B_PI 4

8.3K 334 9
                                    

Aku meregangkan tubuh berkali-kali. Ternyata jadi ratu sehari lumayan melelahkan. Rasanya terlalu malas untuk membuka mata. Namun kumandang adzan subuh dari ponsel pintar memanggilku untuk segera bangun.

Dengan enggan aku melepas guling sambil membuka mata perlahan. Pupilku langsung membesar begitu menyadari ada seseorang di sampingku. Tanpa berpikir panjang aku mendorong kasar. Karena memang tidurnya mentok ke pinggir, mudah saja membuat tubuh besar Alfin terguling ke lantai.

Gedebug!

"Adauww!"

Pria itu menjerit tertahan sambil mengusap-usap jidat. Mata elangnya menatapku tajam.

"Lo gila ya? Sakit tau!" Ia mendengus kesal.

"Siapa suruh lo tidur dekat gue, atau emang lo nyari kesempatan?" tuduhku sengit.

"Gue? Nyari kesempatan? Lo ngingau ya?"

"Habisnya ..., ngapain lo pindah?"

"Punggung gue sakit tidur di sofa." Ia mendengus.

Dengan santainya kembali naik ke ranjang. Duduk bersila, sebelah tangannya masih mengusap kepala dengan tampang kecut. Aku menatapnya lama, sedikit beringsut menjauhi Alfin.

"Beneran lo kagak ngapa-ngapain?" tanyaku memastikan.

"Ya elah, kagak percayaan amat, ngapain juga gue bo'ong," sahutnya mengerling malas.

"Lagian mau diapain coba? Kutilangdara," lanjutnya sambil menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Njir! Dia mulai lagi.

"Ihh ..., lo tu ya." Aku memukulnya dengan guling. Gondok sampai ke ubun-ubun. Dia menangkap gulingku, jadilah kami tarik-menarik. Dalam sekali sentakan aku terjerembab ke pangkuannya.

Belum sempat aku bangkit, Alfin menjatuhkan diri hingga badanku menimpanya. Alfin mengunci pelukan, aku tidak bisa bergerak.

Jangan tanya seperti apa detak jantung ini. Talu bedug takbiran aja kalah. Alfin menatap intens. Aku terhipnotis, seluruh tulang belulang penyangga tubuh terasa tak berfungsi. Tanpa memutus  tatapan ia merengkuh leherku hingga wajah kami nyaris tiada jarak, kian dekat. Saking gugupnya aku menutup mata.

Sedetik, dua detik, tak ada apapun yang terjadi. Aku membuka mata mendapati wajah Alfin dengan tatapan datar.

"Berharap dicium 'kan?" ujarnya tanpa tedeng aling-aling. Tak ada  senyum di wajah menyebalkan itu.

Entah sudah seperti apa rona wajahku. Memerahkah atau mungkin memucat. Yang pasti ia sukses mempermalukanku. Dengan kesal aku bangkit dari pelukannya. Makin yakin sekarang, ia tak punya hati.

Dengan mendumel panjang pendek aku melangkah ke kamar mandi. Tak ingin subuhku terlewatkan. Tiba-tiba saja Alfin menyela.

"Gue kebelet."

"Pasti kebelet karena habis meluk gue," sahutku iseng. Terlalu percaya diri, atau malah tak tahu diri.

"Jan ngarep."

Nah ..., kan?

Aku merengut, "gak, gue duluan," sungutku kesal. Sebelah kakiku telah menginjak lantai kamar mandi.

Entah mahkluk apa yang ada di depanku ini. Heran. Kok ada ya orang sepertinya di dunia ini. Sama sekali tak mengerti cara memperlakukan wanita.

'Jangan salah, Kalila, sikapnya seperti itu hanya kepadamu'.

"Haaahhh!" Aku membuang napas kesal. Kenapa juga harus mendengar bisikan sumbang itu.

"Ya sudah, kita mandi bareng," sahutnya santai.

Bukan Pernikahan Impian (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang