[ Katya Point of View ]Dua gelas kopi hitam adalah toleransi harian gue buat kopi, dan ini adalah gelas kedua padahal masih jam sepuluh pagi, suara mesin print dan tangan tangan yang berataut dengan keyboard komputer. Ada juga tawa, dan gemelisik bisik beberapa perempuan multitasking, gosip berjalan beriringan dengan kerja, yah setidaknya mereka kelihatan kerja.
" Ngantuk banget?, " suara Dayo memecah pendengaranku, selentingan soal boss dan sugar baby-nya. Gue cuma tersenyum, muka Dayo selalu datar, serius, fokusnya seolah hanya ke komputer, tapi beberapa kali kadang gue gak sengaja bertemu pandang sama dia, it's like he were keep an eye on me. Itu semua bikin gue merasa canggung, dia cuma narik nafas panjang, ngusap leher dan balik ke komputernya. Of all thing about Dayo, mungkin karena dia orang paling pelit senyum, gue sangat suka ketika dia tersenyum. Orang kantor seringnya menyebut kami Duo Grey, just because we take all things serious dan terlalu kaku. Satu-satunya orang yang sering beracanda dengan gue cuma mbak Gita.
" Nggak ngantuk sih mas, cuma pengen ngopi aja, " gue melirik Dayo, matanya masih fokus ke komputer, istirahat nanti fokus ke layar hp, no wonder kacamatanya tebel banget. Dia mengangguk pelan, sekilas keliatan mikir, mau nanya apa lagi.
Sebenarnya gue dan Dayo gak begitu akrab, satu hal yang bikin kami terlihat seperti selayaknya normal teman bagi satu sama lain cuma karena dia juga gue dekat dengan mbak Gita. Ditambah meja kerja dia pas banget sebrangan sama meja gue, jadi ya begitulah, mungkin kalau gak ada mbak Gita gue cuma bakalan berakhir seperti biasanya, tahu hanya nama, atau wajah. Menjalin keakraban dengan bukan sesuatu yang mudah dilakukan.
Seperti ada tiga titik bergerak dengan kedip di atas kepala gue dan Dayo, kalau di Whatsapp, mungkin ini bisa digambarkan dengan situasi begini :
Mangetik...
Online
Mengetik...
Online
Lalu gak lama setelah itu muncul tulisan kapan terakhir teman chat kita online. Situasi yang sering terjadi ketika nggak ada mbak Gita antara gue dan Dayo. Mungkin dia lelah, dia selalu nanyain gue, ngobrolin banyak hal, tapi kemudian gue nggak tahu gimana caranya biar percakapan kami berlanjut selayaknya percakapan antar teman.Gue gak bisa seperti Priska atau mas Agus dan bahkan mbak Gita, yang ketika Dayo mulai diam, mereka selalu memunculkan topik lain. Eh yo,,, bla bla bla bla. Mungkin kalau keadaanya Dayo bertemu dengan gue di tahun 2016, kondisinya gak akan se-awkward ini. Who knows.
He met me when i lost my self, when i don't even know who m i, i don't know the reason why i doing this and that just for pretend, or real.
Dayo beranjak dari kerjaannya, berjalan santai bak Giselle Bundchen diatas catwalk, tinggi, tegap, messy hair, lesung pipi, mata coklat.
" Mau nitip sesuatu?, " tanyanya, selalu dengan gestur dan nada suara berbeda, bukan basa basi biasa yang sering dilakuin Priska di depan Dayo. Kalau disebut geer, mungkin gue geer. But i save that later, let's just called he is a nice guy with a nice feature. Singkatnya, dia peduli. Maybe. " Nggak mas, makasih. "
Lagi, dia menghela nafas panjang, lalu kemudian tetiba menghampiri. " Heh, batu, dibilangin jangan kebanyakan ngopi, gue tau lu skip sarapan dan langsung ngopi, buruan mau nitip apaan, " katanya, tak peduli tatapan separo orang yang ada di ruangan, lainnya bisik-bisik. Ada nama Priska tersemat di bisikan mereka. " Waktu gue ga banyak Katya, bentar lagi si Sadeli juga krang kring telepon, mau nitip apaan, ayo jangan kelamaan mikir, " kali ini sambil menjawil pipi.
" Nggak mas, gue ga laper, ini masih ada roti kok di laci. "
" Oke, bakwan tiga, gak pake sambel. "
" Yaampun mas masa pagi pagi udah gorengan aja!!!. " Si gue melempar protes, kebetulan di pantry biasanya ada yang naro dagangan, gorengan, nasi uduk, nasi goreng, mie goreng, and all the carbs i can't mention. Dayo tersenyum lebar, mukanya yang tadi keliatan serius banget jadi sedikit bercahaya, i guess so. " Nanti bisa kena kolesterol loh, " kataku meyakinkan.Pluk. One second, gue merasa semua orang mulai riuh, walaupun sesekali mata mereka terbagi pengelihatannya dengan komputer. Gasp, semua orang menarik nafas, gak percaya. Dayo meletakan tangannya di atas kepala gue, seorang Dayo. Anak buah pak Sadeli, yang dari boss sampe anak buahnya serius semua. " Yaudah tar siang lu makan sama gue, okay?. " Tanyanya, yang lebih terdengar seperti penekanan kalimat, dan itu wajib dijawab dengan kalimat ya. " Don't mention lu mau pesan makan online lagi karena rewards ojol besok udah gak bisa dipake lagi, " oke, itu alasan yang selalu gue pakai, but i'm not lying about that.
Dayo pergi, tanpa menunggu jawaban, iya atau nggak. Gue berusaha memahami motif kelakuannya, everything about him, lead me to someone i use to know. Sampai saat ini, itu membuat gue percaya, menjadi seorang teman lebih baik.
Saat bersamaan, gue mendapati pesan whatsapp dari Kala.
'Gue jemput pulangnya. ' Another mandat yang gue dapati hari ini. Sepertinya rewards ojol gue memang ditakdirkan buat kadaluarsa dan mubazir tak terpakai.
-[ Author PoV ]
Dayo memandangi gelas kopinya lama, mempertanyakan akal logisnya yang dia rasa sudah gak berfungsi.
-Tolreansi masa lalu terletak pada masa sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Notice
RomanceTo the time passed, to every moment i saw you, i hope you notice.