1] - Tabrakan ke-7

2.8K 263 24
                                    

Dalam sebuah ruangan minim pencahayaan di mana hanya ada satu pijaran lampu yang menyorot seorang pasien tengah berbaring tanpa daya di atas ranjang pasien. Lima Dokter yang bertanggung jawab atas pasien tersebut semakin mengerahkan kemampuan ketika layar monitor menunjukkan informasi yang menghadirkan pesimis.

"Dokter!" Salah seorang menyeru panik sekedar menyadari sang Ketua ketika darah kental merembes keluar dari mulut pasien.

Dokter Byun yang memiliki peran paling penting dengan segera memberi perintah untuk menyumpal mulut pasien dengan kantong besar bening yang sudah tersedia. Sementara dia melanjutkan pembedahan organ tubuh dibantu yang lainnya.

Tidak hanya itu, monitor lagi-lagi memancing kecemasan ketika benda berteknologi itu berbunyi bagai bom waktu dalam sepersekian detik. Garis hijau yang tertera pada layar monitor berubah lurus yang awalnya lika-liku, berikut angka berhitung mundur.

Seorang gadis berumur belasan tahun tidak berhenti cemas di luar ruang operasi. Matanya berkali-kali memandang pintu di mana dekat kosen sebuah lampu di atasnya masih menyala merah.

Setelah cukup lama menunggu, pintu operasi terbuka, menampailkan seorang Dokter lengkap dengan blazer putih panjang, sarung kepala, serta masker mulut melingkar di leher.

"Dokter!" Gadis kecil itu berlari menghampiri.

Dari ekspresi muram yang tercetak di wajah sang Dokter, gadis itu terlalu cepat mengasumsi sesuatu yang buruk. Atau memang benar bahwa Ayahnya tidak tertolong?

Lalu yang dirasakan gadis itu sebuah sentuhan di bahu kanan. Dokter Byun berucap dengan senyuman lega, "Dia akan segera membaik."

Air mata yang menetes merupakan tanda bahagia saat sang gadis mendengar berita tersebut. Rasa syukurnya tidak tanggung-tanggung karena Ayahnya masih bisa diselamatkan. "Kapan saya bisa melihat Ayah, Dokter?" antusiasnya.

"Karena Ayahmu masih kritis, kau baru bisa menemuinya besok. Sebentar lagi Ayahmu akan dipindahkan ke ruangan khusus. Kau bisa melihat Ayah dari luar dulu ya. Untuk mencegas terjadinya infeksi."

Raut wajah gadis itu menunjukkan ketidak-sabaran hingga kedua alisnya nyaris menyatu. Dia pun mengangguk tersenyum. "Terima kasih, Pak Dokter. Terima kasih sudah menyelamatkan Ayah saya."

Baekhyun tersenyum lalu menggeleng. "Kau lah yang sudah menyelamatkan Ayahmu."

"Saya...?" bingung gadis itu.

Lalu Baekhyun memberi keterangan, "Tuhan tidak akan tega mengambil seorang Ayah dari anaknya yang pantang berdoa. Lihat? Doamu dikabulkan."

Gadis itu tersentuh sesaat, mengingat sepanjang hari ini dia memang tidak berhenti mendoakan kesembuhan Ayahnya di manapun dia berada. Meski begitu, dia tetap menghujani Baekhyun dengan ucapan terima kasih karena sudah berusaha keras menyelamatkan Ayahnya.

"Baiklah. Kalau begitu Dokter pergi dulu ya." Baekhyun melenggang pamit setelah meninggalkan sentuhan penyemangat di bahunya.

Pintu ruangan operasi terbuka, menampilkan sosok pria berpakaian sama seperti yang dikenakan Baekhyun.

"Dr. Byun!" panggilnya.

Dia terlihat lebih tinggi beberapa centi saat berjalan di samping Baekhyun. "Sudah berubah pikiran untuk bertemu?"

"Aku tidak mau, Dr. Park," tolak Baekhyun untuk yang ke-entah berapa kalinya.

Dokter Park mendesis tajam. "Ayolah, Baek. Kau tidak bosan hidup melajang apa? Bahkan aku lupa kapan terakhir kali kau pacaran."

"Selama pekerjaan ini menyibukanku, aku tidak merasa kesepian."

"Nah, aku ingat sekarang. Dulu Hyena minta putus karena merasa diduakan dengan pekerjaanmu."

DR. BYUN : Unconditional Love | bbhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang