CHAPTER 2 : Drawing of Me

538 65 34
                                    

Aku melangkahkan kakiku dengan cepat di lorong rumah sakit itu. Setelah memberikan buku catatan dan mengobrol sebentar, aku langsung pamit pulang dengan temanku. Aku tak ingin waktuku lama terbuang dengannya, toh tujuan utamaku datang kembali ke rumah sakit ini untuk bertemu Dirga, hehehe.

Begitu tiba di taman rumah sakit, aku langsung bisa menemukan sosoknya yang sedang duduk di bangku tempat kami kemarin berjanji untuk bertemu.

Langsung kuayunkan kedua kakiku setengah berlari menuju kearahnya.

“Hai, udah lama?” sapaku sambil duduk di sebelah kirinya.

“Hai, baru aja kok. Gimana teman kamu?” Dirga mencabut pulpen yang disangkutkan di buku sketsanya, lalu membuka-buka halaman bukunya tersebut hingga menemukan halaman kosong.

“Dia baik-baik aja. Katanya sih empat hari lagi udah bisa pulang.”

“Oh ya? Syukurlah.”

“Hari ini kamu mau gambar apa?” tanyaku antusias. Aku tak sabar ingin melihat dia menggambar dari awal. Pasti keren banget!

“Hmm…. Sebenarnya aku juga belum tahu, hahahaha. Gimana kalau aku gambar kamu aja?” tanyanya sambil menatapku dan memamerkan senyumannya yang indah.

“Waah, mau! Mau! Tapi ada syaratnya.” Jawabku sambil tersenyum usil.

“Apa syaratnya?” Dirga tampak agak terkejut mendengar jawabanku.

“Syaratnyaaaa….. Gambarnya nanti boleh buat aku, hehehe. Soalnya selama ini aku belum pernah ada yang gambarin.”

“Hahahaha, oke! Syarat diterima!” Dirga mulai membubuhkan coretan-coretan di buku sketsanya.

“Oh iya, hampir lupa.” Aku mengambil tas, merogoh-rogoh isinya dan mengeluarkan buah apel yang sudah terpotong-potong dan tersimpan rapi dalam kotak makan.

“Tadi aku bawain temanku buah. Karena kita hari ini janjian ketemu, aku bawa satu lagi untuk dimakan bareng.” Lanjutku sambil membuka tutup kotak makan dan mengeluarkan dua buah garpu kecil.

“Waah, makin asik nih gambarnya kalau sambil dikasih buah kayak gini. Makasih ya.” Dirga menusuk sepotong apel dengan garpu dan memasukan kedalam mulutnya.

Senja hari itu terasa cepat sekali berlalu. Walau baru mengenalnya, entah mengapa aku langsung merasa nyaman. Tak ada lagi kesunyian saat ia menggoreskan pulpennya, karena kami terus mengobrol selama dia menggambar. Kotak makanku sudah kosong, semua potongan apel yang ku bawa sudah berpindah tempat mengisi perutku dan DIrga.

Dirga meletakan pulpen di sampingnya, tanda ia sudah menyelesaikan gambarnya. Tak seperti kemarin, hari ini Dirga melarangku melihat proses menggambarnya. Ia duduk bersandarkan pegangan bangku taman, kaki kirinya dilipat diatas bangku sementara kaki kanannya tetap dibiarkan menginjak tanah. Katanya biar aku tidak bisa mengintip gambarnya.

Dirga menatap buku sketsanya, lalu menatapku dan tertawa.

“Kirana gak usah tegang gitu dong. Kayak mau disuntik aja, hahahaha. Nih gambarnya, semoga suka ya,” Dirga menyerahkan buku sketsanya padaku.

“Waaah!!” mataku terbelalak kagum melihat hasil karyanya.

Aku melihat diriku yang sedang tertawa lepas, dengan tangan kanan yang memegang garpu terangkat ke udara, terlihat seperti hendak menyuapkan potongan apel pada orang yang berada didepanku.

Ya, dari tadi aku memang menyuapkan Dirga potongan-potongan apel yang ku bawa. Katanya dia susah menggambar sambil makan, sehingga memintaku menyuapinya.

Tidak ku sangka, momen itu yang dipilihnya untuk dituangkan ke dalam buku sketsanya. Aku tak bisa berkata-kata, hanya bisa terus menatap gambar diriku sambil tersenyum lebar.

“Gimana? Suka?” Suara Dirga yang tiba-tiba membuatku kembali sadar dari lamunan kekagumanku atas karyanya.

“Suka banget!!!! Makasih yaaa, gambarnya bagus banget.” Aku membalas ucapannya sambil menatap dan memberinya senyum terbaikku, sebagai ucapan terima kasih.

“Syukurlah, aku tadi udah takut kamu gak suka. Soalnya udah dikasih apel, kalau kamu gak suka gambarnya kan aku jadi gak enak, hehehe.”

“Ih apaan sih. Gak mungkin aku gak suka, disini akunya jadi cantik banget, hahaha.”

“Kamu memang cantik kok.” Dirga berujar sambil tersenyum dan menatapku.

Seketika jantungku seolah berhenti berdetak dan seluruh darah di tubuhku berkumpul di wajah, membuatnya langsung bersemu merah. Aku tidak bisa membalas ucapannya, dan hanya bisa menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku yang bersemu dan berharap ia tidak menyadari perubahan yang terjadi pada wajahku.

************************************

Bagian kedua dirilis~ Cerita ini sebenarnya mau ku bikin sebagai cerpen one shot yang langsung habis untuk sekali upload, maksimal 2 kali upload.

Tapi ternyata jadinya lebih panjang dari rencana semula 😂 Akhirnya dipotong-potong, dan mungkin terbagi jadi 4 atau 5 bagian.

Semoga bisa menghibur para pecinta rangkaian kata di wattpad ini. Saran dan kritik yang membangun, masih akan selalu aku tunggu. Terima kasih ^^

Man in a Green HoodieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang