Her (Part 2)

35 3 0
                                    

Niatku untuk pergi ke sekolah kuurungkan. Langkah kakiku membawaku ke atas gunung yang pernah kukunjungi bersama dengannya.Kududuk di tanah ditemani oleh sepedaku yang kuletakkan di sebelahku.  Panas matahari bersinar terik. Keadaan kota lebih sepi dan hening dari pada biasanya.

Aku membuka buku tulis dari dirinya dan lanjut membacanya.

"Mengapa ada banyak orang yang kecewa akan dirinya sendiri? Mengapa ada banyak orang yang dapat dengan mudahnya mengakhiri hidupnya? Mengapa ada banyak orang yang putus asa? Jawabannya mudah. Mereka melakukan itu semua karena kelakukan orang di sekitarnya terhadap diri mereka. Mereka dituntut banyak hal. Hal-hal yang bahkan mereka tak dapat lakukan dan kalau hasilnya tidak sesuai keinginan, merekalah yang disalahkan juga. Karena orang-orang hanya melihat hasil yang disajikan di depan mata mereka bukan prosesnya. Mengapa aku dapat berkata begitu? Karena aku adalah salah satu korbannya. Setidaknya itulah pendapatku. Tapi kalau kau tak setuju pun tak apa-apa. Kau dapat mengatakannya padaku. Aku akan mendengarmu di mana pun kau berada."

Ya dia memang benar. Tak peduli seberapa besarnya usahaku kalau hasilnya buruk akan tetap ada banyak orang yang tak dapat menerimanya. Sampai akhirnya terkadang aku sudah menyerah duluan sebelum kumencoba. Aku sudah berpikir "Untuk apa aku melakukan yang terbaik kalau pada akhirnya aku akan kecewa dengan hasilnya?" dan masih banyak kalimat-kalimat yang serupa yang bermunculan.

"Ray, aku hanya ingin kau tahu kalau aku tak sebaik yang kau pikirkan. Aku telah melakukan banyak hal yang tak seharusnya kulakukan. Aku mengetahui hal-hal yang tak seharusnya kuketahui. Ingin sekali rasanya kukeluarkan semuanya padamu sekarang juga. Ingin rasanya mengosongkan hati ini yang terasa sangat berat. Sudah cukup kukeluarkan air mataku untuk semua ini. Sudah cukup hatiku tergores dengan hal yang sama lagi."

HPku yang kutaruh di sampingku berbunyi dan nama ibuku muncul di layar. Aku berpikir beberapa saat. Menimbang-nimbang, apakah aku harus menjawabnya? Karena tentu saja kutak ingin dia tahu kalau aku tak pergi ke sekolah. Kutak ingin membuatnya cemas. Kutak ingin membuatnya merasa gagal atau apa pun itu. Maka kumatikan HP dan memasukan semua barang yang tadi kukeluarkan ke dalam tas. Lalu beranjak dari tanah dan menaiki sepedaku entah kemana.

Siraman teriknya sinar matahari menemaniku sepanjang perjalanan. Sekian banyak rumah yang kulewati tanpa kutengok. Keramaian kota di siang hari. Di mana banyak orang yang berjalan ke sana kemari. Kebisingan kota mengisi disetiap penjuru jalan. Setiap orang terlihat sibuk dan penuh dengan kehidupan. Sedangkan aku sedang mengendarai sepedaku entah akan pergi kemana dan yang kurasakan hanyalah kekosongan. Aku tak merasa ingin melakukan apa pun.

Tanpa kusadari, kayuhan kakiku membawaku ke tempat di mana dia di kubur. Kutaruh sepedaku di tanah dan duduk di sebelah gundukan tanah.

"Hi...it has been one month. Sebenarnya, kutak tahu apa yang harus kukatakan." kupejamkan mataku. Mulutku menggambarkan senyuman simpul. "I mean, I just want to sit beside you. Aku tahu, sekarang aku terdengar seperti orang gila." lanjutku sambil terkekeh. Kuangkat kepalaku, melihat langit yang sudah tak begitu cerah sambil menarik nafas sedalam-dalamnya lalu kuhembuskan kembali.

"I just. Really miss you." Air mataku mulai keluar dan berjalan menyusuri pipiku. Kuletakkan tanganku di dahi untuk menutupi mukaku. "Apakah kau masih ingat apa yang pernah kita lakukan dulu? It feels like, it's gonna take forever to forget those things. Karena sekarang saja, aku sudah merindukan senyumanmu, tawamu. God, I just miss those times that I spent with you."

"Why did you leave me alone?" air mataku semakin deras. Sulit untukku menarik nafas secara normal. Tak ada udara yang dapat masuk tanpat kubuka mulutku.

Hanya rasa sakit yang kurasakan. Ingin kuberteriak sekencang mungkin. Tapi tak ada suara yang keluar. Ingin kulupakan semuanya. Tapi semakin kumencoba untuk melupakannya, semakin jelas setiap memori itu di pikiranku. Kukeluarkan setiap air mataku. Kubiarkan diriku berteriak walaupun tak bersuara. Kubiarkan tenagaku habis. Karena setelah sekian lama kupendam semuanya seorang diri. Maka kubiarkan diriku meledak sekarang.

Air mataku mulai mengering. Tenagaku mulai habis. Diriku mulai lebih tenang dan nafasku mulai lebih teratur. Aku sudah tak peduli bagaimana keadaan mukaku sekarang. Dapat kubayangkan hidungku yang memerah dan mataku yang membengkak.

"Maaf. Tak seharusnya aku berkata begitu. But this life is so damn hard. What should I do now? Kalau memang tak ada harga yang harus kubayar, aku tak tahu. Mungkin aku sudah menyusulmu."

"I wish you are here with me." kuhapus air mata terakhir yang menetes. Kuhabiskan berjam-jam di sana. Hanya diam menatap udara kosong. Sesekali ada orang yang lewat dan tersenyum padaku. Aku hanya dapat membalasnya tanpa berkata apa pun. Tenggorokanku kering akibat menangis. Aku membuka HPku. Dilayar, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan sudah ada banyak sekali telepon dari ibuku yang tak kuangkat. Sangat tidak terasa, waktu berlalu begitu saja.

Aku bangkit berdiri dan mengendarai sepedaku pergi dari tempat itu. Aku membutuhkan waktu cukup lama untuk tiba di rumah. Karena memang perjalanan dari kuburannya ke rumahku cukup jauh. Sinar matahari terik digantikan dengan lampu-lampu jalan dan lampu rumah yang mulai dinyalakan. Udara panas digantikan dengan angin sejuk. Jalanan lenggang.

Kulihat ada mobil yang tak kukenal datang dari arah yang berlawanan. Setelah mobil itu melewatiku, bukannya jalan terus menjauh dariku tapi mobil itu berbalik arah dan menambahkan kecepatannya. Membuatku harus mengayuh lebih cepat. Kulihat ada 2 orang laki-laki di dalamnya. Sayangnya muka mereka tak terlalu jelas. Aku berbelok ke kanan di perempatan yang ada di depanku dan mobil itu ikut berbelok.

'Ah mungkin hanya kebetulan.' Pikirku.

Tapi aku hanya ingin memastikan kalau mereka tak membuntutiku. Maka kubelokan kembali sepedaku ke kiri di perempatan yang selanjutnya. Ternyata mereka ikut berbelok ke kiri dan kecepatannya semakin bertambah cepat.

Tenagaku sudah kuhabiskan untuk menangis. Kayuhan sepedaku melambat. Aku berbelok ke kiri lagi dengan harapan aku kehilangan mereka. Betapa bodohnya diriku. Tentu saja aku tak akan dengan mudah kehilangan mereka. Karena sepedaku berjalan terlalu cepat, aku kehilangan keseimbanganku. Aku terjatuh dengan bahu sebelah kiriku yang terbentur aspal terlebih dahulu. Lalu tubuhku terseret cukup jauh dan membentur trotoar. Hanya dengungan yang terdengar di telingaku. Seluruh tubuhku terasa panas. Sangat sulit untuk membuat diriku tetap sadar.

'I need to stay conscious. I need to stay conscious.' aku mengulangi kalimat itu berulang-ulang. Aku tak kuasa untuk beranjak berdiri. Berdiri saja sudah tak bisa apa lagi pulang ke rumah. Kesadaranku semakin hilang. Pandanganku mulai samar-samar. Kulihat dirinya mengenakan jaket berwarna abu-abu jalan mendekatiku. Dia berlutut di sebelahku.

"Is this real?" tanyaku dengan bersusah payah bersuara.

"If you can say it's real. So it is. But if you can't say it, so it's not." jawabnya.

"I miss you." ucapku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya.

THE LAST PART OF THIS BOOK!!! ❤️❤️❤️

I'm so SORRY I can't finish it earlier 🙏🏻🙏🏻🙏🏻 it has been a very rough weeks for me... so I hope this part wont disappoint you guyss!!!

If you guys wondering "why this story is too short?"
Well, the good news is there will a second book for this story....YAYYY!!!

Don't forget to vote, comment, and share!!! Thank you!!!

LOVE YOU READERSS!!! 😘😘😘

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sorry... This Is The FactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang