Izin

8 2 0
                                    

"Boleh ya Pa, Kiren pengen banget bisa camping di hutan Asri." pinta Kiren.

"Emang papa gak pernah ya, ngajak kamu ke tempat yang asyik? Apa enaknya sih camping di hutan." Papa tetap tidak mengizinkan.

"Pa, Kiren kan belum pernah camping di hutan, boleh ya Pa, kali ini aja." Kiren memohon.

"Kalau enggak ya enggak! Udahlah, papa lagi sibuk." kata papa sambil pergi meninggalkan Kiren.

Kiren merasa sedih sekaligus kesal karena papanya tidak mengizinkan ia ikut camping bersama sahabatnya. Padahal, ia sendiri yang mengusulkan ini pada teman-temannya. Entah apa yang akan mereka katakan setelah tahu Kiren tidak mendapat izin. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui om nya yang kebetulan sedang menginap di rumah Kiren.

"Om, bantuin Kiren ya, Kiren gak boleh camping di hutan Asri sama Papa, tolong izinin ya, om." pinta Kiren dengan wajah memelas.

Om Nendra terlihat kaget mendengar permintaan Kiren. Ia sama sekali tidak menyangka kalau keponakannya suka bertualang. Kirena Sofia, yang ia kira adalah anak manja tenyata tidak seperti yang ia duga.

"Kamu mau camping di hutan? Masa putri Sofia camping di hutan yang banyak nyamuknya, gak cocok lah."

"Jangan salah, putri Sofia juga suka berpetualangan kok. Bantuin Kiren minta izin ya om, please... " Kiren memohon.

"Gak boleh Ren, hutan Asri itu bahaya, banyak binatang buas, tumbuhan beracun dan..." ucapan Om  Nendra terhenti sejenak. "...disana juga banyak hantunya. Orang bilang, hutan Asri pernah jadi tempat penyiksaan waktu zaman penjajahan dulu."

"Ah, masa sih. Kiren yang udah lama tinggal di sini aja gak tau, masa Om bisa tau." kata Kiren tidak percaya.

"Ini bener, udah banyak yang liat penampakan di sana. Masih untung kalo cuma penampakan, kalo dihantuin, bisa pulang aja udah untung banget. Katanya ada yang pernah ke hutan Asri dan gak balik lagi. Mendingan kamu jangan ke sana, daripada dihantuin." kata Om Nendra menakuti Kiren.

"Huh! Kakak beradik sama aja!" kata Kiren sambil pergi menuju kamarnya.  Sekarang kekesalannya memuncak. Ia memutuskan untuk mengurung diri di kamar sambil menunggu waktu rapat tiba.

***

Kiren yang sedang terus menendang kerikil yang ada di pinggir sungai. Kalau sedang kesal, tingkahnya memang begitu. Terkadang kekesalannya bisa membuat orang lain ikut kesal.

"Ren, buka matamu, lihatlah! Itu batu bukan bola." Nindya menghentikan tingkah aneh Kiren.

"Abis Papa sama Om ngeselin banget sih." Kiren melanjutkan menendang kerikil.

"Berhenti menendangi kerikil dan duduk!" perintah Nindya.

Akhirnya Kiren berhenti menendangi kerikil dan duduk di samping Nindya. Mereka berdua sedang menunggu Ghata dan Mahesa yang tak kunjung datang. Tak lama kemudian, terlihat dua anak laki-laki yang berjalan mendekati sungai.

"Sudah lama menunggu?" tanya Ghata.

"Tidak, kami baru menunggu lima belas menit." jawab Nindya.

"Hei! Sahabat HIJAU-BIRU!" seru seseorang dari kejauhan.

Seorang anak laki-laki nampak berlari mendekati mereka dari kejauhan. Kelihatannya ia berusia sekitar empat belas tahun. Dua tahun lebih tua dibandingkan empat sahabat itu. Anak laki-laki itu berbadan ideal dan berambut lurus. Semua rambutnya berdiri sehingga tidak bisa disisir. Tubuhnya tergolong tinggi untuk anak seusianya.

"Namaku Sadawira, panggil saja Wira.  Aku ingin bergabung dengan kalian." kata anak laki-laki itu.

"Kak Wira benar-benar ingin bergabung dengan kami? Tapi Sahabat HIJAU-BIRU kan hanya kelompok pecinta alam kecil saja." Mahesa bertanya balik.

"Iya, benar. Aku juga pecinta alam seperti kalian. Tidak masalah kalau Sahabat HIJAU-BIRU hanya kelompok kecil saja. Nanti lama kelamaan jiga bisa berkembang menjadi besar. Aku pamit dulu ya. Ada pekerjaan yang harus segera aku selesaikan." Wira langsung pamit kemudian pergi dengan terburu-buru.

"Sekarang ada satu anggota tambahan untuk tim kita. Dan bagaimana dengan rencana camping kita?" tanya Ghata.

"Ayahku mengizinkannya asal kita ditemani orang dewasa. Sulit bagiku untuk mendapat izin dari Ayah." jawab Mahesa.

"Ibuku mengizinkannya karena aku bilang kalau aku diajak Mahesa. Tentu saja Ibuku tidak menolak ajakan anak kepala desa." Nindya melirik Mahesa sambil tersenyum.

"Ah, kau memanfaatkan aku dan jabatan Ayahku. Aku tidak suka kalau ada yang seperti itu. Tapi sudahlah, sudah terlanjur." Mahesa memaafkan perbuatan Nindya.

"Sayangnya Ibuku tidak mengizinkannya. Padahal aku ingin sekali bisa ikut camping dengan kalian." Ghata tertunduk sedih.

Sama seperti Kiren, Ghata juga tidak diizinkan camping oleh Ibunya dengan alasan bahaya. Ghata sudah memohon pada Ibunya, tapi tetap saja ia tidak mendapat izin. Dia sangat sedih karena tidak bisa pergi camping bersama ketiga sahabatnya.

"Papa juga gak ngizinin aku. Apalagi Om Nendra, pake nakut-nakutin juga." kata Kiren. "Apa aku harus kabur?"

Nindya terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ia sedang menimbang-nimbang, apakah ia akan mengajak Wira atau tidak. Kalau ia mengajak Wira, setidaknya mereka ditemani orang yang lebih dewasa. Tapi, bisa saja Wira melarang mereka pergi karena ini adalah tindakan nekat.

"Apakah kita akan mengajak Kak Wira?" tanya Nindya.

"Jangan, bisa jadi dia malah melarang kita pergi." larang Kiren. "Terus aku sama Ghata gimana? Apa kita bakal tetep pergi?" tanya Kiren lagi.

Anak-anak itu diam. Mereka sudah merencanakan ini sebelumnya. Mahesa dan Nindya bahkan sudah mendapat izin dari orangtuanya. Tetapi Ghata dan Kiren tidak. Sayang sekali kalau rencana ini dibatalkan. Tapi kabur juga bukan pilihan yang tepat.

Sahabat HIJAU-BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang