CHAPTER 6 : The Truth

807 63 0
                                    

Beruntung, kamar yang kami tuju tak terlalu jauh dari taman. Ruang kamarnya terbilang cukup luas, dengan hanya satu tempat tidur di tengah ruangan. Terdapat meja dan sofa-sofa kecil di dekat pintu, rak meja di depan tempat tidur dengan televisi diatasnya, lemari es kecil, lemari pakaian di bagian dalam kamar, serta sebuah pintu yang kuyakini merupakan pintu toilet. Kalau saja tidak ada tabung oksigen, tempat infus dan beberapa peralatan medis lain, aku bisa mengira kamar ini sebagai kamar hotel. Ternyata seperti ini tampilan kamar VIP di rumah sakit, gumamku dalam hati.

Ku tuntun Dirga menuju tempat tidur yang berada di tengah ruangan. Setelah sampai, ia pun langsung merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur, yang bagiku lebih terlihat seperti kursi, karena memiliki sandaran dengan sudut sekitar 100 derajat.

Kecanggungan langsung merebak dan membuatku salah tingkah. Dirga hanya diam. Sesekali matanya terpejam sesaat, gurat kelelahan tergambar jelas di wajah pucatnya. Aku ingin keluar dari kamar itu agar ia beristirahat, tapi aku juga tak tega meninggalkannya sendirian. Bagaimana kalau dia kesakitan lagi seperti di taman tadi? Siapa yang akan membantunya? Lagipula masih banyak pertanyaan yang sedang berkecamuk dibenakku saat ini, memaksa untuk keluar.

Seketika aku teringat buku sketsa Dirga yang masih ada di tasku. Langsung ku keluarkan dan kuletakan diatas nakas, disebelah gelas dan air yang sudah terlebih dahulu berada disana.

"Dirga mau minum?" tanyaku sambil berusaha mencairkan suasana canggung yang terasa semakin mencekik.

"Boleh. Makasih." Jawab Dirga lemah. Ku tuangkan air ke dalam gelas dan kubantu Dirga untuk meminumnya.

"Ga? Ini kamar kamu?" tanyaku sambil memandang berkeliling.

"Kalau bukan kamar aku, gak mungkin dong aku ajak kamu masuk sini? Hahaha... uhuk.." aku langsung panik saat mendengarnya batuk, takut kejadian di taman terulang lagi. Untungnya yang ku khawatirkan tidak terjadi.

"Aku gak apa-apa, Kirana. Kamu sih pertanyaannya aneh. Aku jadi ketawa terus keselek deh. Akhirnya jadi batuk." Dirga tersenyum menenangkanku yang tadi sudah hampir berlari keluar untuk memanggil dokter. Untung saja tangan Dirga langsung cepat menangkap tanganku dan menahan tubuhku sebelum aku berlari ke luar.

"Ya soalnya aku bingung. Berarti kamu pasien disini dong?" Dirga mengangguk.

"Bukan pengunjung yang lagi jenguk pasien?" Dirga kembali mengangguk.

"Tau gak sih? Selama ini aku pikir kamu itu pengunjung sama kayak aku dong, hahahaha. Lagian kamu juga gak pake baju seragam pasien kayak yang lain, makanya aku gak nyangka kalau kamu itu pasien."

"Lho? Aku pakai baju pasien kok." Dirga menunjuk celana yang dikenakannya, lalu mengangat sedikit hoodienya, dan terlihatlah seragam pasien rumah sakit dibaliknya. "Kalau ke taman aku memang harus pakai jaket, soalnya penyakit aku bisa kumat kalau aku kena angin dingin."

"Ya ampun, Ga! Aku selama ini gak meratiin celana yang kamu pakai! Aku udah keburu fokus liat gambar kamu, dan keasikan ngobrol sama kamu, hahahaha." Aku menertawakan kebodohanku yang selama ini melewatkan petunjuk tentang status Dirga di rumah sakit ini.

"Eh, bentar dulu." Tawaku sontak berhenti saat tersadar dengan pernyataan Dirga tadi. "Kalau penyakit kamu kumat pas kena angin dingin, seharusnya kamu gak boleh ada di taman kelamaan dong, apalagi sampe hampir magrib. Kan angin sorenya dingin. Maafin aku yaaa. Sejak kita kenalan, aku bikin kamu ke taman terus sampe magrib. Bahkan tadi sampai bikin penyakit kamu kambuh."

Aku menunduk, tak kuasa rasanya menatap wajah Dirga setelah diserang oleh rasa bersalah.

"Na, kamu masih ingat tentang pilihan yang ku ceritakan tempo hari?"

Pertanyaan Dirga membuatku mengangkat kepala yang semula menunduk, kemudian memandangnya dan mengangguk bingung.

"Ketemu kamu tiap sore di taman itu adalah pilihan aku. Segala konsekuensi yang terjadi, itu karena diri aku sendiri, bukan salah kamu. Aku akui, seharusnya sore ini aku tidak boleh ke taman. Cuacanya sedang buruk, dan tubuhku masih belum pulih sepenuhnya akibat semalam sempat drop karena penyakitku kambuh. Tapi…" Dirga menghembuskan nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.

"… Dibandingkan tubuhku bisa cepat pulih tapi tidak bisa ketemu kamu lagi, aku lebih memilih untuk mengambil resiko penyakitku kambuh lagi, asalkan aku bisa bertemu kamu. Tapi ternyata pilihanku ini malah menyusahkanmu. Maafin aku ya, Na." Dirga menatapku dengan senyum penyesalan tersungging di wajahnya.

Aku hanya bisa terdiam mendengar jawaban tak terduga keluar dari mulut Dirga. Aku hanya bisa menjawabnya dengan menganggukan wajahku yang sudah tersipu dan memerah.

"Ga? Boleh nanya?" Tanyaku ragu, yang dijawab dengan anggukan dan senyuman oleh Dirga.

"Sebenarnya kamu sakit apa?"

"Kamu ingat gak? Pertama kali kita ketemu, kamu nanya kenapa aku gak gambar pakai pensil? Dan sebelum aku selesai jawab, kamu udah keburu dijemput." Aku hanya mengangguk mendengar pertanyaan Dirga. Masih terekam jelas kejadian hari itu dibenakku, namun baru sekarang aku menyadari kalau saat itu aku belum mendengar jawabannya.

"Aku mengidap asma sejak kecil. Yaah, bisa dibilang cukup parah. Aktivitasku terbatas, capek sedikit, asmaku langsung kumat. Cuaca terlalu dingin dan lembab, aku langsung sesak. Aku juga sensitif dengan debu, asap, bulu hewan dan serbuk-serbuk halus. Terkena dalam jumlah kecil, aku bisa langsung batuk dan sulit bernafas. Terkena dalam jumlah besar, aku bisa langsung tidak bisa bernafas dan pingsan. Karena itu aku tidak bisa menggambar dengan pensil, karena pensil menghasilkan serbuk halus saat digunakan. Untuk orang normal, tentunya tidak ada masalah. Tapi untukku, itu sama saja dengan menantang maut." Dirga tersenyum, tetapi bukan senyum manis yang biasa membuatku melting, melainkan senyum yang menyiratkan kepedihan.

Seketika keheningan langsung menyelimuti kami. Tak ada suara selain dari jam dinding yang entah sejak kapan terasa sangat keras. Aku hanya duduk diam di kursi samping tempat tidur Dirga, memandang dirinya yang sedang menatap kosong kearah jendela.

Tiba-tiba Dirga menoleh kepadaku dan memecah kesunyian dengan berkata, "Udah hampir magrib, Na. Nanti kamu kemalaman sampe rumah. Jam besuk juga hampir habis."

"Ah iya, aku sampai lupa waktu. Aku pulang dulu ya, Ga. Kamu istirahat, biar cepat pulih dan gak drop lagi." Ujarku sambil bangkit dari kursi dan menyampirkan tas di pundakku. Dirga hanya menjawab ucapanku dengan senyuman dan sedikit mengangguk.

Sudah setengah jalan manuju pintu, aku menghentikan langkah dan membalik badan, kembali menghadap Dirga yang sedang terbaring di tempat tidurnya.

"Dirga, besok aku boleh datang lagi, kan? Gak harus ketemu di taman seperti biasa, di kamar ini juga cukup. Aku hanya ingin ketemu dan mengobrol seperti biasa."

Dirga memandangku dan tersenyum, "Boleh kok, besok aku tunggu disini, nanti kita ke taman sama-sama. Aku bosan kalau di kamar terus."

"Siip! Malam ini kamu istirahat yang banyak, biar besok fit dan kita bisa ngobrol di taman." Secercah senyuman yang tak kuasa ku tahan langsung tersungging manis di bibirku.

"Siap! Kirana hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabarin aku kalau udah sampai rumah. Kalau kamu gak ngasih kabar, aku bisa khawatir dan gak bisa istirahat karena kepikiran terus." Dirga memasang tampang memelas, seperti anak kucing yang sedang meminta susu. Ingin rasanya aku langsung mendekap dirinya yang terlihat sangat imut dan manja itu.

Aku melambaikan tanganku sebelum membalik badan, dan melangkah keluar dari kamar Dirga. 

Man in a Green HoodieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang