LAGU 12-SIDNEY

9.5K 2.1K 113
                                    

Kepala ranjangku sudah dinaikan ketika Ragil membuka pintu dan menyerbu masuk ke dalam ruangan.

"Hey." Dia menyapa, melangkah menghampiri aku dan memperhatikan keadaanku dari atas kepala sampai ujung kaki. "Mana aja yang luka?" tanya Ragil dengan penuh kecemasan.

"Cuma ini aja, kok," jawabku, menunjuk perban kecil di dahi yang menutupi luka bekas jahitan.

"Kok bisa sampai kayak gini sih, Yang?"

"Gue yang salah. Posisi gue waktu meliput tadi terlalu dekat. Padahal Dinta udah ingetin gue supaya mundur, tapi gue tetep nekat karena pengin dapat gambar bagus."

Tatapan Ragil membuatku gentar sebab dia terlihat marah. "Lo ke rumah sakit sama Dinta?"

Aku menggelengkan kepala. "Gue ke sini sendiri. Dinta masih harus lanjut meliput. Kalau nggak gitu, dia nggak akan dapat berita."

"Jam berapa kejadiannya?"

"Kurang lebih jam dua-an."

Ragil melirik sport watch yang melingkari tangan kanannya. "Berarti dari tadi siang lo sendirian di sini?"

Aku mengangguk.

"Kenapa lo nggak nelepon gue?"

"Lo lagi ngerjain lagu di studio. Gue takut ganggu, makanya gue cuma kirim WA aja."

"Astaga, Yang. Lo itu penting buat gue. Urusan bikin lagu masih bisa dikerjain besok, tapi kalau urusan kayak gini mana bisa ditunda-tunda!"

"Udahlah, santai aja. Memang kayak ini risiko kerjaan gue sebagai jurnalis."

Ragil bersandar di tembok sambil bersedekap. Tatapannya galak. Terlihat jelas dia tidak menyukai penjelasanku tadi.

"Keadaan lo sekarang gimana? Dijahit berapa jahitan tadi?" Ragil balik bertanya alih-alih menghiraukan ucapanku.

"Cuma delapan jahitan aja, kok, nggak banyak. Sebenernya gue udah dibolehin pulang dari tadi sore, tapi gue takut pulang ke rumah sendiri."

"Lo itu ya, di rumah sendirian takut, tapi ngadepin bocah tawuran berani. Harusnya lo nelepon gue, jadi gue bisa langsung jemput lo ke sini supaya lo nggak nunggu lama."

"Gue kan udah bilang gue nggak mau ganggu kerjaan lo. Selama gue masih mampu urus diri gue sendiri, gue nggak akan ngerepotin lo atau siapa pun."

"Tapi kalau kayak gini gue jadi merasa nggak berguna jadi cowok karena nggak ada waktu lo butuh gue."

"Udah deh, Yang, nggak usah lebay. Gue tahu lo peduli, tapi gue bukan tanggung jawab lo."

"Lo itu cewek gue, Sidney."

"Baru cewek lo, bukan istri lo. Itu artinya, gue bukan kewajiban yang harus lo urus."

"Oh, jadi gue harus nikahin lo dulu, baru gue boleh peduli sama lo?"

"Bukan gitu maksud gue."

Bibir Ragil membentuk garis ketat. Dia berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke arahku lalu bicara, "Lo inget omongan gue, seandainya nanti album gue sukses dan gue punya banyak duit, gue bakal langsung nikahin lo. Gue nggak akan nanya lo mau jadi istri gue atau nggak karena gue nggak mau jawaban enggak. Gue bakal paksa lo kawin sama gue dan lo nggak perlu kerjaan sialan ini lagi. Tugas lo cuma ngurusin anak-anak gue di rumah sambil nungguin gue pulang."

"Kalau gue nggak mau?"

"Gue udah bilang, gue nggak akan nanya lo mau apa nggak. Pokoknya lo harus mau."

Mau tidak mau aku tertawa. Kurang dari satu jam berikutnya, aku sudah tiba di rumah dengan membawa bekal berbagai macam obat-obatan yang diberikan dokter. Dari mulai antibiotik sampai pereda nyeri, dan semuanya harus aku minum sampai habis.

Song About SidneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang