Awal Petualangan

4 1 0
                                    

Empat anak itu berdiri di pinggir hutan. Barang bawaan mereka berjejeran di samping samping mereka. Kalau seperti ini, mereka terlihat seperti orang yang hendak pulang kampung.

Matahari sudah terbit, dan mereka berempat masih saja berdiri di pinggir hutan. Seharusnya mereka tahu, tidak akan ada bus yang lewat. Tapi mereka tidak sedang menunggu bus, angkot, ojek, dan kawan-kawannya.

"Hes, kita nungguin apa sih?" tanya Kiren pada Mahesa setelah lama berdiri tidak jelas.

"Yang pasti bukan menunggu bus." jawab Mahesa singkat.

Pukul enam pagi. Sudah satu jam Mahesa dan kawan-kawan menunggu sesuatu yang tidak pasti. Dari kejauhan, terlihat nenek tua berjalan bungkuk menuju hutan. Mahesa tersenyum lebar saat melihatnya.

"Nenek Asmi datang!" seru Mahesa kegirangan.

"Mahesa kenapa sih, liat nenek-nenek aja seneng banget." kata Kiren.

"Itu nenek Asmi, yang akan menunjukkan jalan pada kita di hutan." jelas Mahesa. Ketiga sahabatnya langsung tersenyum lebar.

Nenek Asmi menatap keempat anak itu dengan tatapan bingung. Bagaimana tidak, empat anak itu berdiri sambil senyum-senyum tidak jelas. Barang bawaan mereka seperti hendak merantau, tapi mereka di pinggir hutan. Dan entah sengaja atau tidak, empat anak itu memakai pakaian serba hijau. Rambut mereka masih kusut, belum disisir. Menandakan bahwa mereka semua belum mandi.

"Nak, kalian sedang apa?" tanya nenek Asmi.

"Nenek, bolehkah kami minta tolong ditunjukkan jalan?" Mahesa bertanya balik.

"Nenek tidak punya layangan." jawab nenek Asmi.

"Nenek, bolehkah kami minta tolong ditunjukkan jalan?" Nindya mengulangi pertanyaan Mahesa lebih keras.

"Kalian mau kemana?" tanya nenek Asmi. Akhirnya nenek Asmi bisa mendengar permintaan Nindya dengan jelas.

"Ke dalam hutan. Gua atap." jawab Mahesa.

Nenek Asmi nampak kebingungan. "Nenek tidak bisa memperbaiki atap, nak." katanya sambil masih bingung.

"NENEK, TOLONG ANTAR KAMI KE GUA ATAP. " Kiren mengulangi permintaan mereka dengan berteriak. Mahesa langsung menginjak kaki kanannya dan Kiren mengaduh kesakitan.

"Iya, ayo ikut nenek." nenek Asmi menyanggupi permintaan Mahesa dan tiga sahabatnya.

Nenek Asmi dan Sahabat HIJAU-BIRU mulai berjalan memasuki hutan. Tak lupa Ghata menggores pohon yang dilewati dengan pisau supaya bisa pulang tanpa tersesat. Mereka berjalan berhati-hati, karena tanah di hutan berlumut. Selain itu juga ada binatang berbisa seperti ular, kalajengking, ulat bulu, dan lainnya.

Semakin ke dalam, pohon-pohon yang ada semakin tinggi dan rimbun. Beberapa pohon yang langka juga masih ada di hutan Asri. Anak-anak kagum melihat pemandangan hutan yang masih alami, belum rusak oleh tangan nakal manusia.

Tidak jarang anak-anak juga bertemu dengan hewan liar di hutan. Asal tidak diganggu, hewan itu tidak akan mengganggu. Banyak hewan di sana yang masih jinak. Pertanda belum banyak manusia yang datang dan berburu di hutan Asri. Di hutan Asri tidak ada hewan buas, karena hewan buas sudah dikirim ke kebun binatang. Itu dilakukan supaya tidak ada hewan yang membahayakan warga sekitar.

Setelah berjalan selama tiga perempat jam, akhirnya mereka sampai di gua atap. Benar saja, bentuk gua itu menyerupai atap rumah. Gua atap termasuk dalam jenis gua batu gamping.

"Nenek tinggal dulu ya, nenek mau cari kayu bakar." pamit nenek Asmi.

"Nek, apa besok nenek ke sini lagi? Kami butuh bantuan nenek untuk menunjukkan jalan." pinta Nindya.

"Lebih baik kalian pulang bersama nenek nanti siang saja, nenek baru kembali ke hutan dua hari lagi." saran nenek Asmi.

"Kalau begitu, kami akan berkemah, dan kami akan pulang dua hari lagi." kata Kiren.

"Apa kalian akan baik-baik saja?" tanya nenek Asmi cemas. "Apa kalian tidak takut di hutan?" tanyanya lagi. Nenek Asmi tampak benar-benar cemas.

"Tidak apa-apa nek, kami bisa menjaga diri." jawab Mahesa pebuh keyakinan.

"Nenek pergi dulu, jaga diri baik-baik ya." pesan nenek Asmi sebelum beranjak pergi meninggalkan anak-anak.

Keempat anak itu mengamati gua atap. Setelah puas mengamati bagian luar, anak-anak memasuki gua tersebut. Gua itu tidak terlalu luas. Paling hanya cukup dimasuki oleh delapan orang dewasa saja. Gua atap menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi para kelelawar. Ada sekitar lima sampai sepuluh kelelawar yang tidur menggantung di langit-langit gua atap.

Di pojok gua terdapat batu cekung yang berisi air. Mirip seperti bak mandi kecil. Air di batu itu tidak bersih, karena sudah bercampur dengan debu dan kotoran kelelawar.

"Darimana asal air ini?" tanya Ghata penasaran.

"Mungkin dari air hujan." jawab Kiren asal.

"Tapi, bagaimana bisa air hujan masuk ke sini?" giliran Nindya bertanya.

"Kau tidak lihat ada cahaya masuk ke gua ini? Itu berarti ada lubang di langit-langit gua." jelas Mahesa menjawab pertanyaan Ghata dan Nindya.

Nindya menengadah. Benar saja, ada beberapa lubang kecil di langit-langit gua. Itu sebabnya terdapat air hujan bisa masuk. Ini sungguh menakjubkan.

Di langit-langit gua juga terdapat beberapa ekor kelelawar yang bergelantungan. Rupanya gua atap menjadi tempat tinggal favorit bagi kelelawar. Ada sekitar lima belas kelelawar di sana. Itu sebabnya lantai gua juga dipenuhi dengan kotoran kelelawar.

Ghata mendesah pelan. "Yah, padahal aku berencana menginap di gua ini. Tapi kelelawar itu menghancurkan rencanaku." keluhnya.

"Oh iya, bagaimana kalau sekarang kita mencari tempat camping?" usul Mahesa. Nindya dan Kiren langsung mengangguk setuju.

Anak-anak kembali berjalan menyusuri hutan. Tak lupa mereka menggores pohon yang dilewati dengan pisau agar tidak tersesat. Sesekali mereka harus berbelok arah untuk menghindari semak-semak yang lebat. Sejauh mata memandang mereka hanya melihat pohon dan semak-semak. Tidak ada tanah yang cukup lapang untuk berkemah.

Mereka memasuki hutan lebih dalam lagi. Pohon-pohon disana justru semakin besar dan lebat. Sinar matahari terhalang oleh dedaunan yang lebat, sehingga keadaan di sana lumayan gelap. Anak-anak mulai mengeluh.

"Hes, kita balik lagi saja yuk!" ajak Ghata yang mulai kesal.

Mahesa menghela napas kasar. "Tapi kita kan belum menemukan tempat berkemah, memangnya kau mau tidur di bawar pohon? Kalau hujan bagaimana?"

"Sudah-sudah, tampaknya kalian mulai lelah. Kita kembali ke gua atap saja dan makan siang di sana." usul Nindya.

Akhirnya anak-anak kembali ke gua atap. Mereka mengikuti jalan yang telah mereka lewati dengan petunjuk goresan di pohon. Barang bawaan yang cukup banyak membuat mereka kelelahan. Tidak ada gunanya mengeluh. Mereka sudah memutuskan untuk melakukan tindakan nekat ini, maka mereka harus melakukannya apapun yang terjadi.

Sahabat HIJAU-BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang