Dira POV
Mau tau bagaimana ekspresiku saat ini? Aku terdiam, terbelalak, dan tidak percaya. Sekarang yang ada di depanku adalah sutradara yang kata editorku adalah sutradara terkenal, Jung Jae Sun. Sebenarnya aku tidak mengenalnya, aku bukan salah seorang yang mengikuti perkembangan dunia perfilman. Yang membuatku terbelalak saat ini adalah dia memintaku untuk menulis skenario buat dramanya selanjutnya. Aku tidak pernah menulis skenario. Ditambah lagi, ediorku ingin cerita Il Sung itu dikemas menjadi sebuah skenario. Editor itu berpikir apa sih? Aku kan selalu kaku kalau disuruh membuat dialog. Sekarang dia memintaku untuk membuat skenario drama dan tema percintaan. Semuanya terlalu baru buatku.
“Kenapa diam?” tanyanya lalu menyeruput kopinya.
Aku masih diam di dalam ruang tamu kantor penerbit. Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Semuanya masih sangat baru buatku. Semuanya langsung terjadi begitu saja. Aku bahkan ragu aku sanggup menangani semuanya ini atau tidak.
“Ngomong-ngomong kau tidak ingat aku?” tanyanya.
Aku mengamatinya dengan seksama. Penampilan yang semiformal, rambut ikal efek salon, tatapan yang kosong, yah tatapan orang yang sudah punya segalanya, aku bingung bagaimana mendeskripsikannya. Intinya, aku lumayan sering menemui orang-orang seperti dia, apalagi saat ada talkshow waktu buku pertamaku menjadi best seller.
“Aku mudah lupa dengan orang-orang yang tidak pernah berinteraksi denganku,” kataku dan membuatnya tertawa. Cih, tawanya terkesan meledek. Yah, aku tahu sih, dia punya segalanya, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya menertawakanku seperti itu.
“Tidak perlu menatapku seperti itu,” katanya lalu menyeruput kopinya lagi. “Kita pernah bertemu di bar saat kau mabuk,” tambahnya. Siapa yang peduli? Sekarang, aku semakin tidak mau membuat skenario dramanya. Tapi kalau aku tidak menerimanya, karirku sebagai penulis akan berakhir. Ini adalah kesempatanku yang terakhir yang diberikan editor.
Dia meletakkan sketsa chapter pertamaku beserta outline ceritaku di atas meja. Dia menyeruput kembali kopinya lalu memberi tatapan dinginnya padaku. Dia mau mengajakku beradu tatapan dingin?
“Sepertinya kau adalah tipe orang yang serius. Aku sudah membaca bukumu yang sebelumnya dan aku sudah membaca beberapa naskahmu yang berulang kali ditolak editormu. Kau ahli mendeskripsikan sesuatu. Hanya saja kau payah soal dialog,” katanya. Aku tahu itu. Lalu kenapa, kau mau aku membuat skenario drama? Dasar orang aneh.
“Tapi, setelah membaca outline ceritamu kali ini, sepertinya kau akan membuat sebuah drama yang menarik. Kau membuat ini setelah dari bar dan mencium bartender, bukan?” katanya. Bagaimna dia bisa tau aku mencium bartender? Apakah aku dan dia benar-benar pernah bertemu sebelumnya.
“Baiklah, Jung Jae Sun-ssi. Maaf kalau saya lupa pernah bertemu Anda sebelumnya. Seperti yang Anda katakan, saya payah urusan dialog. Saya bukan orang yang cocok untuk menulis sebuah naskah drama. Tapi karena saya tidak punya pilihan lain, saya akan mengambil proyek ini. Jadi kapan saya harus mengumpulkan chapter pertama?” tanyaku. Aku ingin segera menyelesaikan percakapan ini.
“Sepertinya tidak ada kata sabar dalam kamusmu, Dira-ssi. Aku beri waktu satu minggu. Selasa depan aku tunggu di kantorku,” katanya lalu memberi kartu namanya. Aku menerimanya lalu membungkukkan badanku sebelummeninggalkan ruangan. Yah, mencoba sopan disaat-saat seperti ini tidak ada salahnya kan?
***
Aku membanting semua dvd drama yang baru saja aku beli ke atas meja. Sekarang aku harus menonton ini semua. Satu per satu judul drama aku amati. Sepertinya satu minggu tidak cukup kalau aku harus menonton semua drama ini. Aku pun meraih drama berjudul Minami Shineyo (baca : you’re beautiful).
***
Aku meregangkan badan-badanku. Ternyata menghabiskan waktu dengan hanya duduk itu cukup melelahkan ya. Aku melihat ke arah jam yang terletak di dapur. Ruang TV dan dapurku memang berdekatan.
Sudah pukul 11.20 malam. Kwon Il Sung belum juga menunjukkan batang hidungnya. Dia benar-benar bekerja keras buat membeli sebuah rumah. Padahal sebuah rumah bukanlah satu jaminan masa depan yang layak. Ya sudahlah, toh aku tidak perlu mecapuri urusannya.
Aku berdiri dan memutuskan untuk makan. Aku belum makan dari tadi siang karena kegiatan menonton drama yang menguras waktu. Sesampainya di dapur, aku baru menyadari, bahwa aku bahkan belum memasak nasi. Mungkin, Il Sung juga belum makan. Sepertinya masak bubur ayam malam-malam bukan ide yang buruk. Apalagi di penghujung kemarau, bubur panas sangatlah bukan ide yang buruk.
Pukul 00.15. Kwon Il Sung juga belum pulang. Apakah kerja di bar benar-benar selama itu? Aku lalu meninggalkan buburnya di meja makan dan memutuskan untuk melanjutkan drama yang harus ku tonton.
***
Il Sung POV
Sudah pukul 2. Aku membereskan barangku sebelum pulang. Aku tersenyum setiap memikirkan kata pulang. Ya, walau pun Dira tidak menungguku tapi aku merasa ada tempat pulang seperti ada yang menantiku. Hahaha, pikiran gila memang. Lupakan saja.
“Hyung, kau benar-benar jalan dengan yeoja yang waktu itu?” tanya Young Min padaku.
“Dia hanya nyonya pemilik kontrakan,” kataku dan membuat Young Min tertawa.
“Aku pulang,” kataku. Young Min tersenyum lalu mengangguk.
Diperjalanan pulang aku melawati sebuah toko. Apakah aku perlu membeli sesuatu buat Dira? Huh, kenapa aku seperti sedang memikirkan istriku di rumah? Dia punya banyak uang, sepertinya aku tidak perlu membelikannya sesuatu.
***
“Aku pulang,” kataku dengan nada lirih sesaat setelah membuka pintu. Sesaat setelah aku memasuki rumah, aku bisa mendengar jelas bunyi televisi. Anak itu belum tidur rupanya.
Aku melangkah langsung masuk ke dapur mencoba mencari sesuatu yang bisa mengganjal perutku saat ini.
“Kau pulang?” tanyanya lalu mematikan televisi dan berjalan lunglai ke arahku.
“Hmm,” jawabku singkat.
“Jangan berlagak cool di hadapanku. Tidak cocok,” jawabnya lalu duduk di kursi makan. Dia membuka mangkok yang tertutup.
“Makanlah,” katanya lalu menyodorkan mangkok berisi bubur ayam ke arahku.
“Kau belum makan, kan?” katanya lalu berdiri.
“Oh ya, aku menaruh sketsa sama line cerita sementara, bacalah,” katanya lalu berjalan lunglai ke arah kamarnya. Apakah dia bekerja terlalu keras? Dia terlihat lelah.
Aku duduk mengamati bubur ayam yang ada di hadapanku. Entah kenapa rasanya melihatnya serasa aku benar-benar memiliki seorang istri. Sebuah makanan hangat setelah aku pulang kerja. Ah, tapi aku tidak mau anak aneh itu yang jadi istriku. Aku pun mulai melahap makanan yang ada di hadapanku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
After That Night
Roman pour AdolescentsDira, seorang penulis buku best-seller terjebak pada seorang bartender yang tidak punya rumah dan mengemis tempat tinggal gara-gara kejadian satu malam yang ia tidak ingat sama sekali. Belum lagi dia harus menulis dan mengajukan berkas terakhir untu...