sembilan : sebuah senyuman

770 176 5
                                    

Sabina POV

"Bin, keluar kamar dulu sayang." Panggil Mama.

"Aku ga lapar Ma, mau tidur aja." Timpal gua.

"Semenjak kamu tunangan kamu murung terus Bin, terus sakit juga dan ga mau makan. Sedih juga kamu harus makan sayang. Kasian badan kamu." Kata Mama dibalik pintu kamar.

"Aku masih butuh waktu sendiri Ma." Timpal gua.

Mengurung diri adalah cara gua mengungkapkan kekecewaan. Gua kecewa sama diri gua sendiri. Begonya gua ga berani menghubungi Nino. Gua takut menjelaskan semuanya ke dia. Padahal gua yakin dia akan mendengarkan ucapan gua dengan tenang. Gua masih ingin semua ini hanya mimpi, namun cincin di jari manis gua menyadarkan bahwa semua ini kenyataan.

"Emang harus ketemu Nino biar ga ada yang ganjel lagi. Tapi gua takut."

Nino POV

Semenjak hari itu, gua berusaha menghibur diri gua. Beberapa kali gua jalan bareng teman - teman. Martin, teman kost yang sekarang jadi dekat dan akrab. Dia banyak memberi petuah yang tidak berfaedah. Seperti hari ini kami tengah nongkrong di salah satu kafe di pusat kota.

"Lo jangan kaya hidup berakhir, ditinggal nikah slow lah berarti bukan jodoh lo." Kata Martin enteng.

"Mudah kalau ngomong." Timpal gua.

"Ya gua ga mau ngalamin sih." Ujar Martin.

"Makanya jangan semudah itu bilang slow, sangeunahna maneh." Kata gua.

"Yo wes terserah kamu, cuma belajar move on lah. Cewek banyak No." Ujar Martin.

"Tapi bukan Sabina." Kata gua.

"Yailah Sabina Sabina mulu sabeb kali lah." Ujar Martin.

"Susah Tin. Masih baru." Kata gua.

"Sabar bro." Ujar Martin.

Sebuah pesan muncul membuat gua terdiam beberapa detik.

Nino ayo ketemu, banyak hal yang perlu aku jelasin dan aku minta maaf ga ngasih tahu kamu sebelumnya.

Pesan dari Sabina, pujaan hati gua. Tanpa berpikir apapun gua iyakan permintaannya. Kini gua tengah menunggunya. Tak lama ia datang, matanya sembab, wajahnya pucat, bahkan ia terlihat lebih kurus.

"Bin, duduk." Kata gua saat dia sudah dihadapan gua. Lidah gua kelu untuk mengucap semua pertanyaan yang sempat terlintas dalam benak.

"Maaf ya telat." Kata Bina.

"Belum nunggu lama kok. Bin, kayaknya kamu lagi ga sehat?" Tanya gua.

"Aku sehat kok. Nino, aku mau minta maaf. Maaf aku menyembunyikan semua ini. Maaf aku ga bisa menghindari kemauan orang tua aku. Nino, aku ga bahagia, tapi harus aku lakukan karena aku mau orang tua aku bahagia." Jawab Sabina.

"Aku paham Bin. Aku tahu pasti kamu yang merasakan tekanan terberat. Bin, kamu harus bahagia." Kata gua.

"Aku ga tau bahagia itu kaya gimana sekarang No, karena aku ga yakin bisa merasakan bahagia kaya sama kamu." Ujar Bina.

"Bina, Kak Nico orang baik. Dia lebih lama kenal kamu. Bahkan dia lebih paham sifat kamu daripada aku. Aku yakin kamu bisa bahagia sama dia." Kata gua tulus.

Sabina malah menangis. Gua ga tega liatya. Namun, gua tak bisa berbuat apa - apa. Jika saja dia bukan tunangan orang lain, gua akan memeluknya saat ini. Segala cara akan gua lakukan untuk menenangkannya. Gua akan berusaha menghapus sedihnya. Kenyataannya, gua hanya bisa duduk di kursi seberangnya, melihat dia meneteskan air mata.

Untuk Sabina dari Nino ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang