3. Game controller Accident

165 11 2
                                    

"Assalamualaikum mba, zeta sudah sampe di mall. Mba sahila dimana?"

"Waalaikumsalam ta, sudah nyampe toh? Saya lagi di basement nih mau parkir dulu. Kamu langsung ke kafe tempat kita janjian aja ya ta"

"oke mba" putus ku.

Hari libur yang terbatas memang harus aku pergunakan sebaik mungkin, biasanya aku hanya berdiam diri di kostan sekedar bebenah dan drakor marathon.

Tapi lain untuk hari ini, masih ingat pasien ku di puskesmas yang bernama Sahila? Yap, hari ini aku akan berjumpa kembali dengannya.

Sebulan telah berlalu dari hari pertama kami berkenalan, sebenarnya mbak sahila berulang kali mengajak ku untuk bertemu diluar puskesmas. Namun karena kesibukan kami yang berbeda, niat itu baru terlaksana hari ini.

Ku percepat langkah kaki memasuki lift yang hampir tertutup, tanpa sengaja aku menabrak lelaki bertubuh tinggi yang tiba tiba muncul dari sisi kanan lift, mungkin ia juga ingin masuk ke lift tersebut.

Brukk.. krekk..

"Ya allah.. udah jatuh ku injak pula, bunyinya seperti ada sesuatu yang patah." Batin ku.

Aku langsung memundurkan kaki beberapa langkah. Lelaki itu masih berlutut memeriksa belanjaannya yang kulihat sebagai controller game dalam tempatnya. Lalu ia berdiri menghadap ku.

"Mbak, Mas. Jadi mau naik gak?" ujar bapak bapak di dalam lift yang terlanjur terbuka.

Astaghfirullah aku lupa.
"maaf pak silakan duluan saja" ucap ku tersenyum canggung.

Setelah lift kembali tertutup, kualihkan pandangan ku pada lelaki yang tadi ku tubruk. Nampaknya ia sangat marah, terbukti dari rahang tegasnya yang mengeras dan tangannya yang mengepal. Jujur saja, itu sedikit menciutkan nyali ku.

"mas maaf saya gak sengaja" kata ku

Satu detik.

Dua detik. Belum ada jawaban.

Tiga detik.

"kalo jalan liat liat dong. Liat nih belanjaan gue pecah" balasnya dengan nada marah sambil menyodorkan paper bag belanjaan berlogo merek video game ternama.

"loh mas juga tadi tiba tiba muncul, lari lari pula" balas ku tak terima.

"kok lo malah nyalahin gue sih?" sambutnya lagi dengan nada yang juga tak terima.

"Duh dasar lelaki, gak pernah mau ngaku salah. Buang buang waktu aja sih" gumam ku.

"apa lo bilang? Coba ngomong yang kenceng!" bentaknya tepat didepan wajah ku.

Ya tuhan betapa menyeramkan lelaki tampan ini jika sedang marah. Oh wait, apa? Apa aku tadi bilang bahwa ia tampan? Huh konyol. Memang iya. Rambutnya yang disisir rapi kebelakang, tatapan matanya yang tajam, garis rahangnya yang tegas. Subhanallah.

Astaghfirullah, aku kenapa sih?!

"woy mba. Malah bengong!" interupsinya di tengah lamunanku.

"si.. siapa yang bengong coba?" balas ku asal.

"lah situ tadi ngapain ngeliatin saya sampe segitunya. Saya tau saya ganteng tapi gausah gitu mba?"

"Jadi gimana nih belanjaan saya?" sambungnya lagi.

Daripada masalah ini berlarut larut lebih baik aku mengalah saja, lagipula aku juga baru gajian rasanya satu controller game tidak akan membuat ku kelaparan sebulan nanti kan?

"oke saya ganti rugi, walaupun ini bukan salah saya seutuhnya" kataku pasrah.

Wanita dan sifatnya nyang tak mau disalahkan.

If We Were Not MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang