B_PI 2

9.5K 324 4
                                    


       "Kamu yakin? Pernikahan itu bukan sesuatu yang main-main lho," tanya Mama.

Aku terdiam, karena memang sesungguhnya aku tidak yakin. Jawabanku tempo hari hanya sikap refleks karena aku merasa dimanfaatkan, tak lebih dari itu. Menyesal? Tentu saja, meski menyukainya aku tak pernah bermimpi untuk jadi pendampingnya. Aku cukup tahu diri.

"Mungkin dia memang jodohku. Mama doakan saja ya, semoga dia memang pria yang tepat buat jadi imamku," sahutku akhirnya, walau ragu.

Mama menghela napas panjang.

"Bagaimana mungkin? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau anak majikanmu itu seorang yang suka hura-hura. Tidak bertanggungjawab, dan lebih membuat Mama tidak yakin ia suka gonta-ganti pasangan." Mama menekankan, "... batinmu akan tersiksa bersamanya." Sepertinya Mama benar-benar keberatan.

"Atau jangan-jangan kamu suka padanya?" celetuk Mama menatapku menyelidik.

"Ah nggak lah, Ma. Apaan sih?" elakku membuang muka. Tak ingin Mama melihat rona di wajah ini.

"Lalu sekarang bagaimana, Ma? Aku telah terlanjur berjanji." Aku menatap Mama bingung. Haruskah aku menjilat ludah sendiri? Itu menjijikkan.

"Serahkan semuanya pada Mama," sahut wanita surgaku itu tegas.

"Baiklah, lakukan apa yang menurut Mama baik." Aku tertunduk dalam.  Menyesal telah mengambil keputusan tanpa melibatkannya. Sekarang harapku tertuju pada Mama. Semoga ada penyelesaian yang baik tanpa menyinggung perasaan keluarga Bu Ranti.

"Maafkan Illa, Ma."

Wanita itu mengusap pucuk kepalaku penuh kasih sayang.

"Dia bukan pria yang cocok untukmu, percayalah," bisiknya pelan. Aku mengangguk. Tapi entah mengapa terasa ada sesuatu yang hilang di sini.

Kenapa aku jadi plin plan begini?

***

Malam ini keluargaku disibukkan dengan persiapan menyambut tamu kehormatan. Siapa lagi kalau bukan keluarga Alfin. Biarpun berniat untuk menolak bukan berarti mereka akan mengabaikan. Di keluargaku tamu adalah raja. Jadi menghormati dan menyambut baik mereka adalah suatu kewajiban.

Jam delapan malam dua buah mobil terdengar berhenti di jalanan depan rumahku. Pekarangan kami yang kecil jelas tidak akan bisa menampung dua mobil mewah itu. Orang tuaku tinggal di cluster yang ukuran tanahnya secara keseluruhan tak lebih dari 90 meter persegi.

Sepasang suami istri melangkah pasti memasuki pekarangan rumah. Di belakangnya Alfin mengikuti dengan malas-malasan. Dan di belakangnya lagi ada beberapa orang yang membawa seserahan. Ribet ternyata.

Di teras kedua orangtuaku menyambut mereka dengan ramah. Dari kamarku terlihat jelas Mama sedikit tertegun saat menatap Alfin. Lalu mengurai senyum ketika pria itu menyalaminya.

Aku yang tengah mengintip mereka dari jendela mengernyitkan dahi. Sejak kapan pria itu mengerti sopan santun? Jangan-jangan tadi sebelum berangkat ke sini kepalanya terantuk pintu mobil, hingga kewarasannya datang. Atau bisa jadi ini bagian dari sandiwaranya.

'Hellooo, emang siapa lo Kalila, sadar dong...! Dia tak akan caper demi lo. Lo bukan Cinderella yang pangerannya rela melakukan apapun demi mendapatkan cintanya. Lo bukan Juliet, yang dicintai sepanjang hayat oleh Romeo. Lo hanya debu jalanan di mata pria tampan itu. Mungkin saja saat itu ia terkena kutukan sehingga lidahnya keseleo meminang lo.'

Plak! Kenapa rasanya sakit ya? Aku mendengus kesal.

"Kalila mana?" Lapat aku mendengar suara Bu Ranti menanyakanku saat mereka telah sampai di ruang tamu.

Bukan Pernikahan Impian (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang