jisung: saturday escapism

1.4K 335 24
                                    

"I never care about this black and white filter, but now I wish I was normal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"I never care about this black and white filter, but now I wish I was normal."

//

Hari Sabtu adalah hari keluarga, atau seharusnya begitu. Jisung akan mulai menyebut hari Sabtu sebagai hari sereal, karena sesungguhnya saat ini satu-satunya hal yang ia pedulikan adalah kepingan serealnya yang melembek terendam kubangan susu. Dulu semasa TK warna dan rasa sereal sarapan berbentuk donat itu menjadi perbincangan anak-anak di kelasnya. Mereka meributkan rasa apa yang diwakili warna biru atau kuning, padahal menurut Jisung rasanya sama semua. Manis tanpa kehadiran rasa lain, sampai sekarang pun masih begitu.

Jisung menuangkan sereal lagi ke mangkuknya, mengimbangi sisa susu, lalu memberikan kotak sereal itu pada Chowon yang duduk di sebelahnya. Gadis itu juga membuat satu porsi lagi. Keduanya makan tanpa suara, suap demi suap, sambil mendengarkan musik pagi hari berupa dentingan perabotan di dapur dan derap langkah naik turun tangga.

Rumahnya begitu tenang, terlalu tenang. Masih tidak ada konversasi antara Younghyun dan kedua orang tuanya. Pagi-pagi sekali ketika Jisung baru bangun, Younghyun sudah bersiap pergi. Hari apa pun itu terutama hari Sabtu dan Minggu, Younghyun akan sebisa mungkin menghindari bangun pagi, Jisung hapal kebiasaan kakaknya. Alasan yang Younghyun berikan padanya adalah urusan perkuliahan. Bodoh betul sang kakak kalau ia pikir Jisung akan percaya pada bualan murah seperti itu. Jisung saja tahu Younghyun hanya menghadiri kelas dua kali seminggu, tidak termasuk hari Sabtu.

Sikap ibu dan ayahnya juga tak kalah ganjil. Tidak ada ucapan selamat pagi, dan sebagaimana gelinya pun Jisung melihat ayah dan ibunya saling cium pipi, ia lebih baik melihat mereka melakukan itu sekarang daripada saling diam. Ibunya membuatkan secangkir kopi untuk ayahnya, hanya sebuah tepukan pelan di bahu sebagai pertanda bahwa kopinya sudah siap dan tidak ada ucapan terima kasih pula dari sang ayah. Pria itu menempati kursi di sebelah Jisung di meja makan, menyesap kopinya sambil membaca sesuatu pada layar ponsel, paling-paling portal berita.

Selang dua menit ayahnya mengangkat kepala, beralih dari layar ponsel ke Jisung yang sedari tadi memandanginya. Jisung tidak bisa menangkap ekspresi wajah yang terlalu samar bahkan setelah memicingkan mata sekalipun, namun ia tahu kedua alis sang ayah bertautan.

"Apa aku harus tahu sesuatu?" tanya Jisung pada ayahnya. Chowon meletakkan sendoknya dan ikut menyimak.

"Tahu apa?" Ayahnya balas bertanya, berdeham dan kembali ke ponselnya.

"Nggak tahu. Kalian semua aneh."

"Nggak ada yang aneh, Jisung." Bantahan itu terdengar ragu. Sang ayah meminum kopinya seteguk, kemudian bangkit dan membawa cangkir itu bersamanya ke ruang keluarga. Sambil lalu ia memberi instruksi pada anak-anaknya.

"Kalau udah selesai makannya, langsung cuci mangkuknya. Eomma-mu lagi capek."

Ibunya merasa lelah, lelah mengapa? Lelah fisik? Lelah mental? Jisung mendengus, mendorong mangkuk serealnya menjauh. Kakaknya, orang tuanya, semua terus-terusan mengimplikasikan adanya permasalahan tapi menghindar dari percakapan. Menolak melibatkan dirinya dan Chowon. Mereka masih  bagian dari keluarga ini kan?
Chowon juga tidak mengosongkan mangkuknya, bibirnya mengerucut. Dua kakak beradik Han itu saling pandang, bertukar tatapan saling mengerti.

PAINTING THE UNIVERSE ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang