Ada yang mengatakan hidup itu singkat, jadi manfaatkanlah waktumu sebaik mungkin. Ada pula yang terlalu santai menjalin hidupnya, hingga mendapat tunjangan di penghujung hari. Maureen berada di tengah kedua sifat itu, tidak terlalu rajin maupun pemalas. Maureen hanya ingin menjadi siswi sekolah dasar yang biasa-bisa saja, tetapi tetap diakui keberadaannya.
Ia benar-benar tidak mengerti mengapa semua orang di kelas menjauhinya. Ketika guru membagi seluruh murid-murid di kelas menjadi beberapa kelompok, Maureen mengerjakan tugas sendirian. Atau ketika semua siswi perempuan memilih menghabiskan waktu istirahat mereka di kantin untuk mengganjal perut, Maureen malah duduk di pojokkan kelas dengan kota bekalnya.
Untuk tersenyum dengan teman sekelas saja ia merasa enggan dan risih. Sewaktu masih di bumi, Maureen bahkan dapat menghitung berapa kali dirinya tersenyum selama sehari ketika di sekolah. Bukannya irit senyum, hanya saja Maureen merasa canggung. Ketika yang lain melihatnya sebagai gadis cuek tak berperasaan, Maureen sedang berusaha berkontak sosial dengan temannya.
"Kamu memang gini, ya," komentar Lucas berenang lurus diikuti Maureen yang berjalan dengan tempo lambat. "Cuek," tambahnya.
Maureen menaikkan alis. Ia cuek?
"Atas dasar apa kamu bilang aku cuek?" tanya Maureen.
Lucas menandangi wajah Maureen lekat. Saking dekatnya hanya tersisa jarak beberapa mili sebelum hidung mereka bersentuhan. "Kurang senyum," jawab Lucas menjauhkan wajahnya. Seketika Maureen merasa jantungnya berdebar kencang.
"Lucas!" sentak Maureen dengan wajah memerah. Lucas terkikik geli. Dalam jarak mereka yang sedekat tadi, Maureen nyaris merasakan jantungnya meledak.
"Aku tebak, kamu jarang senyum sebelum ini."
"Sebelum ini?" tanya Maureen.
"Yaa ... sebelum kamu ketemu Deana dan nenek. Benar, 'kan?"
Gadis itu terdiam merenungi perkataan Lucas. Ia memang jarang tersenyum, bukan jarang, tapi hampir tidak pernah sebelum ini. Sebelum ia bertemu Gred yang manis, Deana, dan beberapa kali mengunjungi nenek Lucas. Berbicara soal nenek Lucas, perangai wanita tua itu persis seperti neneknya. Masakannya pun enak.
"Mungkin kamu benar. Bisa jadi karena alasan ini juga, aku diasingkan di kelas."
Lucas tak mampu menutupi keterkejutannya. "Diasingkan? Sepertinya tidak seharusnya sampai separah itu. Pasti ada alasan lain."
Maureen tidak dapat memikirkan alasan lain yang dapat menjawab pertanyaan Lucas. Untuk menyadari kesalahannya kali ini saja ia memerlukan bantuan orang lain.
"Mungkin, sih," ujar Maureen mengendikkan bahu.
***
Sebulan sebelum Maureen terjebak di negeri bawah air.
Maureen berjalan lurus menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku pinjamannya. Namun, dalam perjalanan ia berpapasan dengan seorang teman di kelas. Sayangnya tali sepatu Maureen terlepas bersamaan dengan gadis kelasnya yang tersenyum menyapanya. Maureen tentu tidak melihat karena tubuhnya serentak membungkuk untuk mempermudah jemarinya mengikat kembali tali sepatu. Alhasil senyuman itu terabaikan.
Gadis itu nampaknya merasa sakit hati. "Orang kayak gitu dibaikin, enggak guna," cercanya yang tertangkap jelas di pendengaran Maureen. Dalam lubuk hati Maureen, ia mengetahui ucapan itu tertuju untuknya karena tidak ada seorang pun di sana selain mereka. Namun, yang membuatnya bingung adalah ... Maureen salah apa?
Beberapa jam setelah itu.
"Apaan tuh? Songong banget," ujar gadis yang sama ketika berada di kelas. Teman-teman gadisnya yang lain mendekat ingin tahu.
"Kenapa?"
"Tuh, si mata empat. Disenyumin malah dianggurin," jawab gadis itu.
"Masa, sih? Eh, tapi, 'kan dia memang gitu. Kalau enggak perlu enggak bakal datengin kita. Waktu tugas bahasa juga bukan main sombongnya, dia ngumpulin tugas kelompok sendirian. Pak Jordan malah marahin kita setelah itu, karena enggak bantuin buat tugas. Ujung-ujungnya Maureen sendiri yang presentasiin tugasnya."
Tak sampai di sana, berbagai perbincangan yang membicarakan Maureen terdengar. Mereka bergosip layaknya gadis-gadis lain. Berawal dari keluhan satu orang, berakhir dengan kebencian seluruh kelas.
Bel masuk mulai menggema, semua siswa maupun siswi bergegas memasuki kelas masing-masing. Tak terkecuali Maureen, gadis itu cukup merasa risih ketika tatapan tajam satu kelas menghujamnya. Jangan pikir Maureen tahan diperlakukan seperti itu, kakinya bahkan terasa gemetar. Ia berjalan pelan menuju bangku tunggalnya. Benar, sejak menginjak sekolah menengah atas ini Maureen selalu duduk sendirian. Itu terjadi karena jumlah murid di kelas ini ganjil. Bahkan Maureen semepat berpikir, kalau pun jumlah anggota kelas ini genap. Ia yakin, tak seorang pun akan sudi duduk bersebelahan dengannya.
***
T
as kerang yang semula disandang Maureen beralih menjadi bawaan Lucas. Pemuda siren itu membawa dua bawaan berat sekaligus. Lucas hanya tidak tega menyuruh gadis mungil tersebut membawa bawaan berat dengan hanya berjalan. Lucas sendiri merasa sanggup karena ia berenang. Mereka tak pernah membahas lagi mengenai ukuran tubuh Maureen saat ini. Lucas berharap penciutan tersebut tidak akan terjadi lagi.
Yah, sebenarnya akan terasa sangat aneh kalau tidak terjadi kembali. Dengan kekuatan berystone yang semakin lemah tiap harinya. Apa pun mungkin saja terjadi. Bahkan mungkin batin Maureen telah siap jika tebing-tebing di atasnya runtuh menimpa mereka.
"Kadal apa yang bikin penasaran?" tanya Lucas memandang Maureen. Sedangkan Maureen mengernyit bingung.
"Ke dalam samudra menelusuri hatimu!"
Blusshhh.
Pipi Maureen merona mendengar hal itu. Lucas tertawa lepas, sedangkan Maureen bersemu kecut. Kedua kalinya degup jantungnya menjadi tidak stabil seperti ini karena lucas.
Bagi Maureen, itu sama sekali tidak lucu!
To be continued.
811 word.[A/N]
Gaje sumpahh, wkwk.
⚪Dyahputri⚪
(21/08/2018)
17:28
KAMU SEDANG MEMBACA
Underwater World: Gate of Berry Head Arch
Fantasy[SEASON 1 EPISODE LENGKAP] [SEASON 2 SEDANG BERJALAN] Mauren tak menyangka hidupnya akan semenakjubkan ini. Semua karena batu unik, Berystone yang ia temukan. Terperangkap dalam dunia paralel bawah air, penyusutan bentuk tubuh, hingga serangan sire...