CHAPTER 1 : Di Sudut Taman

938 73 38
                                    

Suatu senja yang cerah, mataku tiba-tiba terpaku pada sesosok pria yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Rambut hitam pekat yang bergelombang, terlihat mengintip dari balik hoodie hijau tua yang dikenakannya. Kulit putih wajahnya membingkai sepasang mata yang indah. Tatapannya tajam, namun terasa hangat. Kedua matanya tampak serius memandang sebuah buku sketsa di pangkuannya. Tangan kanannya bergerak cekatan di atas buku tersebut, sementara tangan kirinya memegang erat buku tersebut agar tak jatuh dari pangkuannya.

Tanpa kusadari, aku sudah berjalan menjauhi lorong rumah sakit dan menuju ke arah taman. Perlahan semakin dekat ke arah pria berhoodie hijau tua itu. Entah mengapa, dari sekian banyak orang yang sedang bersantai di taman rumah sakit ini, sosok yang tak sengaja tertangkap mataku itu bisa langsung menghipnotis dan membangkitkan rasa ingin tahuku.

Semakin dekat jarakku dengannya, semakin jelas sosoknya terekam dalam benakku. Rambut bergelombang yang mengintip di balik hoodie, terlihat melambai dipermainkan angin, sesekali bergerak menutupi matanya. Tapi seolah hal tersebut tidak membuatnya terusik, ia tetap piawai membuat goresan di buku sketsanya. Tak sekalipun tangannya berusaha menghalau rambut yang menutupi matanya, hingga sang angin membuat rambut itu pergi dengan sendirinya. Matanya yang serius menatap buku sketsa tampak berbinar-binar. Hanya dengan melihatnya, aku tahu dia sangat menikmati yang sedang dikerjakannya. Sebersit rasa iri sempat mampir di hatiku. Bahagianya, bisa melakukan apa yang disuka dengan bebas dan tanpa gangguan.

Tak terasa, aku sudah berada di sampingnya. Mungkin karena terlalu fokus dan menikmati apa yang dikerjakannya, ia bahkan tak menyadari keberadaanku yang sedang berdiri tepat di samping kanannya. Rasa penasaran yang menghantui sejak awal ku melihatnya, membuatku langsung menatap kearah buku sketsanya. Aku ingin tahu apa yang dari tadi digambarnya dengan penuh semangat.

Seketika mataku terbelalak. Di buku itu terlihat gambar dua anak kecil yang sedang asik bermain dengan ceria di taman, tepatnya dua anak kecil yang sedang bermain kurang lebih dua meter di depan pria itu. Untukku yang sangat tidak memiliki bakat dalam menggambar, bahkan menggambar benda mati yang terdiam tak bergerak saja terasa susah minta ampun. Sementara dia, bisa menggambar dengan baik benda hidup yang dari tadi terus bergerak.

Tak sampai disitu saja, ada hal lain yang membuatku semakin takjub. Ia menggambar semua itu menggunakan pulpen! Tapi tak ada terlihat satupun coretan salah dalam gambarnya. Semua garis yang terukir disana hanyalah garis-garis sempurna yang membentuk sebuah gambar utuh. Bahkan menggambar dengan pensil sekalipun, aku tetap membutuhkan penghapus, karena akan banyak sekali aku membuat coretan-coretan yang merusak bentuk benda yang ingin ku gambar.

"Wow!! Keren banget!!" bentuk kekagumanku secara tak sadar langsung meluncur dengan jelas dari bibirku, tak hanya tertahan didalam hati saja. Mendengar suaraku, ia seketika menghentikan kegiatannya menggambar dan menoleh kearah suaraku berasal.

"Aduh, maaf. Aku ganggu ya? Maaf yaa, aku gak akan ganggu lagi kok. Terusin aja gambarnya."

Aaah, Kirana bego! Kenapa juga tadi harus pake teriak. Bukannya ngomong dalam hati aja!

Aku menunduk kearahnya, tanda mengucapkan maaf dan langsung berbalik badan untuk pergi dari sana.

"Ah, tunggu dulu."

Sebuah suara menahan langkahku dan membuatku bergumam dalam hati.

Oh, God! Ternyata gak hanya mukanya aja yang tampan, suaranya juga bikin melting.

Aku membalikan badan kembali menghadap kearahnya, dan mendapati dirinya yang sedang tersenyum. Membuat pipiku seketika merona, terhanyut dalam senyumannya.

"Ya? Ada apa?" aku berusaha menjawab dengan santai, berusaha tak mengacuhkan debaran jantung yang terasa semakin keras.

"Aku hampir selesai kok. Kalau kamu gak buru-buru, duduk aja dulu disini." Ia menepuk bangku disebelah kirinya.

Aku pun mengangguk, berjalan melewatinya dan duduk di sebelah kirinya. Saat aku kembali melihatnya, ia sudah sibuk menggoreskan kembali pulpen untuk menyempurnakan gambarnya. Kali ini, aku sekuat tenaga menahan mulutku agar tidak bersuara. Jangan sampai dia berubah pikiran dan membuatku harus pergi dari sana, karena aku masih ingin menikmati karya seni yang sedang dibuatnya didepan mataku.

"Namaku Dirga. Kalau kamu?" pria itu menoleh sejenak padaku sebelum kembali fokus pada buku sketsa dipangkuannya.

"Namaku Kirana." Jawabku masih tanpa melepaskan pandangan dari buku sketsanya.

"Habis jenguk siapa?"

"Teman sekelas. Kemarin dia kecelakaan, jadi pulang sekolah tadi aku sama teman-teman jenguk dia. Teman-temanku dari tadi udah pulang, aku masih nunggu kakakku jemput."

"Wah! Keadaan teman kamu gimana?"

"Kakinya patah. Tapi selain itu dia baik-baik aja. Gak ada yang parah."

"Syukurlah."

Setelah sepatah kata itu, ia kembali sibuk dengan kegiatannya. Meninggalkanku dalam kesunyian. Tapi aku tak keberatan, karena dengan bisa melihat dia menarikan tangannya membentuk sebuah gambar dalam jarak sedekat ini sudah sangat membuatku senang. Di saat aku sedang asik menyaksikan kepiawannya menggambar, tangannya berhenti menari dan ia mengaitkan pulpennya pada buku sketsa yang sedari tadi sibuk digambari olehnya.

"Selesai," ujarnya sambil tersenyum kearahku.

"Boleh lihat?" setengah ragu, aku mengucapkan permintaan itu padanya.

Dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya, ia mengulurkan buku sketsa itu kepadaku. Tanpa ragu lagi, langsung ku ulurkan tangan untuk mengambilnya. Sedetik kemudian, aku sudah terhanyut dalam gambarnya. Walau hanya berupa gambar hitam putih, tapi terasa sangat hidup.

"Boleh lihat gambar-gambar lainnya?" tanyaku yang dijawab Dirga dengan anggukan kepala.

Aku pun langsung membuka-buka halaman buku sketsa miliknya. Setiap halamannya membuatku tercengang. Ia sanggup menampilkan tiap detail hal yang dilihatnya kedalam selembar kertas, sehingga membuatnya benar-benar tampak hidup bagaikan sebuah foto hitam putih.

"Kenapa semuanya digambar dengan pulpen? Aku pikir orang-orang lebih suka gambar pakai pensil, jadi garis-garis yang gak dibutuhkan bisa dihapus dan bisa dikasih shading-shading gitu biar kelihatan kayak diwarnain. Eh, tapi bukan maksudku bilang ini gak bagus sih. Ini malah bagus banget banget. Cuma penasaran aja, hehehe."

"Ah, itu. Soalnya..."

Belum sempat Dirga menjawab pertanyaanku, ponselku berbunyi dan membuatku menghentikan ucapannya.

"Eh, maaf, bentar dulu yaa." Aku langsung membaca pesan yang baru saja masuk. Ternyata dari kakakku yang mengabarkan bahwa ia sudah sampai di rumah sakit dan menyuruhku segera keluar. Aku pun memberitahu Dirga bahwa kakakku sudah datang menjemput dan berpamitan padanya. Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi karena sudah diijinkan melihatnya menggambar, yang hanya dibalas dengan anggukan dan senyuman manis.

Setelah beberapa langkah, aku tiba-tiba teringat sesuatu dan membalikan badanku kembali menghadapnya.

"Ga, besok aku mau datang lagi jenguk temanku buat ngasih catatan pelajaran. Kamu besok datang lagi kesini gak? Kalau kamu juga datang, boleh ketemu dan lihat kamu gambar lagi?"

"Boleh," ujarnya sambil tersenyum. "Besok aku tunggu di bangku ini."

************************************

Karya perdana yang dipublish, setelah hiatus menulis beberapa tahun dan sekarang mencoba untuk kembali menulis dan memberanikan diri membagi tulisan untuk dinikmati publik 😂

Semoga tulisan ini bisa dinikmati~ Ditunggu juga saran dan kritiknya yang membangun. Terima kasih~ 😘

Man in a Green HoodieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang