Dira POV
Ting.. tong..
Itu adalah bunyi bel yang ke 13 dalam satu jam ini. Aku bisa gila dibuat orang itu. Aku hanya bisa mengacak-ngaacak rambutku di depan komputer. Sudah satu jam aku duduk di sini, tapi karena bunyi bel sialan itu aku tidak bisa menulis apa-apa. Aku pun memberatkan langkahku untuk yang ke 13 kali dan akan ku pastikan ini adalah yang terakhir kali bartender gila itu akan memencet belku.
“Mwo!” teriakku tepat saat membuka pintu.
Dia hanya tersenyum dengan gaya yang pernah aku liat saat dia jadi bartender. Senyum palsu yang dibuat-buat. Dia pasti ingin membuat aku meleleh dengan senyumnya itu. Sayanggnya aku tidak mudah takluk dengan senyum palsu.
“Kau telah membuatku kehilangan pekerjaan,” katanya sambil menunduk. Cih, anak TK juga tau kalau dia berbohong. Liat saja ekspresinya. Mana mungkin dia benar-benar kehilangan pekerjaan namun ekspresinya seperti itu.
“Siapa namamu?” tanyaku dengan nada ketus.
“Il Sung. Kwon Il Sung,” katanya dengan ekspresi yang dibuat-buat. Aku bingung bagaimana harus mendeskripsikan ekspresinya saat ini. Yang aku tahu, aku hanya merasa ekspresinya terlalu dibuat-buat, berlebihan, dan tidak natural.
“Kwon Il Sung-ssi. Dengar, dua hal yang aku tidak suka darimu. Pertama, kau itu berisik. Kalau kau terus memencet bel pintu ini, bukan hanya kau tapi aku juga yang akan kehilangan pekerjaan. Kedua, kau itu penipu,” tepat setelah aku mengatakan penipu ekspresinya berubah menjadi ekspresi sedikit terkejut. Tapi dia terlihat mencoba menetupi rasa kagetnya dengan senyumnya yang lagi-lagi terlalu dibuat-buat.
“Nae?” katanya.
“Iya, Kau itu penipu. Liat ekspresimu yang dibuat-buat. Kau itu penipu. Kau mencoba meraih untung dari orang-orang seperti aku. Sebentar, mari aku tebak,” kataku lalu melipat tanganku di dada. Menebak latar belakang seseorang adalah keahlianku.
“Kwon Il Sung-ssi. Seorang bartender berumur 28 tahun. Menghabiskan waktu tidur di bar. Datang ke Seoul untuk mencari pekerjaan. Asli dari Busan,” aku terhenti sejenak untuk mempelajari ekspresi terkejut di wajahnya.
“Sepertinya aku salah. Kau datang ke Seoul untuk mencari pacarmu yang sedang kuliah. Tapi sayangnya, dia sudah bersama orang lain yang lebih kaya. Oleh karena itu kau memilih untuk bekerja sebagai bartender. Tidur di bar, atau kalau beruntung tidur di rumah gadis yang innocent. Kau ingin menabung, agar bisa membeli cincin.. mmm.. terlalu klasik. Sepertinya lebih tepat kau menabung untuk membeli rumah, buat kalian berdua tinggal kelak saat menikah,” kataku lalu mengamati ekspresinya yang berubah drastis. Ekspresi terkejutnya yang tidak bisa disembunyikan.
“Kau! Kau sedang menulis cerita?!” katanya dengan nada meninggi. Aku hanya tersenyum simpul. Untuk pertama kalinya aku melihat ekspresinya yang sebenarnya.
“Kau tidak tau apa pekerjaanku, huh?” kataku lalu aku menutup pintu.
Berani ku jamin dia tidak akan memencet bel untuk ke 14 kalinya. Banyak orang yang tidak berani bicara denganku atau pun dekat denganku jika aku mencoba membaca dirinya. Aku bukannya dukun, hanya saja aku mudah menebak latar belakang seseorang dari gayanya. Yah, kebanyakan orang hidup seperti komik, novel, drama, telenovela, atau apa pun namanya. Hidup yang terlalu klasik.
Aku mengambil air minum di kulkas lalu menenggaknya. Membuat cerita? Ucapannya tadi sepertinya ada benarnya juga. Aku bisa menebak cerita banyak orang. Sepertinya menarik kalau aku membuatnya menjadi sebuah cerita. Mungkin genre romantis sesuai dengan cerita si bartender itu. Ah, benar juga, sesuai kata editor. Mungkin sekali-kali aku perlu menulis cerita bergenre romantis. Aku pun bergegas ke komputer dan memulai menulis sebuah cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
After That Night
Genç KurguDira, seorang penulis buku best-seller terjebak pada seorang bartender yang tidak punya rumah dan mengemis tempat tinggal gara-gara kejadian satu malam yang ia tidak ingat sama sekali. Belum lagi dia harus menulis dan mengajukan berkas terakhir untu...