6. Pindahan

830 39 5
                                    

Bandung.

Mobil hitam berhenti di depan rumah bercat putih dengan pagar hitam. Tiga orang turun dari mobil tersebut. Dua di antaranya menurunkan koper-koper di bagasi, sedangkan satu orang hanya diam di samping mobil.

Orang tersebut tengah menatap setiap inci bangunan yang ada di samping rumah bercat putih. Semua masih sama seperti yang Ia lihat dua bulan lalu. Rumah itu masih bercat biru dengan pohon jambu dan gazebo di depanya, termasuk sahabat kecilnya yang tidak pernah Ia lihat lagi setiap Ia berkunjung ke Bandung.

“MAURA!!” teriakan itu membuat Maura tersadar dari lamunanya. Kepalanya menoleh ke depan. Terlihat Tante Ana berlari sambil merentangkan kedua tanganya.

“Tante kangen banget sama kamu.” Tente Ana memeluk erat Maura.

“Tante, Maura sulit nafas.” cicit Maura.

Tente Ana terkekeh, segera melepas pelukanya. “Maaf ya, maklum Tante terlalu excited lihat kamu. Udah tujuh bulan kita nggak ketemu.”

Maura tertawa. “Semalam kan kita habis video call, Tante.”

Tante Ana meringis. “Iya juga sih. Eh, tapi video call sama ketemu langsung kan beda sensasinya!” seru Tante Ana tak mau kalah.

Tante Ana itu orangnya asik, enak diajak ngobrol atau bercanda, dan pastinya kekinian. Sayangnya, Tante Ana termasuk orang super sibuk.

“Rita, ya ampun, apa kabar?” setelah dari Maura, Tante Ana beralih ke Mama Rita. Maura tersenyum seraya menggelengkan kepala melihatnya.

Meningalkan Tente Ana dan Mama Rita yang masih bernostalgia di depan rumah. Maura menginjakan kaki memasuki rumah. Matanya menerawang seisi rumah. Tetap sama. Isi dan tatanan rumah Omanya tidak pernah berubah sejak dulu.

“Lihat apaan? kayak baru pertama kali masuk rumah ini aja lo.” ucap seseorang dari belakang membuat Maura memutar badanya. Senyum mengembang di bibir Maura.

“Dimas!” pekik Maura dan langsung berlari memeluk Dimas.

“Woow, gue tahu lo kangen berat sama gue, tapi biasa aja kali.”

Mendengar itu maura memutar kedua bola matanya jengah. Sepupunya yang satu ini memang kelewat PD.

Maura melepas pelukanya, menatap Dimas datar. “Dasar sok cakep!”

Dimas tersenyum dengan menyugar rambutnya. “Faktanya, gue emang cakep dari lahir.”

Dimas tidak sedang menyombongkan diri, Ia hanya bicara fakta. Dimas memang memiliki wajah tampan, bahkan maura mengakui hal itu. Dan maura tidak bisa menyangkal kalau Dimas sudah bicara seperti itu.

“Udahlah, debat sama lo nggak akan ada habisnya.” putus Maura. kemudian berlalu meninggalkan Dimas.

“Oke. Kita bisa lanjutin perdebatan kita besok, lusa atau kapanpun dengan durasi yang lama.” ucap Dimas dengan suara hampir berteriak.

Bunyi derit pintu membuat semua orang di dalam kamar menoleh ke sumber suara. Termasuk wanita paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang. Senyum bahagia tercetak jelas di wajahnya.

“Oma,” panggil Maura lirih. Ia langsung menghampiri Omanya dan duduk di dekat ranjang Oma.

“Oma, gimana keadaan Oma?” tanya Maura. Tanganya memegang erat tangan Omanya.

Oma tersenyum. satu tanganya mengelus pipi Maura “Oma baik. Oma kangen sama Maura.”

“Maura juga kangen sama Oma. Maura kengen sama kue buatan Oma, kangen cerita-cerita Oma waktu remaja, kangen omelan Oma, kangen jeweran Oma juga. Oma cepet sembuh ya!” setetes air mata jatuh di pipi Maura.

“Kenapa nangis? Oma pasti sembuh kok. Demi Maura, Oma janji.” Oma menghapus air mata Maura lalu mengajukan jari kelingkingnya.

Maura mengangguk, menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Oma. Keduanya tersenyum. Beberapa orang yang berada di kamar terharu melihatnya. Termasuk Papa Maura yang telah meneteskan air mata. Ia merasa lega, ternyata keputusanya untuk pindah ke Bandung memang sudah benar.

Hari sudah malam, mobil yang ditumpangi Maura berhenti di depan rumah mewah bercat putih gading. Semua orang langsung turun dari mobil. Om bram dan Dimas menuju bagasi mengambil koper Maura, sedangkan Tante Ana menarik tangan Maura menuju pintu berukuran besar.

“Silahkan masuk tuan putri.” Tante Ana membuka pintu tersebut. Mempersilahkan Maura masuk layaknya putri di kerajan.

Maura tersenyum malu. “Makasih, Tante.”

Suara bass menginterupsi langkah keduanya yang baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah.

“Cuma Maura aja yang di persilahkan masuk, Aku sama Papa enggak?” protes Dimas. kontan membuat Tante Ana dan Om Bram tertawa.

“Baiklah, silahkan masuk anak Mama yang paling tampan.” Tante Ana mengelus puncak kepala Dimas, kemudian beralih memeluk lengan Om Bram. “Silahkan masuk juga suami idaman semua kaum hawa tapi sudah ada yang punya.”

Om bram tertawa sampai badanya ikut berguncang pelan. Maura tersenyum merasakan kehangatan keluarga yang dari dulu tidak pernah hilang dari keluarga Dimas.

Mulai malam ini Maura akan tingggal di rumah itu, menjadi bagian dalam kehangatan keluarga tersebut.
Kemarin Maura sempat menolak keputusan Papanya yang mengharuskan Maura tinggal di rumah Tante Ana. Tapi setelah mendengar penjelasan Papanya, Maura tidak bisa menolak. Jarak sekolah barunya memang sangat jauh dengan rumah Oma yang terletak di perdesaan. Maka tidak ada pilihan untuk Maura selain tinggal di rumah Tante Ana.

“Udah malem. Kalian berdua langsung istirahat gih!” perintah Tante Ana dengan tegas dan diangguki oleh Maura.

“Ma, Dimas..”

No comment.” potong Tante Ana.

Dimas mencebikkan bibirnya, “Mama mah nggak asik” keluhnya.

Tante ana berkacak pinggang, “Buruan masuk kamar! Mama lihatin.”

Dengan langkah gontai Dimas memasuki kamarnya. Tante Ana tersenyum sekilas lalu pandanganya beralih pada Maura.

“Ayo masuk kamar, kamu harus lihat kamar kamu.” ajak Tante Ana, membuka ruangan yang berhadapan dengan kamar Dimas.

Dulu ruangan itu adalah kamar tamu, sedangkan ruangan di sebelah Dimas adalah kamar Kak Raina, Kakak Dimas yang sekarang bersekolah di Korea.

Maura di buat takjub dengan kamar barunya. Semua isi dan tatananya hampir sama dengan kamarnya di Jakarta, bahkan lebih bagus karena ada beberapa ornamen lucu.

“Kamu suka?” tanya Tante Ana.

Maura mengangguk antusias, “Suka banget, makasih Tante.”

“Awalnya Tante binggung mau desain kamar kamu kayak gimana, terus Tante tanya aja sama Raina. Dan jadilah seperti ini.”

“Kak Raina tau kalau Aku tinggal di sini?”

Tante Ana menganguk. “Iya, Dia seneng banget tau kamu tinggal di sini, katanya kalau ada libur dia mau pulang.”

“Pasti seru kalau Kak Raina ada di rumah. Maura kangen banget sama Kak Raina.”

“Tante juga. Yaudah, kamu istirahat ya. Good night sayang.” ucap Tante Ana seraya mengelus puncak kepala Maura.

Night Tante. Sekali lagi makasih untuk semuanya.” Tante Ana mengagguk dengan senyum di wajahnya, lalu berjalan keluar kamar.

Maura duduk di tepi ranjangnya, matanya menelusuri seluruh kamar. Senyum mengembang di wajahnya. Ia bahagia mempunyai Tante seperti Tante Ana. Dari dulu Tante Ana tidak pernah membedakan antara dirinya, Dimas ataupun Raina. Semua di perlakukan sama.

MIMPI [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang