Pagi itu, dibawah langit yang masih terlihat redup. Matahari yang baru muncul sebagian serta angin yang berhembus sedikit kencang, Kinan berjalan melewati lapangan basket menuju taman sekolah.
Kinan semakin mengeratkan jaket army yang dikenakannya saat angin yang berhembus semakin kencang. Rambut sebahu miliknya yang berwarna hitam berterbangan karena terkena angin.
Sengaja ia datang lebih pagi karena ia ingin melihat matahari terbit walaupun ia sudah terlambat. Padahal tadi Kinan berniat datang ke sekolah saat langit masih sangat gelap, tapi tepat saat akan berangkat punggungnya terasa sangat dingin. Dingin yang membuat tulang-tulangnya terasa ngilu.
Kinan mengawali paginya dengan tangis dan rintihan kesakitan. Mengawali paginya dengan berlembar-lembar tisu yang berubah menjadi coklat kemerahan.
Setengah jam Kinan habiskan hanya untuk meringkuk dilantai, meraung kesakitan sambil memeluk kedua lututnya. Setelah merasa cukup baik, Kinan berjalan pelan menuju sekolah hanya untuk menghindari bosan dan sepi dirumah.
Saat melihat bangku yang terbuat dari besi berada tepat dibawah pohon apel senyumnya langsung saja terbit. Segera ia duduk di bangku itu.
Kinan merasa semakin hari kondisinya semakin memburuk. Mimisan yang ia alami terjadi 3-4 kali sehari. Ia pernah menghabiskan waktu semalaman hanya untuk menangis karena rasa sakit yang ia rasakan.
Sudah genap dua bulan ia mengetahui penyakitnya ini. Dan selama dua bulan itu juga Papa tidak berada disisinya. Hari-hari yang ia alami hanya datang ke sekolah dan hari-hari selanjutnya tidak. Minggu ini Kinan hanya masuk dua hari saja untuk sekolah. Tiga harinya adalah saat-saat terburuk yang akhirnya menjadi hal yang ia takuti.
Saat melihat matahari muncul sepenuhnya, Kinan tersenyum lebar. Ia merasa lebih baik berada dibawah sinar matahari pagi.
"hai,"
Kinan menoleh saat seseorang menyapanya. Ternyata Dimas. "eh, hai." Ujar Kinan.
"muka lo pucet banget, lo sakit?" Dimas meraba keningnya, Kinan kaget karena pergerakan Dimas yang tiba-tiba. "badan lo gak panas," lanjut Dimas.
"enggak. Gue sehat kok," ujar Kinan. Ia menyilakan kakak kelasnya itu untuk duduk disebelahnya, dan Dimas langsung duduk tepat disebelahnya.
"kemarin-kemarin gue gak liat lo," ujar Dimas.
"kemarin gue gak masuk. Kesiangan soalnya," Kinan tertawa pelan untuk mendalami aktingnya pagi ini.
"jangan keseringan gak masuk, nanti lo ketinggalan pelajaran." Perkataan Dimas itu membuat ia seketika merasa hangat. Tersirat perhatian yang berbeda dari kalimatnya, apalagi melihat wajah Dimas yang setenang itu.
Kinan akhirnya mengangguk dan kembali melihat kearah sinar matahari. Ia menggulung jaket yang ia pakai karena ia ingin tangannya terkena sinar matahari.
"lo... pernah punya seseorang yang spesial dalam hidup lo?" pertanyaan Dimas itu membuat Kinan langsung menoleh karena bingung dengan maksud dari kalimat cowok itu.
Dimas yang menyadari itu langsung memperjelas ucapannya, "semacam pacar..." ujarnya.
Kinan tersenyum tipis mengingat bayangan seseorang dimasa lalunya. Seseorang yang bisa dikatakan spesial seperti yang Dimas katakan.
"pernah. Orang itu moodboster gue, dan rasanya dia lebih dari sekedar kata spesial." Ujar Kinan.
Wajah tertekuk Dimas yang tidak Kinan lihat menjadi saksi bahwa Dimas merasa cemburu dengan seseorang yang Kinan maksud dalam ucapannya.
"kalian pacaran?" tanya Dimas dengan cepat.
Kinan mengangguk malu-malu. Pipinya memerah mengingat sosok Faiz yang kini mungkin hanya sekedar masa lalu.
Dimas semakin merasa menyesal karena bertanya seperti itu. "sampe sekarang masih?" tanya Dimas sedikit dingin.
"gue harap masih kayak gitu," ujar Kinan sambil menoleh kearah Dimas.
Dimas mengerutkan keningnya. "artinya?"
"gue selalu berharap kalo seseorang itu gak pergi dan gak ninggalin gue secara tiba-tiba. Orang itu... ninggalin gue saat gue berada di puncak bahagia dimana gue ngerasa beruntung memiliki dia." Ujar Kinan, wajahnya tidak mau terlihat sedih karena menceritakan seseorang yang juga berharga untuknya itu. Bahkan sampai hari ini.
Dimas membuang muka kearah lain saat kembali melihat rona merah dipipi Kinan yang kian terlihat. "lo diputusin? Udah gue duga," karena terlalu kesal akhirnya Dimas terpaksa berbicara seperti itu.
"gak diputusin kok," sahut Kinan cepat. Dimas salah menangkap maksud dari ucapannya.
"dia pergi ninggalin lo, itu sama aja dia udah gak mau sama lo." Ujar Dimas.
"dia pergi ninggalin gue setelah dia kasih surprise dihari ulangtahun gue yang ke 14. Berarti dia sayang sama gue," bantah Kinan, cewek itu mengerucutkan bibirnya sebal.
"kalo sayang gak akan pernah pergi, apalagi ninggalin."
"lo tahu? Terkadang seseorang pergi bukan karena ingin berpaling atau tidak lagi menyukai, tapi karena emang itu adalah jalan yang udah Tuhan gariskan." Ujar Kinan pelan. Ia selalu yakin kalau Faiz selalu menyayanginya.
Setelah itu adalah hening. Kinan memilih melihat kearah lain daripada memperhatikan Dimas. Padahal Kinan berniat bersikap baik pada cowok itu sedari kemarin tapi ucapan menyebalkannya soal Faiz membuatnya malas untuk berbicara dengannya lagi.
Mendengar bel masuk yang berdering, Kinan langsung bangkit berdiri. Hendak berjalan kembali ke kelas tanpa memperdulikan Dimas.
Dua langkah beranjak meninggalkan bangku itu, kakinya menginjak tali sepatunya sendiri. Alhasil yang ia ingat adalah ia terjatuh cukup keras, pandangannya berputar. Dan hal terakhir yang ia ingat adalah suara panik Dimas dan cairan merah dari hidung serta mulutnya.
^^^
Stay tuned. Salam hangat,

KAMU SEDANG MEMBACA
Kinan
Teen FictionKinan duduk diatas kursi roda nya sambil melihat kearah matahari yang akan tenggelam. Dibelakangnya berdiri Dimas--kakak kelasnya--yang membantunya naik keatas rooftop rumah sakit. Dalam hati, Kinan benar-benar merasa takut jika harus menemui ajalny...