikit terangkat. Sinis.

"Saya Bima."

Meski terlihat malas, Alfin tetap menyambutnya. Ada sedikit keterkejutan yang berusaha ia sembunyikan. Bima Kumbara Sakti. Ternyata pemuda itu, putra dari bapak Arya, sang konsultan perusahaan mereka. Lelaki paruh baya yang juga tengah berada di depan kami.

"Senang berkenalan dengan Anda."

Perasaanku tidak enak saat Bima berkali-kali mencuri pandang dan membuang muka tatkala Alfin memergoki. Ada aura yang tak biasa di sana. Sesaat wajah Alfin mengeras, lalu kembali seperti sediakala.

Makanan berupa hidangan 'western food' terasa seret di lidah. Bukan karena rasanya yang tidak enak, tapi melihat tampang Alfin selera makanku langsung raib. Sepertinya laki-laki itu sukses mengacaukan mood Alfin.

Selesai makan dan berbincang  mengenai banyak hal, Alfin mengajakku pulang duluan. Nyata sekali ia tidak nyaman dengan suasana yang ada.

"Kalian pernah dekat?" tanya Alfin datar setelah kami berada dalam mobil.

Bukan Pernikahan Impian (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang