B_PI 3

8.1K 325 5
                                    

Ceklek!

Aku menoleh kaget saat pintu dibuka tiba-tiba dari luar. Tubuh tinggi atletis milik Alfin berdiri tegap di depan pintu. Ya Tuhan, lelaki yang baru hari ini resmi menjadi pendamping hidupku terlihat sangat tampan. Wajahnya putih bersih. Bola mata yang hitam sedikit kecoklatan menyorot tajam dinaungi sepasang alis yang tertata rapi. Hidung mancung dengan bibir tipis sedikit bergelombang bagian atasnya, pantas saja ia jutek, pikirku.

Rahangnya yang tajam ditumbuhi cambang yang tidak begitu lebat. Ya Tuhan, dia seperti malaikat yang turun dari khayangan. Adalah hal yang wajar jika mamaku dengan gampangnya berubah pikiran.

"Hmm ..., terpesona ya?" ujarnya sambil melangkah masuk dengan pongah. Angkuh dan dingin.

"Waalaikum salam," sahutku sengaja menyindir.

Lalu memutar kepala jengah, pura-pura membersihkan wajah dengan kapas pembersih. Pengalihan, agar wajahku yang memucat saking gugup tak tertangkap pandangannya.

'Plis deh, jantung, jangan seperti ini. Pemilikmu bisa berhenti bernapas'.

Aku tahu ia menatapku tajam dari dalam cermin. Kalau ia pikir bisa mengintimidasiku, ia salah besar. Aku tidak akan menyerah, ini keputusanku. Seperti kata mama, kewajibanku untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Dan aku yakin kedua mertua tersayang akan mendukung. Benarkah aku yakin? Ah sudahlah! Kepalang tanggung.

"Biasakan untuk selalu mengucap salam sebelum masuk," ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari dalam cermin.

Lelaki yang tengah membuka jasnya itu menoleh. Ia menyisakan kemeja putih dengan dua kancing bagian atas yang terbuka. Memperlihatkan dada bidangnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Aku membuang muka dengan wajah yang terasa memanas.

"Lo ngatur gue?"

Tuhan, jangan biarkan tatapan itu membuat aku merosot padanya.

"Gak, cuma mengingatkan," sahutku acuh. Padahal deg-degan. Penampilannya membuatku gagal fokus. Pasti sangat nyaman berada dalam dekapannya.

"Tidak perlu, bukankah pernikahan ini hanya sebuah status?" Kulkas bernyawa itu mendesis.

Aku memejamkan mata. Sakit? Sangat! Meski aku telah menduga akan seperti ini. Mulut laki-laki itu sangat pedas dan berbisa. Tapi aku tidak akan menyerah. Sekali melangkah maka aku akan berjuang hingga ke final. Kalila .... Si oma saja yang galak dan nyinyirnya enggak ketulungan mampu aku jinakkan. Di dalam asuhanku wanita tua itu menjadi sangat manis.

Tapi mereka jelas dua makhluk yang berbeda, Kalila." Aku membatin, ada sedikit keraguan.

Lalu berbalik membelakangi cermin sambil duduk di pinggir meja rias. Menatapnya songong.

"Kita lihat saja nanti," sahutku tak kalah pongah.

Pria itu mendekat. Rahangnya mengeras. Jangan tanya seberapa gugupnya aku. Namun bukan Kalila namanya jika tidak bisa menguasai keadaan. Aku membalas tatapan tajamnya tak kalah galak. Dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja rias di kedua sisiku, wajah Alfin berjarak sangat dekat. Dadaku berdebar kencang. Harum maskulin tubuhnya menusuk hidung, memancing anganku jadi liar. Tuhan, tolong aku! Dengan dikungkung seperti ini jelas aku mati kutu.

"Ternyata lo lebih rata dari yang gue perkirakan," sentaknya diluar dugaan.

Kamvlet! Reflek kedua tanganku menutup dada dengan wajah yang mungkin sudah seperti kepiting rebus. Mataku mendelik nyaris keluar dari rongganya. Sempat-sempatnya ia melirik pusaka milikku dari leher baju tidur yang sedikit terbuka.

Kurang ajar! Ingin rasanya kusumpal mulut resenya itu dengan kaos kaki bekas.

"Jadi lo bela-belain ke sini hanya buat ngintip. Kasihan banget sih lo," sinisku tertawa mengejek.

"Gue? Dikasihani? Asal lo tau detik ini juga akan ada yang bersedia gue tiduri jika mau," sahutnya sombong, "sayangnya nafsu gue keburu menghilang begitu melihat lo," semburnya sambil mundur beberapa  langkah.

Siapa yang ia maksud? Apa ia tengah menyindirku?

Kalau saja bukan karena gengsi mungkin aku telah menangis meraung-raung. Biar kedua orang tuanya tahu betapa kurang ajarnya anak mereka. Sakit bo. Ini sudah bisa dikategorikan sebagai penghinaan dan pelecehan. Sejelek itu kah aku?

"Oh ya, kenapa lo gak lakuin?" tantangku.

Alfin melirik sekilas sambil membuka ikat pinggang yang melilit tubuhnya. Tanpa rasa sungkan langsung membuka resleting dan ...

"Stop!" Aku mengangkat sebelah tangan sambil buang muka dengan wajah menghangat, tapi masih sempat mengintip. Sayangnya terlambat, celananya telah merosot sampai ke mata kaki.

"Hayoo, pasti lagi ngeres ya?"

Sialan, ia malah menggodaku.

"Tenang aja, gue gak akan segampang itu telanjang bulat di depan lo. Kan udah dibilangin, gak selera," lanjutnya.

Aku menatap sengit. Ingin rasanya kuamplas bibirnya agar kotoran yang tak terlihat itu menghilang. Lelaki itu dengan santai membuka kancing kemejanya satu persatu.

"Apalagi gue, tak sudi. Barang bekas mah cocoknya dikiloin," sahutku terlanjur sakit hati.

Sayangnya ucapanku tak sejalan dengan otak. Tubuhnya yang telanjang dada dengan bagian bawah tertutup boxer tetap saja membuat gagal fokus.

Dia tertawa sinis sambil mengibaskan tangannya seolah mengusir lalat. Tak terpengaruh oleh ucapan pedas'ku. Aku jadi blingsatan sendiri.

"Mau kemana?" Ia bertanya enggan saat aku melangkah menuju pintu keluar dengan bibir manyun. Langkah kaki dihentakkan ke lantai. Kesal, sebal dan juga malu bercampur jadi satu.

"Bukan urusan lo."

"Siapa bilang, lo belum amnesia 'kan?" gumamnya pelan tapi tegas.

"Ini malam pertama kita." Ia menekankan dengan tatapan tajam. Memuakkan! Ia tak sadar apa, sikapnya telah sukses membuatku sakit hati. Aku menatap Alfin sekilas.

Tanpa mempedulikannya segera melanjutkan langkah. Persis saat tanganku meraih gagang pintu, lelaki itu menyambar tanganku.

"Jangan kemana-mana, gue janji tidak akan macam-macam," desisnya pelan.

Aku tahu ia menghentikanku karena tak mau orang tuanya tahu kalau kami baru saja bertengkar. Karena itu akan berpengaruh buruk baginya. Bodohnya aku, sangat sadar dimanfaatkan tetap saja tak bisa berkutik. Ternyata jatuh cinta itu menyakitkan.

Tanpa sepatah kata pun aku berbalik. Meraih sebuah bantal dan selimut, lalu membawanya ke sofa.

"Kamu tidur di ranjang, biar aku yang di sofa," ujarnya.

Lalu mengambil bantal dan selimut yang kupegang. Ia bilang apa? Aku-kamu? Aku mengernyitkan dahi. Tiba-tiba ide bagus muncul di kepalaku. Sekarang aku tahu bagaimana caranya menaklukkan beruang kutub itu.

"Emang buat lo, wew. Siapa juga yang sudi tidur di sofa, mending ama oma sekalian."

Aku menjulurkan lidah dan menghela napas lega sambil mengusap dada. Bak pahlawan menang dalam peperangan, aku mengangkat dagu dengan pongah. Berhasil membuatnya mengalah itu merupakan suatu prestasi.

"Shitt." Laki-laki itu menggeram. Aku tersenyum puas. Ini baru permulaan, Alfin.

Aku merebahkan diri di ranjang pengantin dengan nyaman. Saat menarik selimut tanpa sengaja tanganku menyentuh dada. Harus kuakui pria itu benar, dadaku sangat rata. Aku mendengus sebal, sepertinya mulai saat ini kudu rajin browsing-browsing melihat bagaimana caranya membuat payudara ideal. Menyebalkan!

Bersambung....

21 Juli '18

Bukan Pernikahan Impian (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang