Sabina POV
Berawal dari drama Nino ngambek dan akhirnya gua datang ke Jakarta. Hikmahnya gua bisa ngedate disini. Awalnya gua sempet takut Nino bakalan akhirin semuanya. Apalagi keadaan lebih mendukung gua dan dia buat berpisah. Ternyata semua yang gua takutkan tidak terjadi. Ya sampai hari ini tidak terjadi entah hari esok.
"Dufan yuk. Besok kan sabtu ini." Ajak Nino.
"Iyasih, yaudah ayo. Tapi aku ga bawa baju ganti." Kata gua.
"Gimana pulang ke rumah kamu aja dulu. Ambil baju." Kata Nino.
"Bukan ide bagus No." Timpal gua.
"Kenapa?" Tanya dia.
"Ya kan hari ini hari Jumat. Terus kalau mepet waktu kamu Jumatan gimana?" Tanya gua.
"Masa sih selama itu Bin? Emang Ayah kamu bakalan ajak aku ngobrol lama ya?" Tanya dia.
"Pastilah No, terus pas ketemu itu Ayah nanya kamu gereja dimana?" Kata gua hati - hati. Takut Nino tersinggung.
"Wajar sih nanya begitu. Setiap orang tua ingin anaknya sama pasangan yang seiman. Kan pondasi." Ujar Nino.
Mendengar ucapan Nino membuat ulu hati gua ngilu. Gua merasa seperti ditonjok. Apa Nino masih marah?
"Kok ngelamun, ayo ke rumah kamu dulu." Kata dia.
"Ngga usah aku beli kaos aja nanti di Dufan." Kata gua.
Nino POV
Sabina menyerah juga, tujuan gua ajak dia ke Dufan biar kita bebas teriak. Ucapan Sabina barusan membuat gua tambah stress sendiri. Stress karena mikirin suatu hari gua harus ngelepas dia. Namun, dihadapan dia gua bersikap seolah tidak memikirkan apa - apa. Padahal gua takut, bahkan sangat takut menghadapi kenyataan yang mungkin pahit.
"Naik kora - kora ya pertama."
"Nino itu nanti bikin mual. Terakhir aja." Kata dia.
"Aku pengen nguji adrenalin Bin. Ga mah wahana penggembira." Timpal gua.
Akhirnya Sabina mengalah. Wahana Kora - Kora pertama kita naiki. Baru beberapa detik dia sudah pucat.
Tangannya menggenggam erat tangan gua dan dia memejamkan matanya."NINO KAMU NYIKSA INI NAMANYA. BUNDAAAAAAA TUHAAAN." teriak Bina berulang - ulang. Gua gemas melihatnya.
Ya Allah kalau bukan Bina jodohku, buatlah dia bahagia terlebih dahulu daripada aku. Batin gua.
Ga kerasa air mata gua menetes. Kadang gua memang soft. Kalau kata Teteh sih gua cengeng. Siapapun yang ada diposisi gua pasti bingung dan ga tau harus gimana. Apalagi gua dan Bina sama - sama agamis. Semakin kokoh benteng diantara kita. Lantas kenapa gua memilih bersama dia? Ya karena cinta tak bisa memilih untuk siapa dia.
"Aku mual." Katanya dengan muka pucat saat turun Kora - Kora.
"Ayo ke WC dulu. Ini aku bentar lagi Jumatan juga." Kata gua.
"Iya aku pusing juga." Ujar Sabina.
"Baru satu belum Tornado, Histeria, Halilintar." Kata gua.
"Kamu aja aku nunggu." Sahutnya.
"Ya kali aku ninggalin kamu sih. Kuat jalannya?" Tanya gua.
"Kuat kok." Jawabnya.
Setelah mengantar Sabina, gua menuju ke Masjid disana. Sesibuk apapun gua, ibadah harus tetap gua jalankan. Sabina menunggu gua di kafetaria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sabina dari Nino ✔️
General FictionTujuh keliling bumi pun ga akan bisa mengubah kita Bin. Aku tetep ingin ke Mekah dan kamu tetep ingin ke Vatikan.