Dira POV
Mataku sudah terlalu berat. Aku sudah mendapat sedikit gambaran tentang bagaimana aku harus menulis naskah drama. Paling tidak, dialogku tidak monoton lagi, semoga.
***
Kami berdua tinggal di tempat yang sama, tapi kami bahkan jarang bicara. Jam dinding di dapur sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Orang itu belum bangun juga.
Aku menuang secangkir susu lalu berjalan menuju ke depan tv untuk melanjutkan drama yang belum selesai. Episode terakhir adalah episode yang paling wajib aku tonton. Aku bisa dibunuh editorku kalau proyek besar ini gagal hanya karena aku tidak bisa membuat ending.
“Tidak disangka kau seperti ahjuma. Dari pagi sampai malam kerjamu cuma nonton,” kata Il Sung tiba-tiba.
“Oh, kau sudah bangun,” jawabku sambil menoleh melihatnya lalu melanjutkan menonton drama.
Ahjuma disini juga suka nonton drama, ya? Aku pikir hanya ibu-ibu di Indonesia yang hobinya nonton sinetron.
“Mau makan?” tanyanya sambil membuka kulkas.
“tidak,” jawabku singkat lalu fokus menonton. Dia kemudian duduk tepat di sebelahku lalu meletakkan sketsa ceritaku di atas meja.
“Bagaimana akhirnya?” tanyanya.
Aku terdiam lalu menatapnya.
“Aku perlu tahu bagaimana akhir ceritaku,” katanya.
“Aku tidak tau. Maka dari itu, aku perlu tau dari mu,” jawabku. Dia menghela nafasnya berat.
“Akhirnya kau hidup bahagia selamanya,” jawabku dan itu berhasil membuat ekspresinya berubah seketika.
“Itu kan yang ingin kau dengar dariku,” tambahku lalu meneguk lagi susuku.
Ekspresinya kembali lesu. Sepertinya dia benar-benar menginginkan akhir ceritanya bahagia selamanya.
“Kau orang yang baik ya,” kataku. Keningnya berkerut mendengar perkataanku.
“Kalau aku sih, ogah mengakhiri cerita bahagia bersama orang yang telah mengacuhkanku,” kataku lalu membuatnya terdiam. Suasana kembali hening.
“Dia ke Seoul bukan buat kuliah. Dia ingin menjadi penyanyi,” katanya. Wajahnya yang lesu sedikit memancarkan cahaya saat menceritakan tentang gadis itu. Mungkin ini yang dinamakan cinta. Walau pun gadis itu mencampakkannya dia tetap bahagia setiap bercerita tentang gadis itu.
“Kau tau kan, ada berapa banyak orang di korea ini yang bermimpi menjadi bintang. Eunmi salah satunya,” katanya sambil tersenyum tipis. Ini adalah ekspresi paling nyata yang pernah ia buat.
“Dia pacaran dengan managernya,” katanya. Ekspresinya berubah sedih.
“Sebelum kita putus dia bilang aku tidak bisa memberikannya kebahagiaan,” katanya.
“Lalu kenapa kau memilih bartender?” tanyaku.
“Kenapa kau mau jadi penulis?” tanyanya balik. Kenapa? Aku juga tidak tau alasan yang pasti kenapa aku menjadi penulis.
“Alasanku menjadi bartender sama seperti alasanmu menjadi penulis,” katanya.
Ponselku tiba-tiba berbunyi. Kenapa di saat-saat seperti ini, sih? Aku kan masih perlu meraih beberapa informasi.
“mwo?” kataku sesaat aku mengangkat telpon.
“Paling tidak, kau perlu menyapa lebih dulu,” kata Jaesun, si pemilik suara yang menganggu waktuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
After That Night
Teen FictionDira, seorang penulis buku best-seller terjebak pada seorang bartender yang tidak punya rumah dan mengemis tempat tinggal gara-gara kejadian satu malam yang ia tidak ingat sama sekali. Belum lagi dia harus menulis dan mengajukan berkas terakhir untu...