CHAPTER 3 : Get Closer

522 59 8
                                    

Sejak hari itu, kami selalu bertemu di tempat dan jam yang sama tanpa mengucap janji terlebih dahulu. Seolah kami sudah sama-sama mengetahui jadwal besuk satu sama lain.

Dirga sudah pernah kuberi tahu tentang temanku yang masih akan dirawat sampai empat hari kedepan, ia juga tahu aku selalu pergi membesuk pada jam besuk sore hari setelah pulang sekolah, sehingga aku merasa dia akan selalu menyesuaikan jam besuk milikku dengan miliknya. Lagipula dia juga pasti pergi membesuk sore hari saat pulang sekolah, kan? Jadi kami bisa bertemu setiap hari di taman ini.

Walau terbilang baru saja kenal dengan dirinya, tetapi aku sudah merasa sangat nyaman. Aku sekarang tak lagi hanya sekedar menontonnya menggambar saja, tetapi kami juga saling bertukar cerita. Well, mungkin lebih tepatnya aku yang lebih banyak bercerita, dan ia hanya menimpali ceritaku.

Dirga sungguh sesosok teman mengobrol yang menyenangkan. Dari hal receh sampai hal yang serius, semua terasa lebih menyenangkan saat diperbincangkan dengannya. Obrolan kami selalu membuat waktu terasa cepat berlalu.

Walau hanya lebih tua satu tahun dariku, tetapi Dirga terasa jauh lebih dewasa dariku. Pemikiran dan pemilihan kata yang diucapkannya, selalu membuatku nyaman dan tak merasa digurui. Hal itu lah yang akhirnya membuatku semakin terbuka berbagi pemikiran dengannya dan curhat tentang masalah-masalahku. Dari hal sepele di sekolah, hingga kekalutanku atas tuntutan orangtua yang selalu memaksakan kehendak untuk pilihan masa depan yang harus ku jalani.

***

"Aku rasanya nggak mau lulus SMA aja deh," ujarku di suatu senja.

"Masa mau jadi anak SMA selamanya? Kalau mahasiswa sih ada istilah mahasiswa abadi, tapi kan gak ada yang namanya siswi SMA abadi. Apa kamu mau bikin fenomena baru? Hahahaha." Dirga menimpali ucapanku sambil tetap asik menggambar dua orang perawat yang sedang bercengkrama di bangku taman di seberang kami, sepertinya mereka sedang menikmati waktu istirahat.

Ketika tidak mendapatkan respon dariku atas candaannya, Dirga pun langsung menoleh dan mendapatiku yang sedang tertunduk lesu, menatap kosong hamparan tanah berumput didepanku. Dirga menutup buku sketsa dan meletakan di sampingnya, lalu duduk menghadapku.

"Kalau ada masalah, kamu boleh banget kok cerita ke aku. Mungkin aku gak bisa bantu selesaikan masalah kamu, tapi aku bisa jadi pendengar yang baik dan sedikit meringankan beban di pundak kamu." Ujarnya sambil tersenyum manis.

"Kamu suka banget gambar ya?" tanyaku yang hanya dibalas dengan tatapan bingung oleh Dirga. Sebelum dia menjawab pertanyaanku, aku sudah kembali melanjutkan ucapanku.

"Orangtua kamu pasti gak pernah larang kamu ngegambar, kan?" Dirga yang sudah mengerti bahwa aku tidak membutuhkan jawaban, hanya mendengarkan sambil menatapku dengan matanya yang hangat.

"Aku dari keluarga hukum. Gak hanya orangtua, bahkan kakek, om, tante, dan para sepupuku berkarir di bidang hukum semua. Pengacara, notaris, jaksa, hakim, seperti ada peraturan tak tertulis tentang jenjang karir yang harus dipilih di keluargaku. Tak terkecuali aku."

Aku menghela nafas sebelum melanjutkan keluh kesahku. Walau aku masih menatap kosong kedepan dan tidak memandang Dirga, aku bisa merasakan kalau Dirga masih tidak melepaskan pandangannya dariku sedari tadi. Dia benar-benar memenuhi perkataannya menjadi pendengar yang baik. Sebersit perasaan hangat mengalir dihatiku saat menyadari hal itu.

"Tapi aku sama sekali tidak tertarik di bidang itu. Aku punya pilihan sendiri. Aku tidak ingin menjalani masa depan yang dituliskan oleh orang lain, aku ingin menuliskan sendiri masa depanku."

Aku kembali menghela nafas panjang sebelum kembali bercerita.

"Tapi baru saja masuk SMA, orangtuaku sudah sibuk memilihkan sekolah hukum yang menurut mereka terbaik. Hampir setiap hari ada brosur kampus dengan jurusan hukum, baik yang ada di Indonesia maupun di luar negeri. Aku gak mau itu semua." Tanpa kusadari, suaraku sudah berubah tercekat dan sebutir air mata bergulir dipipiku. Cepat-cepat kuseka air itu sebelum turun semakin deras dari mataku.

"Kalau aku boleh tahu, apa yang kamu inginkan untuk masa depan kamu? Kamu udah ngomong sama orangtua kamu tentang itu?" suara lembut Dirga terdengar ditelingaku, membuat air mata yang sudah kuhapus kembali mengalir.

"Aku mau jadi penulis. Aku udah ngomong sama mereka, tapi mama hanya bilang terserah papa, dan saat aku bicara dengan papa, papa sama sekali gak dukung. Aku tetap harus meneruskan jejak karir keluarga." air mata tak lagi dapat kubendung. Dua aliran cukup deras membasahi pipiku.

"Kemarin aku bertengkar hebat dengan mereka. Aku gak pengen pulang, aku gak betah banget di rumah." ujarku sambil terisak.

Terasa sebuah tangan membelai lembut rambutku. Disusul dengan sebuah suara, menentramkan hatiku yang sedang kalut.

"Kamu udah yakin dengan jalan yang kamu pilih?"

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Dirga.

"Aku yakin dengan yang aku inginkan. Tapi..." keraguan seketika muncul dihatiku.

"Tapi?" Dirga meminta jawaban atas pernyataanku yang menggantung.

"Tapi... Tapi aku takut. Papa bilang ini hanya hobi sesaat dan tidak bisa menjamin masa depanku. Aku takut papa benar. Tapi setengah hatiku yakin atas pilihan ini. Aku... Aku gak tau harus gimana."

Dirga berhenti mengelus rambutku dan menyandarkan tubuhnya di bangku taman. Tangannya terlipat di dada. Ia mulai berbicara dengan mata menatap lurus kedepan.

"Gak ada satu orang pun yang tahu apa yang terbaik untuk kita, selain diri kita sendiri. Kalau kamu yakin pilihan apa yang terbaik untuk kamu, kamu harus terus memperjuangkannya. Semakin banyak orang menentang, harus menjadi motivasi kamu untuk berjuang lebih sungguh-sungguh, buktikan pada mereka kalau kamu bisa, kalau pilihan kamu itu tepat."

"Tapi... Aku takut pilihanku tidak tepat. Aku takut ini hanya karena aku ingin memberontak dari pilihan orangtua saja." aku menunduk, menatap tangan yang sedang memilin jariku dengan gelisah diatas pangkuan.

"Pilihan itu ada karena hati belum memberi 100% kepastian. Saat ini kamu dihadapkan dengan dua pilihan, artinya hati kamu masih terbagi 50:50." Dirga menoleh dan memandang kearahku.

"Tidak perlu menunggu sampai hati kamu menjadi 100%. Pilih salah satu, dan buat pilihan itu layak jadi 100%, dengan membuktikan bahwa pilihan kamu itu tepat. Jangan pernah goyah dan putus asa saat menjalaninya." lanjut Dirga sambil tersenyum.

"Aku akan jadi orang pertama yang membeli novelmu, Kirana. Jangan takut tak ada yang mendukungmu, karena aku akan selalu mendukungmu."

Langit jingga yang memayungi kami di taman itu berubah menjadi semakin gelap. Tapi tidak dengan hatiku, yang terasa seolah ada secercah cahaya harapan bersinar didalamnya. Senyum teduh Dirga terekam dengan sempurna dibenakku. Senyuman yang memberi harapan baru dan keberanian untukku melangkah.

************************************

Chapter 3 akhirnya rilis~ Gak disangka, ternyata ada juga yang baca & voted. Terima kasih semuanya~ Semoga bisa menikmati ceritanya ^^

Man in a Green HoodieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang