LAGU 8-SIDNEY

12.1K 2.5K 371
                                    

"Kok ditutup, sih?" Aku memperhatikan Ragil memasuki mobil dengan penampilan barunya. Rambut yang dulu panjang dan selalu menjadi ciri khasnya, kini sudah dipangkas habis. Namun sayangnya, aku tidak bisa melihat seperti apa hasilnya karena Ragil sengaja menutupi kepalanya menggunakan topi.

Beberapa menit yang lalu, aku sempat menunggu Ragil potong rambut di ruang tunggu barbershop, tapi Ragil mengusirku dan meminta agar aku menunggu di mobil saja. Dia bilang, dia grogi kalau aku menunggunya di dalam. Padahal apa pengaruhnya, sih? Aku menunggu di luar atau di dalam pun, hasilnya akan tetap sama, kan?

"Buka topinya, dong. Gue pengin lihat rambut lo kayak gimana jadinya," ujarku, mengulurkan tangan ke arah Ragil untuk meraih topinya. Namun, Ragil segera menjauhkan kepalanya sambil menepis tanganku.

"Jangan, Sidney! Seriusan, gue nggak pede banget," katanya.

"Kalau nggak pede ngapain lo potong rambut?"

"Demi profesionalitas."

Aku pura-pura melotot dan membuatnya tersenyum. Walaupun aku suka Ragil menjadi dirinya sendiri dengan style rambut gondrong yang selalu berantakan, tetapi, melihat bagaimana penampilan dia sekarang... harus kuakui ide potong rambut itu bukan hal buruk.

Penampilan Ragil terlihat jauh lebih manusiawi dengan potongan rambut pendek rapi walaupun tertutup topi. Dan yang paling penting, aku bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas karena nggak ada lagi rambut gimbal yang menghalangi.

"Kita mau ke mana lagi sekarang?" Pertanyaan Ragil mengembalikan kesadaranku. Aku bahkan tidak menyadari Ragil sudah membawa mobilnya keluar dari pelataran parkir barbershop.

"Tadinya sih, gue mau beli kado buat hadiah pernikahan Mbak Miza sama Mas Aksa, tapi, tadi Mbak Miza nelepon gue dan minta kita pulang sekarang juga karena ada yang mau dia omongin sama lo."

Ragil mengernyit. "Ngomongin apa?"

"Nggak tahu. Mbak Miza cuma bilang, lo harus pulang sekarang karena ada yang mau dia omongin."

Rasa penasaran membuat Ragil diam sepanjang perjalanan. Dia sama sekali tidak mengajakku bicara, hingga kami tiba di rumah.

Ragil memasuki rumah lebih dulu dan meninggalkan aku yang kebagian tugas menutup pintu gerbang. Ketika aku menyusulnya, aku lihat Ragil sudah duduk di ruang tengah bersama Mbak Miza dan Mas Aksa.

"Ada apaan, Mbak?" Aku mendengar Ragil bertanya.

Tadinya, aku berpikir untuk langsung masuk kamar agar mereka bisa leluasa bicara. Siapa tahu, apa yang akan dibicarakan Mbak Miza adalah hal pribadi yang hanya boleh diketahui keluarga. Namun, ternyata Mbak Miza memanggilku dan mengajakku bergabung bersama mereka. Aku pun menurut, duduk di sofa single dan menyaksikan percakapan mereka.

"Mbak Miza sama Mas Aksa jadi nikah besok, kan?" tanya Ragil kemudian.

"Jadilah! Justru, yang mau Mbak omongin ke kamu ini menyangkut soal acara pernikahan besok."

"Kenapa emangnya?" Ragil semakin penasaran. Raut wajahnya benar-benar terlihat bingung.

"Jadi gini, Gil, Mbak kan butuh wali nikah untuk menikahkan Mbak dengan Mas Aksa, sedangkan Bapak udah nggak ada dan kamu saudara laki-laki satu-satunya yang Mbak punya. Dan sekarang, Mbak mau meminta kamu untuk menjadi wali nikah di acara pernikahan Mbak besok."

Muka Ragil kelihatan benar-benar bingung. "Jadi wali nikah? Emangnya nggak ada orang lain yang bisa jadi wali nikah selain aku?"

"Siapa lagi kalau bukan kamu, Gil? Kamu satu-satunya saudara laki-laki yang Mbak punya. Saudara laki-laki Bapak juga udah pada nggak ada, kan?"

Song About SidneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang