6

1.7K 357 22
                                    

"Dia ketiduran."

"Ini namanya pingsan, Kenma." Kuroo menggigit bibir bawah dengan kuat serta kalut. Cukup panik dengan kondisi [Name] sekarang, terlebih lagi ia juga tidak tahu harus melakukan apa. Padahal baru saja beberapa saat lalu dirinya berbincang dengan [Name] dan gadis itu tampak baik-baik saja, atau demikian yang Kuroo lihat. Entah [Name] yang memang tidak menampakkan kelesuannya, atau memang dirinya yang kurang memperhatikan.

Akhirnya, sebuah keputusan telah berhasil ia ambil meski sempat dilanda konflik batin. Kuroo berdiri, kemudian memapah tubuh [Name] yang tak berdaya selagi bus masih berhenti di halte tempat gadis itu biasanya turun. Kenma pada awalnya memandangi Kuroo dengan heran atas apa yang kawannya itu lakukan. Namun, ia pun memilih untuk mengekori Kuroo dan ikut bangkit dari kursi penumpang.

"Sehabis ini apa?" tanya Kenma begitu Kuroo selesai mendudukkan diri dan tubuh [Name] pada kursi halte. Yang ditanya menghela napas dalam-dalam. "Mengantarkannya ke rumah? Kau tahu alamatnya 'kan?" lanjutnya lagi.

"Itu dia, Kenma. Aku tidak terlalu mengenalnya selain nama, sekolah, dan daerah ia biasanya turun ini. Sebatas itu," ujar Kuroo setengah frustrasi.

"Bagus Kuroo, terus kita jadi gembel  gitu ya di sini. Seharusnya bisa saja tadi sementara kita bawa [Surname]-san ke rumahmu, merawatnya, menunggu siuman, lalu mengantarkan pulang. Ngapain pake turun di sini segala?" Kenma memutar bola mata. Lelaki berambut puding itu pun melangkah gontai ke tempat duduk halte yang kosong, di sebelah Kuroo dan [Name], merasa lelah sekali. Jadwal pulangnya jadi tertunda gara-gara ini, meskipun sebenarnya ia juga cukup kasihan dengan keadaan [Name]. Ia memandangi jalanan sore yang sepi lengang sambil melamun sesaat, sampai Kuroo menimpali kalimatnya.

"Gak tahu lah bro, namanya juga orang panik. Gak semudah itu ngambil keputusan di situasi genting." Kuroo mengalihkan pandangan memperhatikan [Name] yang berada dalam dekapan dan bersandar padanya. Kenapa ia baru menyadari wajah pucat nan lesu [Name] sekarang? Disentuhnya jemari sang gadis, dan Kuroo terhenyak dengan dinginnya tangan mungil itu. Ia beralih ke kening [Name], Kuroo merasakan temperatur yang berbeda dari tangan gadis itu, suhunya panas sekali. "Apa bawa ke rumah sakit terdekat saja ya? Ah, tapi rumah sakit itu ribet juga."

"Terus gimana? Berharap ada kakaknya tiba-tiba datang mau jemput dia di halte seperti kemarin? Andai saja ada yang bisa buat ngehubungin pihak keluarganya." Kuroo refleks menolehkan kepala, ditanggapi dengan alis Kenma yang mengangkat.

"Pintar kau Ken! Teleponnya! Ya ampun bego banget gak ngenotis tuh benda satu." Kenma mendesah saat melihat reaksi Kuroo. Buru-buru, ia membuka tas [Name]一setelah berbisik meminta izin meski gadis tersebut tak akan mendengar一dan mulai mencari keberadaan benda pipih itu.

Kuroo mulai sibuk menelaah satu persatu nama kontak yang tertera, sementara Kenma masih memperhatikan dengan melirik dan sambil diam. Raut wajah lelaki berambut hitam itu menjadi cerah saat telah menemukan kontak yang ia yakini adalah kakak [Name], menekan tombol panggil, dan menunggu jawaban sembari berusaha tenang.

"Gimana?" tanya Kenma seusai Kuroo menutup sambungan telepon. Kawannya itu menyahut dengan sudut bibir yang terangkat.

"Kakaknya udah otw ke sini, Ken. Kalau kau mau balik dulu, sana balik. Baru juga sembuh dari sakit 'kan, istirahat sana."

Lagi-lagi Kenma menghela napas, sambil memasang ekspresi 'yang benar saja'. Namun perkataan Kuroo ada benarnya juga. Kenma melirik Kuroo ragu untuk sesaat. "Terus kau sendiri? [Surname]-san?"

"Tenang, biar aku yang urus."

Lelaki berambut puding mengangguk mengiyakan. Setelah tak lama kemudian bus datang menghampiri halte tersebut, Kenma berpamitan. Meninggalkan Kuroo dan [Name] yang masih belum siuman, di halte, ditemani senja yang perlahan semakin temaram.

-o-

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang