sepuluh : untuk Sabina dari Nino

1.5K 209 28
                                    

Hari pernikahan Sabina tiba. Acara pemberkatan dilakukan secara tertutup untuk keluarga. Sabina menangis setelah resmi menjadi istri Nico. Entah tangisan bahagia atau sedih, rasanya semuaj campur aduk hingga Sabina tak menyadari apa yang dirasakannya. Gaun putih, tiara yang terpasang di kepalanya, serta riasan tipis membuat Sabina sangat cantik di hari istimewanya.

Tiba saat resepsi, Sabina tampak lebih tegang. Beberapa kali ia melihat sekeliling. Berharap bisa melihat sosok yang mungkin hilang dari hidupnya. Sosok yang hanya akan jadi kenangan dihidupnya. Mungkin sosok yang harus ia hapus dari prioritas utamanya.

Nino yang sedang diperjalanan pun tampak berusaha tenang. Walau keringat dingin mengucur deras. Dia tetap berusaha tersenyum walau matanya terasa berat. Tak bisa ia pungkiri hatinya sesak. Egi yang berada disampingnya menggenggam tangan sang adik, berusaha memberikan kekuatan.

Awalnya Nino hendak datang bersama teman sepermainannya di Bandung. Namun, Egi dengan tegas melarang. Egi tahu adiknya butuh seseorang yang bisa menguatkan dan itu hanya dirinya. Januar pun memahami situasi, mengizinkan istri tercinta pergi ke acara resepsi Sabina. Lagipula ada Hilman dan Rere yang juga ikut.

"Tarik nafas dalam - dalam, hembuskan. Kali aja bisa kurangin beban di dada." Kata Egi.

"Teh, aku sanggup ga ya." Ujar Nino.

"Sanggup dong. Kan udah siapin kado segala masa ga dikasih langsung." Kata Egi.

"Aku takut kelihatan rapuh pas nanti liat Sabina." Ujar Nino.

"Ada teteh jadi harus kuat, pegang tangan teteh kalau sedih." Kata Egi menimpali.

Rere dan Hilman di kursi depan tidak berkomentar. Mereka juga tak bisa membayangkan beratnya posisi Nino. Saat ini dukungan penuh kakaknya adalah yang Nino butuhkan. Terlihat sekali Nino sangat rapuh.

"Siap ya." Kata Egi saat memasuki kawasan acara resepsi. Nino hanya mengangguk.

"Nino, semangat ya." Ujar Rere. Hilman hanya menepuk bahu Nino.

Rere dan Hilman berjalan terlebih dahulu, Nino dan Egi mengikuti dibelakangnya. Tangan Nino menggengam erat tangan Egi.

"Ini ga mudah tapi adiknya teteh harus bisa." Bisik Egi.

Mereka berjalan menuju pelaminan. Acara ini berkonsep klasik europe, terlihat dekorasi yang mewah. Semakin dekat ke pelaminan, semakin langkah Nino melambat. Matanya tertuju pada mempelai perempuan yang juga menatapnya sendu. Nino berusaha menahan tangisnya, ia melihat ke langit - langir berharap air matanya tidak turun. Sabina sendiri sudah berkaca - kaca. Nico pun sadar bahwa lelaki pemilik hati istrinya sudah ada dibarisan yang akan memberi selamat pada mereka.

"Jangan nangis disini Bin." Bisik Nico.

Sabina mengangguk, ia menjaga senyumnya. Walau semakin dekat Nino melangkah semakin luntur senyuman di wajahnya.

"Bina selamat ya." Kata Rere sambil memeluk Sabina.

"Jangan nangis Bin. Harus bahagia disini." Kata Rere saat merasakan Sabina mulai terisak.

"Everything happened for a reason. This is the best scenario for your life Bin. Cheer up." Kata Hilman saat bersalaman dengan Sabina.

Tibalah Nino memberikan selamat pada Sabina. Senyuman terukir dibibirnya namun setetes air diujung matanya cukup menggambarkan perasaan yang sebenarnya.

"Selamat menempuh hidup baru Bin. Ini kado dari aku, buka di rumah nanti ya. Sengaja aku kasih langsung spesial soalnya." Ujar Nino.

"Makasih Nino." Kata Sabina.

Untuk Sabina dari Nino ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang