Pukul 17.39 langit sudah mulai redup. Kinan berjalan lesu keluar dari rumah sakit. Amplop putih ditangannya berhasil membuat ia nyaris tidak percaya. Dokter mencoba menjelaskan dengan pelan dan mengajak Kinan untuk melakukan perawatan intensif.
Tapi Kinan menolak karena Papa belum tahu soal ini. Pikirannya benar-benar kacau, ia bingung harus melakukan apa. Dokter bilang kalau tidak segera ditangani maka akan terjadi infeksi yang terus-menerus dan bisa saja sampai stadium lanjut.
Membayangkannya saja Kinan ngeri. Dengan langkah cepat Kinan sampai dirumah tepat saat Papa membawa koper menuju pintu rumah. Hari ini Papa akan keluar kota karena ada projek besar, kalau Kinan mengatakan soal penyakitnya mungkin saja Papa akan membatalkan projek besar yang sudah ditunggu-tunggu oleh Papa dari seminggu yang lalu.
Kinan berdiri diambang pintu, bingung harus melakukan apa. Mulutnya tetap diam saat Papa sudah berdiri dihadapannya, "Pa..." panggil Kinan.
"iya, sayang." Sahut Papa dengan senyum lebar.
"aku... ak-aku mau..." suara Kinan terbata-bata.
Papa melihat jam dipergelangan tangannya. Senyum dibibirnya tidak juga hilang. "mau apa?" tanya Papa.
"soal.. ini, Pa. aku.. sak-"
Suara dering dari ponsel Papa memotong ucapan Kinan. Papa menyuruh Kinan untuk menunggu sebentar.
"pasti, Pak. Saya akan usahakan yang terbaik di projek kali ini."
Suara pembicaraan Papa dengan rekannya melalui telfon membuat Kinan mengurungkan niatnya untuk memberitahu Papa soal penyakitnya. Pandangannya memburam tapi sebisa mungkin Kinan menahan isakannya.
"kamu mau bilang apa tadi?" tanya Papa.
"aku titip oleh-oleh yang banyak, jangan lupa." Kinan langsung memeluk Papa dengan erat.
Papa tertawa dan balas memeluk Kinan dengan erat. "Papa kira kamu mau bilang apa. Yasudah kamu hati-hati dirumah, kalau ada apa-apa langsung telfon Papa." Ujar Papa lembut. Kinan mengangguk pelan.
Setelah Papa menyeret koper yang akan dibawanya serta suara deru mobil Papa meninggalkan halaman rumahnya, air mata yang sedaritadi ditahannya jatuh begitu saja.
Kinan tidak mau membuat khawatir Papa selama perjalanan, dan ia juga tidak mau membuat Papa membatalkan tugas kantor karena dirinya. Mungkin saat Papa tiba dirumah nanti Kinan akan langsung memberitahu Papa.
Amplop putih yang masih berada ditangannya menerangkan dengan jelas pasien bernama 'Kinanthi Akila' mengidap LLA. Leukemia Limfositik Akut.
^^^
Setelah searching diinternet mengenai LLA semalam, Kinan selalu memikirkannya disekolah. Gejala yang dirasakannya baru mimisan. Kinan takut jika gejala yang lainnya akan bermunculan.
Sampai bel istirahat Kinan hanya melamun. Kinan memutuskan untuk menuju aula dilantai 4, tidak perduli jika Aira dan teman-temannya akan datang. Kinan butuh tempat untuk sendiri.
Di aula Kinan hanya berdiri didekat jendela dengan pandangan kosong. Ia tidak mau mati. Kinan sudah berjanji pada dirinya saat Papa pulang nanti Kinan akan langsung memberitahukannya.
Saat pintu aula terbuka, Kinan tidak berbalik ia bersikap tidak memperdulikannya. Sampai sebuah tangan menyentuh bahunya.
"hai,"
Itu suara Aira. Kinan menoleh, ia tidak menunjukkan ekspresi apapun. Kinan diam dan mengambil amplop putih miliknya dikursi aula. Membawa amplop itu dan berjalan menuju pintu keluar.
"Kinan!"
Suara Aira yang memanggilnya membuat Kinan berhenti dan berbalik untuk melihat cewek itu.
"gue minta maaf sama lo," ujar Aira.
"untuk?" hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Kinan.
"untuk semuanya. Gue gak ada maksud buat cuekkin lo selama ini, please maafin gue." Aira memegang sebelah tangan Kinan. Wajah memelas dari Aira membuat Kinan langsung membuang muka kearah lain. "lo mau kan maafin gue?" tanya Aira.
Kinan mengangguk dua kali. "iya,"
"lo mau kan gabung sama kita?" suara Aira terdengar sangat bersemangat.
"gu-"
Kinan menghentikan ucapannya. Sesuatu berwarna merah pekat jatuh diatas punggung tangannya yang masih dipegang oleh Aira. Sontak Kinan langsung mengusap hidungnya, tangannya langsung penuh cairan merah pekat.
Seketika wajahnya pucat. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ada tujuh orang diruangan ini dan semuanya sudah melihat itu. Kinan ingin langsung berlari tapi ucapan Aira membuat Kinan bingung harus berbuat apa.
"Kinan! Hidung lo berdarah! Kita ke UKS sekarang ya," Aira menarik tangannya menuju pintu.
Kinan menahan tangannya, ia tidak mau petugas UKS mengetahui hal ini. Akhirnya Kinan menarik paksa pergelangan tangannya lalu menutup hidungnya dengan telapak tangan.
"Kinan ayoo!" Aira menarik lagi tangan Kinan.
Kinan melepaskan tangannya dengan paksa. Kepalanya yang pusing membuatnya jatuh terduduk. Ayana, Lea, dan Tirta langsung mengelilinginya. "ayo, Nan kita ke UKS." Ayana membantu Kinan untuk berdiri. Tapi Kinan menepis tangan itu.
"Kinan lo jangan keras kepala," Tirta mencoba menggendong tubuh kecil Kinan, tapi Kinan sengaja menjatuhkan tubuhnya dari gendongan Tirta. Punggungnya seketika terasa dingin, dingin yang membuat tulang belakangnya terasa ngilu.
"Kinaaan!" suara Aira seperti terisak karena terlalu panik melihat keadaan Kinan apalagi karena Kinan tidak mau dibawa ke UKS.
"gue...gak mau." Suara pelan Kinan sukses membuat Tirta terdiam, cowok itu barusaja akan mencoba menggendong Kinan lagi. "gue gak... mau, Tirta" ujar Kinan lagi kali ini sambil menepis tangan Tirta yang sudah terulur untuk mengangkatnya.
"please Kinan lo jangan kayak gini." Rengekan Aira membuat Kinan semakin bingung. Darah sudah mengenai kerah kemeja putihnya, ia tidak mau seseorang yang lain mengetahui ini.
"kita ke UKS please, mimisan lo makin banyak." Ayana menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Kinan, ia mencoba membujuk Kinan untuk ke UKS.
Tiba-tiba saja Dimas menyelinap ditengah, cowok itu berjongkok dihadapan Kinan. "kalau lo takut ada yang liat lo mimisan, gue janji gak akan ada yang liat. Gue janji," ujar Dimas.
Suara itu membuat Kinan mengangkat kepalanya. Ia seolah terhipnotis oleh mata hitam milik Dimas. Bahkan Kinan tidak berontak saat Dimas menggendong tubuhnya, menyembunyikan kepala Kinan didada nya. Darah dari hidungnya langsung menempel ke kemeja sekolah yang dipakai Dimas.
Ayana menutupi wajah Kinan dengan helaian rambut hitam milik Kinan. Setelah itu yang Kinan ingat adalah perkataan Dimas yang berjanji bahwa tidak ada siapapun yang menyadari bahwa Kinan mimisan lagi.
Hanya itu. Setelah itu semuanya gelap.
***
Salam hangat,
KAMU SEDANG MEMBACA
Kinan
Teen FictionKinan duduk diatas kursi roda nya sambil melihat kearah matahari yang akan tenggelam. Dibelakangnya berdiri Dimas--kakak kelasnya--yang membantunya naik keatas rooftop rumah sakit. Dalam hati, Kinan benar-benar merasa takut jika harus menemui ajalny...