3 DAYS AFTER THAT NIGHT

33 10 0
                                    


Dirinya tak ditemukan dari 2 hari yang lalu. Sudah ada banyak berita mengenai hilangnya seorang gadis. Mau di televisi ataupun di koran. Di sekolah pun, sudah menjadi bahan pembicaraan semua orang. Tak ada seorang pun yang tak tahu tentang berita tersebut.

Sejak dari hari pertama dia menghilang, ibunya sudah sangat khawatir. Karena dia tak pernah pulang lebih dari jam malamnya tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Ibunya sudah mencoba menelponnya berkali-kali, tapi suara yang terdengar selalu sama

"Hi, I'm sorry, I can't pick up the phone right now. Leave a message for me, okay?" (Hi, aku minta maaf, aku sedang tidak bisa mengangkat teleponnya sekarang. Tinggalkan pesan untukku ya?)

Tak ada yang bisa menghubungi dirinya. Tak ada yang melihat dirinya setelah malam itu.

Kita tinggal di jaman yang dipenuhi dengan teknologi. Semuanya serba mudah. Serba praktis dan cepat. Jadi kalau komunikasi kita sampai terputus, maka itu akan membuat kita sangat kesulitan. Karena kita tak tahu harus bertanya kemana. Kita tak tahu harus mencari kemana. Karena kita tak pernah begitu mengenal mereka. Status seseorang yang berada di social media, belum tentu benar. Apakah semuanya tulus? Dari cara mereka berkata-kata, semua senyuman yang mereka pajang di setiap foto yang mereka pajang di account social media mereka. Kalau bertemu empat mata saja, mereka dapat memalsukan semuanya. Dapat menyembunyikan semuanya dengan sangat rapi. Mereka dapat tiba-tiba menjadi satu pribadi yang sangat berbeda. Apalagi lewat social media? Mereka mempunyai kebebasan untuk memilih siapa diri mereka.

Sekarang aku baru saja memasuki lorong sekolahku. Tapi aku sudah dapat merasakan suasana yang sangat tidak enak. Rasanya sesak, pengap. Tapi rasa tersebut sangat membuatku penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Aku melihat setiap orang sedang melihat kearah HPnya masing-masing dan saat aku melewati mereka, kepala mereka mendongak dan melihat ke arahku. Satu hal lagi. Tak sedikit dari mereka yang berbisik-bisik, lalu tertawa geli, dan masih banyak hal lainnya yang mereka lakukan. Aku langsung berjalan dengan cepat ingin segera menjauh dari orang-orang tersebut.

"Siswa yang bernama Ray Jasper ditunggu di ruang kepala sekolah sekarang!" Suara tersebut keluar dari pengeras suara yang ada di lorong-lorong sekolah. Ya, tentu saja aku langsung bergegas pergi ke ruang kepala sekolah. Sampai-sampai aku tak memikirkan alasan mengapa aku dipanggil ke ruangan kepala sekolah.

Sesampainya di depan pintu ruang kepala sekolah, aku langsung membukanya. Aku melihat ibu kepala sekolah sedang menulis sesuatu di selembar kertas yang kelihatannya dia sembunyikan dan aku melihat ada 2 orang pria yang mengenakan seragam polisi. Sepertinya, mereka memang sudah menunggu kedatanganku dan aku sudah tahu tujuanku dipanggil ke sini untuk apa. Setelah ibu kepala sekolah sadar akan kehadiranku di sana, dia langsung menyuruhku untuk duduk di salah satu kursi di depannya. Aku belum pernah masuk ke ruanga tersebut sebelumnya. Tidak untuk nilai akademikku dan tidak untuk sikapku. Aku memang tergolong yang biasa-biasa saja. Tidak terlalu pintar dan tidak terlalu nakal.

"Ray perkenalkan, nama saya Kennedy dan ini teman saya Devian. Kami berada di sini untuk bertanya beberapa pertanyaan. Apakah kau mengenal gadis ini?" Kata salah satu polisi yang badannya lebih besar dan mengenakan kacamata.

"Ya, aku mengenalnya. Kami berteman sejak kecil. Ada kabar apa? Apakah kau mendengar sesuatu darinya? Apa yang..."

"Belum, nak. Kami belum mendengar kabar apapun. Tapi kami masih berusaha untuk mencarinya. Apakah kau keberatan untuk memberi tahu kami apa yang terjadi malam itu?" Sela Kennedy yang sepertinya dialah juru bicaranya di sini. Karena temannya hanya sibuk menulis sesuatu di buku kecil yang dia pegang.

"Tidak, aku tidak keberatan."

Sorry... This Is The FactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang