Hari liburan sekolah adalah hari yang membosankan bagi Nindya. Tidak ada pelajaran, tidak bertemu dengan teman-teman, dan tidak ada tugas. Bagi anak lain mungkin ink adalah hal yang menyenangkan, tapi tidak bagi Nindya. Sejak pagi sampai siang ia hanya lantang lantung di rumah. Tidak ada kerjaan.
Nindya benar-benar bosan. Akhirnya ia memutuskan untuk mengganggu kakaknya. Hiburan yang menyenangkan.
Kak Nika, kakaknya Nindya yang berusia 17 tahun sedang sibuk menyelesaikan jahitan. Bukan pekerjaan yang penting, tapi Kak Nika memang hobi menjahit. Nindya berjalan mengendap-endap kemudian menyembunyikan benang milik Kak Nika.
"Kak, apa kakak hanya membutuhkan benang warna putih?" tanya Nindya.
"Aku juga butuh warna lain. Pergilah, jangan ganggu aku." Kak Nika mengusir Nindya. Kalau sedang sibuk, bahkan Pak Bupati pun akan diusir kalau mengganggu.
Nindya berjalan ke kamarnya sambil menahan tawa. Ia menduga, sebentar lagi kakaknya pasti marah-marah.
"NIINDYAAAA!MANA BENANG KAKAK?" Kak Nika marah. Persis seperti dugaan Nindya.
"Aku tidak tahu kak, bukankah kakak yang menyimpan benang itu?" kata Nindya sambil berjalan ke arah kakaknya.
"Jangan bohong kau, kembalikan benangku atau aku akan membakar semua bonekamu." Ancam Kak Nika. Tidak serius, hanya main-main.
"Gak takut, wleee." Nindya menjulurkan lidah
"Eh, ada apa ribut-ribut. Nindya, kau ganggu kakakmu lagi ya." Ibu datang dan melerai pertengkaran Nika dan Nindya.
"Nindya bosan bu, jadi Nindya mengganggu Kak Nika. Itu hiburan bagi Nindya." kata Nindya.
"Hiburan bagimu, gangguan bagi kakakmu. Kau tidak mau bermain dengan teman-temanmu?" tanya Ibu.
"Ide bagus. Aku pergi dulu ya buu, benangnya di bawah lemarii. " kata Nindya sambil lari ke luar rumah. Ibu yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
"Kireen, Kiiireeen, Kirenaa." Nindya memanggil Kiren dari depan rumah.
"Ada apa Nin?" tanya Kiren sambil membuka pintu.
"Main yuk!" ajak Nindya.
"Masuk aja, tuh Ghata sama Mahesa udah di dalem." Kiren mempersilakan masuk.
"Kalian sudah lama di sini?" tanya Nindya.
"Baru saja. Kami ke sini ingin memberitahu kalian soal reboisasi di bukit Sanskara." kata Mahesa.
"Kapan?" tanya Kiren.
"Hari minggu, bagaimana kalau kita ikut? Pasti seru, kalian mau tidak? " tawar Mahesa.
"Kalau aku mau saja Hes, tapi aku tidak punya kendaraan, jadi aku tidak bisa ikut." keluh Ghata.
"Tenang saja, kalian kumpul di rumahku pukul tujuh pagi, lalu kita berangkat bersama. Rencananya warga yang mau ikut akan berkumpul di balai desa Sanskara pukul delapan pagi, kalian siapkan bibit tanaman dan peralatan untuk menanam, ya." kata Mahesa.
"Ide bagus, sekarang kita main dulu yuk!" ajak Ghata.
"Ayo." kata Mahesa.
***
Hari Minggu, pukul setengah delapan pagi sudah banyak warga yang berkumpul di balai desa Sanskara. Mereka sudah membawa peralatan yang dibutuhkan untuk reboisasi.
Empat sahabat itu, telah tiba di balai desa Sanskara. Kiren tampak cantik dengan kaos pink yang dibalut rompi ungu, celana panjang oranye dan sepatu kets kesayangannya, dan memilih untuk membiarkan rambut ikal sebahunya terurai. Berbeda dengan Nindya yang mengenakan kaos hijau dengan tulisan GO GREEN ditengahnya, celana biru tosca, serta mengepang rambut lurusnya. Mahesa dan Ghata memakai pakaian yang sama, yang tidak lain adalah seragam olahraga sekolah.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya mereka berangkat ke bukit Sanskara dengan berjalan kaki. Sekalian olahraga, begitu kata pak Arif. Jalan yang dilewati belum semuanya beraspal, jadi ada saatnya dimana warga harus melewati jalan yang becek karena hujan.
"Iih, kok becek gini sih! Kan sepatuku jadi kotor." keluh Kiren.
"Kau ini, seharusnya kau memakai sepatu boots, karena jalan yang dilewati seperti ini. Kan sayang kalau sepatu kets mu jadi kotor. Sudah kotor, basah lagi." kata Mahesa.
"Kalian sih, gak ngasih tau. Tau gini mendingan aku pake sepatu boots aja." Kiren kesal karena sepatunya kotor.
"Jadi, kau belum pernah ke bukit Sanskara?" tanya Ghata.
"Baru kali ini." jawab Kiren singkat.
Para warga melewati jalan yang tidak terkena longsor. Jalan itu sangat licin. Meskipun tidak terkena longsor, jalan yang dilewati cukup terjal. Sesekali ada warga yang tergelincir, untung saja warga lain memegangi, sehingga tidak jatuh ke bawah. Setelah lama berjalan, akhirnya mereka sampai di lokasi reboisasi.
Benar, bagian barat bukit Sanskara sudah gundul. Bekas tanah lonhsor terlihat dengan jelas. Warga menanam tanaman di tempat yang cukup aman, walaupun resiko tergelincir ke bawah tetap ada.
Tanaman yang ditanam oleh para warga beraneka ragam, mulai dari buah-buahan, tanaman hias, tanaman obat, dll. Mahesa menanam bibit pohon mahoni. Lain halnya Ghata yang menanam bibit pohon mangga. Nindya lebih memilih untuk menanam bibit pohon murbei, sedangkan Kiren menanam bunga mawar.
Setelah selesai menanam, tak lupa warga juga memberi pupuk pada tanaman mereka. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kompos, jadi tidak mengandung bahan kimia. Selain itu, warga juga menyirami tanamannya. Pukul 10.00, warga sudah selesai melakukan reboisasi.
"Terimakasih bagi para warga yang telah berpartisipasi dalam kegiatan ini. Minggu depan akan kembali diadakan reboisasi, khusus bagi warga desa Sanskara. Hal ini dilakukan untuk menanami bagian bukit lain yang terkena longsor. Demikian saya sampaikan, mari kita kembali ke rumah masing-masing." pak Arif dan warga lain pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat HIJAU-BIRU
مغامرةAkhir-akhir ini sering terjadi kasus penebangan liar di sekitar desa Sanskara. Nindya, Kiren, Ghata, dan Mahesa yang merupakan anggota tim sahabat HIJAU-BIRU berusaha menyelidiki siapa pelakunya. Mereka tidak takut walaupun mereka tahu, tindakan mer...