B_PI 5

7.9K 329 15
                                    


Aku memutar diri di depan cermin. Bergaya ala-ala peragawati yang lagi manggung. Dengan mulut yang dimonyongkan dan sedikit mengerucut, melenggang lenggok dengan sebelah tangan berkacak pinggang. Tampak depan, tampak samping dan tampak belakang. Meski dengan kepala nyaris berputar seratus delapan puluh derajat. Untung bisa balik.

"Kutilandara ..., kurus tinggi langsing dada rata." Aku mendengus sebal.

Alfin berlebihan, rasanya aku tidak semenyedihkan itu. Dengan tinggi 163 cm, berat 53 kg bukankah itu berat badan ideal para model. Memang tidak dinafikan sih, secara kasat mata terlihat ceking.

Tanganku meraba dada, gak kecil-kecil amat. Secara dalamanku saja 34 B, cukuplah untuk ukuran seorang perawan. Emangnya mak-mak menyusui?

Hanya saja karena ruasku pada panjang-panjang jadi terlihat kurus. Ditambah lagi kebiasaan menguncir rambut hingga terlihat leher jenjangku makin panjang.

Baiklah! Demi Alfin tersayang mungkin memang sudah waktunya bagiku untuk mengurus diri sendiri. Aku harus mencari tahu olahraga apa yang harus diikuti biar tubuh ini lebih berisi. Mungkin aerobik atau olahraga lain. Entahlah!

Sebenarnya bisa saja aku bertanya pada mama Alfin, secara ia sosialita banget. Namun rasanya tidak etis, atau lebih tepatnya aku malu.

Mungkin hal pertama yang harus aku lakukan adalah memperbaiki nafsu makanku yang payah. Sedari kuliah karena nge-kost, jam makanku tak pernah teratur karena tidak ada yang mengingatkan. Jika sudah fokus mengerjakan sesuatu, makan selalu terlupakan.

Fix, hal pertama yang aku lakukan adalah belanja. Itung-itung perbaikan gizi lah, bukan berarti kulkas mertuaku kosong ya? Tapi makanan yang ada di dalamnya rata-rata menu diet. Begitulah manusia, tak pernah merasa puas dengan yang ada.

Yang bahenol pengen singset dan yang ceking ingin terlihat lebih semok. Selain untuk kesehatan, makhluk yang bernama lelaki tetap jadi penyebab utamanya. Hadeuhh ...!

"Cukup."

Sekali lagi aku menatap wajah di cermin. Setelah memastikan semua sesuai keinginan, aku meraih tas tangan. Swalayan menjadi tujuanku. Dengan setengah berlari aku menuruni anak tangga.

"Mau kemana, Non?" Bik Isah menyapa saat aku menginjakkan kaki di ruang tengah.

"Nan non, apaan sih, Bik? Biasa aja keleus," sahutku.

"Ya gak bisa dong, Non. Sekarang kan non Illa majikan Bibik."

"Heleeh!" Aku mencibir.

"Beneran, Non. Ibu bisa marah nanti kalau Bibik panggil Illa saja."

"Ya udah, panggil Non nya kalau di depan mereka aja," sahutku.

"Beneran nih gapapa?"

"Iye ...."

"Kalau nanti ada yang nanya, bilang aku keluar sebentar ya, Bik?" Padahal ingin bilang kalau Alfin yang nanya, tapi kok rasanya gengsi ya?

"Ya, Non. Eh ..., Illa."

Aku tersenyum lalu mengayunkan langkah.

"Lho, gak bawa mobil?" tanya bik Isah saat melihatku melenggang menuju pintu keluar. Sementara garasi ada di samping.

"Sejak kapan aku bisa nyetir, Bik?"

"Ya, minta Mang Darto nyupirin atuh?"

"Gak usah, Bik. Aku bareng Bang Ojol aja."

"Ojol? Emang ada supir baru ya?"

"Ada Bik, banyak."

Wanita itu mengernyitkan dahi, bingung. Aku berlalu. Selain belum mendapat izin menggunakan fasilitas yang ada, Mang Darto adalah supir oma. Pria itu ditugaskan stand by di rumah. Maklum dengan usia oma yang makin renta, akhir-akhir ini ia sering bolak balik masuk rumah sakit.

Bukan Pernikahan Impian (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang