jisung: pitch black

1.2K 286 8
                                    

"I wonder- if nobody is listening to my voice, am I making any sound at all?"—Alice Oseman (Radio Silence)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"I wonder- if nobody is listening to my voice, am I making any sound at all?"
—Alice Oseman (Radio Silence)

//

Han Jisung tidak pernah begitu semangat berangkat ke sekolah setengah jam lebih pagi, tidak pernah, sebelum hari ini.

Binar kebahagiaan tak juga meninggalkan wajahnya sejak ia menyantap sarapan pagi di meja makan, hingga ia menyusuri jalanan komplek menuju halte bus bersama Chowon. Bahkan sampai ia naik ke bus dan turun di halte terdekat dari sekolah, sebuah senyuman masih setia mengembang di bibirnya. Bagi orang-orang yang anti bangun pagi seperti Chowon (dan Jisung juga, di hari-hari normal), terlihat begitu segar dan hidup pada pukul tujuh pagi adalah fenomena selangka hujan meteor.

Jika bukan karena rencana belajar sebelum kuis dengan seorang teman sekelasnya, Han Chowon mungkin tidak akan sudi berangkat sekolah sepagi ini meski sang kakak memohon minta ditemani. Dengan kemauan sendiri pun, wajah manis Chowon tetap kusut dilengkapi mata mengantuk dan bibir cemberut. Gadis itu melirik Jisung yang masih tampak begitu ceria, kakaknya itu sedang bersenandung sekarang.

Dari balik lensa kacamata hitamnya, Jisung balas menatap Chowon, seakan mempertanyakan maksud lirikan sang adik melalui tatapan (meski Chowon tak akan bisa melihat sorot matanya.) Si gadis Han hanya meninju lengan Jisung dengan pelan tanpa tenaga sedikit pun.

"Oppa, mau sampai kapan berdiri di sini? Ayo jalan ke sekolah," ajak Chowon.

"Kamu duluan aja, aku mau nunggu seseorang," Jisung menjawab mantap, masih menunjukkan senyum yang seakan abadi melekat di wajah.

"Oke," Chowon menghela napas. Ia kembali meninju lengan Jisung, kali ini dengan sedikit tenaga. "Berhenti senyum-senyum gitu! Nanti Yejin eonni risih."

Jisung hanya tertawa ringan, menyaksikan adiknya bergegas meninggalkan halte masih sambil memasang ekspresi jengkel. Rasanya Yejin tidak akan risih melihatnya tersenyum sepanjang hari, mungkin justru gadis itu akan ikut senang. Bukannya ia kelewat percaya diri, tapi jika filter afeksi bekerja padanya, maka filter itu juga pasti ada pada Park Yejin. Siapa yang tidak suka melihat orang yang mereka sayangi bahagia?

Ada sedikit rasa bersalah pada Chowon menyambangi hati kecil Jisung. Mereka selalu berangkat sekolah bersama dan pagi ini ia membiarkan adiknya berjalan sendirian. Memang bukan sesuatu yang istimewa, berjalan kaki ke sekolah, tapi bagaimanapun juga itu sudah menjadi kebiasaan mereka, seperti trademark. Mungkin ia bisa membelikan Chowon es krim sepulang sekolah untuk mengganti jalan pagi mereka. Lagipula selepas Jisung lulus nanti, Chowon tetap harus ke sekolah sendirian bukan?

Lima menit berlalu, kemudian sepuluh menit, lima belas, hingga dua puluh. Jisung menunggu. Di antara puluhan penumpang yang turun dari setiap bus yang berhenti di halte, wajah Park Yejin belum juga terlihat. Pasalnya ia tidak tahu jam berapa Yejin berangkat sekolah, dan menjemput gadis itu di halte adalah keputusan mendadak yang ia buat pagi tadi sembari mengunyah sereal sarapan. Ia pikir sekalian saja mengejutkan Yejin.

PAINTING THE UNIVERSE ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang