[6] Menyusut

1.3K 249 8
                                    

Bibi Deana belum juga kembali saat aku pulang. Langkahku limbung saat berjalan ke kamar. Kakiku belum terbiasa bergerak di air, rasanya sangat susah melawan tekanan air ini. Ada sedikit keanehan ... ah, mungkin keberuntungan. Aku melihat Gred tetap diam di posisi tidurnya walau setelah melihat kedatanganku. Telinganya bergerak-gerak ketika kulewati, tetapi anjing itu tidak tampak terusik.

Mungkin Gred sedang sakit gigi, atau tubuhnya kehabisan energi karena berlari-lari seharian. Apa pun itu aku merasa bersyukur. Pintu kamar segera kututup rapat-rapat.

Aku segera mendekat ke cermin karena penasaran. Betapa kagetnya diriku saat melihat pantulan seseorang di sana. Seorang manusia dengan jaket biru tua, mungkin dua tahun lebih muda dariku. Rambutnya kira-kira lima senti di bawah bahu.

"Tenanglah, Maureen ... tenang dulu," ujarku pada diri sendiri.

Bayangan itu ikut menghilang saat aku menjauh dari cermin. Namun, saat kudekati lagi, bayangan itu kembali muncul.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aku memperhatikan diriku baik-baik. Tidak mungkin salah orang, tidak ada siapa pun di sini. Bayangan itu adalah aku. Aku jadi semakin muda.

Aku mendekat, memperhatikan wajahku lekat-lekat. Bahkan jerawat batu yang ada di hidungku ikut hilang.

Apa yang terjadi padaku?

Aku mengurung diri seharian di kamar ini. Biasanya ibu akan memintaku untuk bergabung makan siang. Ah, apanya yang makan siang. Aku saja tidak tahu pukul berapa ini. Aku menatap ke arah jendela, keadaan di luar cukup terang padahal sinar matahari tidak sampai kemari.

Terdengar ketukan pintu dari luar, disusul suara Bibi Deana yang terdengar. "Nak, kau di dalam?"

Aku tetap diam di atas kasur. Terdengar suara pintu yang bergeser.

"Nak, kau ...." Bibi Deana menghentikan ucapannya.

Aku mengintip dengan raut wajahku yang entah terlihat seperti apa. Namun, pasti aneh karena Bibi Deana terlihat sangat terkejut. Dalam beberapa jam terakhir, aku harus menahan sakit ketika tubuhku lagi-lagi menyusut. Aku sangat bingung, benar-benar di luar nalar.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Kita harus menemui Tetua Mathias ...," ujar Bibi Deana. Namun, kepalanya menggeleng dan khawatir. "Tidak sekarang, Tetua Mathias sedang mendatangi pertemuan penting. Dia baru kembali beberapa hari lagi."

Aku tidak mau berpikir negatif, tetapi hal itu terus saja membayang di pikiranku. Bagaimana jika sebelum bertemu Tetua Matias, aku sudah menjadi bayi? Ah, mungkinkah itu terjadi?

Aku merindukan keluargaku, ibu, kakek, Alex, dan ... ayah.

Malamnya, aku duduk di atap rumah Bibi Deana. Di sini lembut dan nyaman, seperti tumpukan kapas. Kudongakkan kepala ke atas, menatap pada hamparan air tanpa ujung. Aku merindukan bintang-bintang yang menghiasi langit. Biasanya saat Alex menginap, kami akan menyelinap ke halaman belakang, lalu berbaring menatap langit. Sampai ibu datang untuk menyuruh kami tidur di dalam.

Di atas sana, para siren berenang dengan gerakan ekor mereka yang menakjubkan. Mereka tertawa dan terlihat sangat bahagia. Aku terhenyak ketika warna air mulai menggelap, seperti malam. Namun, dalam air. Para siren lenyap digantikan gelap.

Terdengar nyanyian merdu yang membuatku terpana. Aku memperhatikan sekitar dan melihat satu siren yang berenang di pinggir rumah Bibi Deana. Suaranya sangat indah.

"Gemerlap malam yang menakjubkan ....

"Gemercik air membuaiku. Cantik mempesona ...."

Siren itu bernyanyi sembari berenang menjauh. Dalam beberapa menit, keadaan kembali sepi.

Underwater World: Gate of Berry Head ArchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang