jisung: life in a 50s tv

5K 625 43
                                    

"He tried to imagine the sound of the color red

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"He tried to imagine the sound of the color red."
—Pete Hamill (Snow in August)

//

Ada satu pertanyaan yang kerap muncul di benak Han Jisung pada beberapa pagi di antara ribuan pagi sepanjang delapan belas tahun hidup:

Bagaimana rasanya menonton televisi berwarna?

Dunia bak televisi tahun 1950-an bagi seorang yang terlahir dengan monochromacy seperti dirinya. Kondisi ini memiliki banyak istilah, berbagai penjelasan medis dan segala hal merepotkan itu, tapi secara umum lebih dikenal dengan sebutan buta warna total.

Kakek dari ibunya memiliki kondisi yang sama, gen itu barang kali melompat dan memilih untuk bersarang di netranya. Kedua saudaranya beruntung, mereka tidak harus berbagi pengelihatan yang begitu suram dan membosankan ini. Younghyun dan Chowon seratus persen normal, mereka bisa membedakan merah dan hitam.

Tidak berhenti di situ, Jisung juga harus mengenakan kaca mata hampir setiap saat karena ketajaman pengelihatannya rendah. Sudah buram, tak berwarna pula.

Kegiatan sehari-hari sesederhana memilih pakaian bisa menjadi tantangan bagi Jisung. Ia tidak tahu apa celana itu warnanya biru atau merah, apakah kemeja pilihannya serasi dengan celananya atau warna keduanya bertabrakan. Warna-warna barusan sekadar nama tanpa makna, yang ia kenal hanya hitam, putih dan para kelabu.

Untuk urusan ini, ia meminjam mata Younghyun, sang kakak juga bersedia membantu dengan senang hati. (Kadang ia memaksakan selera fashion-nya pada Jisung, agak menjengkelkan tapi bagaimana, Jisung butuh dua mata yang mampu melihat pelangi.)

Jisung mengasosiasikan benda-benda di sekitarnya dengan bentuk, tekstur dan memori. Mengasah indera-inderanya yang lain untuk membantu, walau ia bukan seorang tuna netra. Misalnya saja sebelum memakan pisang di meja dapur, ia akan mencoba menilai tingkat kematangan buah tropis itu dari seberapa lunak atau keras daging buahnya ketika ditekan. Ia memilah mana yang saus tomat, saus cabai atau selai stoberi dengan mengingat bentuk botolnya.

Menjelaskan kesulitan yang dihadapi Jisung sehari-hari akan membutuhkan tiga rim kertas atau mungkin lebih, mengalahkan buku telepon ayahnya yang setebal ensiklopedi. Pemuda itu lebih suka memusatkan pikirannya pada hal-hal yang ia sukai daripada halang rintang kehidupan.

Menggambar, ia suka menggambar. Sketchbook di lemari bertumpuk, pensil bagai teman hidup. Jangan sampai Jisung memulai menceritakan tentang hasrat terpendamnya untuk melukis. Terlalu menyedihkan. Kenyataan pahit bahwa matanya tak mampu menangkap variasi cat warna masih begitu sulit untuk ia telan.

"Oppa, itu saus cabai," suara Chowon sang adik memotong untaian pikiran Jisung.

Di hadapannya ada sepotong roti bakar, sesuatu yang kental teronggok di atasnya dan aroma pedas menyeruak menyapa penciuman. Jisung memeriksa botol di genggamannya sekali lagi. Ia yakin botol ini biasanya berisi selai stroberi, maka tanpa pikir dua kali ia menuangkan isinya ke atas roti.

PAINTING THE UNIVERSE ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang