Nama

16 1 0
                                    

Subang, 16 Agustus 1993

Pak Samadji mengetuk pintu rumah bercat biru tua dengan tergesa. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru. Berkali-kali dia mengetuk pintu itu keras. Berusaha mengimbangi deru suara hujan.

"Mak! Tolong saya maaak!"
Pak samadji berteriak sambil terengah. Nafasnya masih memburu karena tadi dia berlari sangat cepat. Payung yang dibawanya masih terlipat. Tidak dia gunakan sama sekali.

Mak Inah membuka pintu. Matanya masih setengah terbuka karena baru saja dia terlelap setelah pulang dari kampung sebelah.
"Kenapa ji?"
Sambil menggosok matanya dia berdiri di ambang pintu. palang pintu dijadikannya sandaran untuk menahan beban tubuhnya yang masih belum sepenuhnya mau untuk bangun.

"Mak, Eti mak. Sudah waktunya. Ayo mak! cepatlah emak ke rumah saya." Pak Samadji langsung menarik tangan Mak Inah.

"Sudah waktunya melahirkan?" Mak Inah bertanya sambil membuka mata lebar-lebar. Sekarang dia sudah sepenuhnya sadar.

"Iya mak. Itu maksud saya. Makanya emak harus cepat ke rumah saya!" Pak Samadji masih berusaha menarik tangan Mak Inah yang masih bergeming di ambang pintu.

"Sebentar atuh pak! Saya bawa peralatan dulu. Tunggu disini! saya ke dalam dulu."

Dalam beberapa menit Mak Inah sudah menggunakan setelan lengkap: Sarung batik, kebaya hijau muda, dan ciput cokelat dengan bordiran bunga.

Sambil membawa tas jinjing yang cukup besar dia mengimbangi langkah pak Samadji yang lebih seperti orang berlari. Payung yang digunakan tidak banyak menolong mereka dari deras air hujan.

***
Suara tangisan bayi terdengar nyaring  dari dalam rumah pak Samadji. Pak Samadji mengelus kepala istrinya yang terlihat begitu kelelahan. Dia melihat bayi itu menangis dan menggeliat dalam gendongan Mak Inah.
"Emak bersihin dulu bayinya. Kamu cepat ganti baju! Nanti keburu masuk angin."
"iya mak"
Secepat mungkin Pak Samadji mengganti seluruh pakaiannya. Dia baru menyadari bahwa bagian dada pada bajunya robek. Tarikan tangan istrinya ternyata cukup kuat untuk mengoyak baju yang tadi dia pakai. Dia segera menghampiri istrinya yang masih terbaring lemas. Kembali mengelus kepalanya.
***

Bu Eti dengan sabar menimang bayinya. Sudah dua hari sejak bayi itu lahir. Bu Eti bahkan sudah mampu untuk mencuci baju meski Pak Samadji sempat marah dan menyuruhnya kembali ke kamar.

Pak RT duduk bersila sambil menghisap linting yang sudah hampir habis.
"Rahmat pak RT!"
"Hah mamat?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KERAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang