LAGU 10-SIDNEY

10.8K 2.3K 201
                                    

"Cuma mirip doang kali," komentar Dinta setelah aku menceritakan siapa yang baru saja aku lihat di pesta pernikahan Mbak Miza dan Mas Aksa.

Tangan Dinta mengelus-elus pundakku, mendukungku tanpa suara. Sementara aku, hanya diam memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Sekuat mungkin aku berusaha menenangkan diri. Bisa saja laki-laki di pesta tadi memang hanya sekadar mirip dengan cowok itu. Kendati begitu, aku tidak bisa membohongi diri sendiri jika laki-laki tadi membuat aku kembali mengingat kejadian yang dulu pernah aku alami dan mati-matian aku lupakan.

"Udahlah, santai aja. Dunia ini luas, Sidney. Nggak mungkin lo ketemu satu orang yang sama di antara 200 juta lebih penduduk Indonesia."

That's exactly what I didn't want to become. Hampir sepuluh tahun kejadian itu berlalu, dan bertemu lagi dengan cowok itu sekarang, adalah mimpi paling buruk dari yang terburuk yang pernah aku alami. Butuh waktu lama hingga aku bisa menjalani kehidupan normal tanpa memandang rendah diri sendiri. Dan aku tidak ingin kenangan itu kembali menghancurkan aku.

"Kenapa cowok itu nggak mati aja, sih?" ucapku, membuat Dinta cekikikan mendengarnya.

"Kalau gue sih, berharap dia kena penyakit kelamin atau HIV, biar dia ngerasa tersiksa dulu sebelum mati."

Aku menyetujui ucapan Dinta. Laki-laki itu harus merasakan apa yang aku rasakan. Menjalani kehidupan dengan penuh siksaan, merasakan jatuh sejatuh-jatuhnya setelah dia membuat fondasi terakhir hidupku goyah. Dia harus membayar semua itu.

"Lo ke sini naik apa tadi?" Pertanyaan Dinta menyela lamunanku.

"Naik ojek."

"Kok nggak dianterin Ragil?"

Aku langsung terkesiap. "Ya ampun, Dinta! Kok gue bisa lupa sih, kalau gue udah punya cowok? Gue nggak pamit dulu sama Ragil. Pasti dia lagi nyariin gue sekarang."

Aku mengeluarkan ponsel dan berniat menghubungi Ragil, tetapi, aku baru ingat, aku bahkan nggak punya nomor Ragil. Ya Tuhan! Pacar macam apa yang nggak punya nomor telepon pacarnya sendiri?

"Din, lo punya nomor Ragil?" tanyaku.

Dinta menggelengkan kepala. "Ragil doang yang nyimpen nomor gue. Gue nggak minta nomor dia."

Aku mengerang. Oh, gobloknya! Terus aku harus menghubungi siapa sekarang? Nggak mungkin aku nelepon Mbak Miza karena sepertinya Mbak Miza terlalu sibuk untuk mengurusi ponselnya.

Di saat aku masih bingung memikirkan cara menghubungi Ragil, ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal.

"Halo," sapaku.

"Yang, ini gue. Lo di mana, sih? Gue cariin ke mana-mana nggak ada."

"Ya ampun, Ragil, sorry banget tadi gue buru-buru pergi. Gue mau nelepon lo, tapi gue nggak punya nomor lo. Lo tahu nomor gue dari mana?"

"Gue nanyain sama Mbak Miza. Emang lo di mana sekarang?"

"Gue di kosan Dinta."

"Ngapain lo ke kosan Dinta?"

"Tadi... um... anu..." Aku berpikir cepat. "Tadi Dinta nelepon gue. Dia minta gue datang ke kosan dia karena asmanya kambuh. Terus, Dinta minta dianterin ke rumah sakit."

Dinta langsung menoyor kepalaku. "Sejak kapan gue punya bengek!" serunya dengan suara tertahan. Aku berguling menjauh agar Ragil tidak mendengar seruan Dinta.

"Lo lagi di rumah sakit sekarang?" tanya Ragil lagi.

"Nggak. Gue udah beliin obat buat Dinta, jadi nggak perlu ke rumah sakit."

Song About SidneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang