B_PI 8

8.3K 369 13
                                    

Kami tiba di rumah pas adzan Maghrib berkumandang. Aku buru-buru turun dari mobil Alfin. Selain ingin segera menunaikan solat, juga menghindari bertatap wajah dengan pria itu.

Setidaknya untuk saat ini.

"Hei ... belanjaannya."

"Tolong ya, buru-buru nih," sahutku setengah berlari menaiki anak tangga.

Setelah membersihkan diri ekstra kilat, aku langsung mengambil wudu dan bersiap melaksanakan sholat Magrib.

Entah sejak kapan Alfin berada di kamar. Yang pasti saat mengucapkan salam ujung lirikku menangkap sosoknya  yang tengah duduk di sofa dengan bertopang dagu. Pandangannya seperti menerawang.

"Ada apa?" tanyaku menatapnya. Alfin tersentak. Jadi benar pria itu melamun.

"Gak," sahutnya menggeleng.

"Mau sholat?"

Butuh mental yang kuat untuk mengatakan ini. Secara seumur-umur aku belum pernah melihatnya melaksanakan kewajiban itu.

"Gue?" Ia malah bertanya.

"Iya elo lah, emangnya di sini ada orang lain."

Alfin menatapku lama.

"Gue udah lama banget gak solat," ucapnya pelan. Nyaris gumaman.

Aku menghela napas panjang, dalam hati beristighfar berkali-kali. Rasanya tak percaya, aku begitu saja menyerahkan segenap rasa yang kumiliki untuknya. Jelas-jelas bukan lelaki sepertinya yang ingin kujadikan imam.

Sekali lagi inilah cinta, atau tepatnya jodoh. Layaknya usia kita tak pernah tahu kapan dan dimana ia akan berlabuh.  Satu yang pasti ada rencana Allah di baliknya. Apakah itu suatu hal yang akan membahagiakan atau justru sebaliknya menyakitkan hingga hancur berkeping. Karena sedari awal pernikahan ini bukan karena keikhlasan tapi keserakahan. Entahlah. Aku meraup udara rakus dan menghempasnya kasar.

Setelah merapikan sajadah dan mukena, aku mendekatinya.

"Kenapa?" Lagi-lagi aku bertanya. Sok perhatian eh ... bukan, memang perhatian beneran.

Alfin membalas tatapanku dengan pandangan kosong. Sesaat ia bergeming.

"Kalau gak keberatan gue mau kok jadi pendengar yang baik buat lo," lanjutku lalu duduk di ujung sofa satunya.

Sepertinya benar, ada sesuatu yang tengah menjadi beban pikiran Alfin. Naluriku mengatakan demikian.

Lelaki itu menghela napas berat, kemudian menatapku dengan pandangan ... entah.

"Kalila," desisnya pelan.

"Ya," sahutku menatap Alfin penuh tanda tanya. Sikapnya terlihat jauh berbeda, jauh dari kata arogan seperti biasanya dan ini bukan Alfin banget.

Mungkinkah ia lagi teringat mantan-mantannya? Secara setelah beberapa hari menjadi suamiku hasratnya tidak tersalurkan. Atau mungkin teringat dosa-dosanya karena melihat aku salat? Ah bodo amatlah. Emang gue pikirin, batinku.

"Lo kok mau sih nikah sama gue?" ujarnya tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan.

"Pertanyaan macam apa itu?" sahutku datar.

"Tapi gue butuh jawaban lo."

"Hmmm, harus dijawab ya?"

"Kalau lo gak keberatan."

Aku menarik napas, tak sadar apa pertanyaannya itu hanya akan membuat aku merasa makin tak berarti di matanya.

"Gini, meskipun semua orang bilang lo itu bajingan, nyebelin, kulkas berjalan dan terkadang sedikit gak punya otak ...."

Bukan Pernikahan Impian (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang